Cinta adalah alasanku untuk pulang. Ke hatimu.
—@noffret
—@noffret
Di pagi pertama bulan Februari saya terbangun di sebuah hotel, yang jauhnya bermil-mil dari rumah. Begitu mata terbuka, saya meraih ponsel, dan mendapati pukul 03:50 pagi. Saya bangkit, menuju kamar mandi untuk cuci muka dan bercukur, lalu membuat kopi. Itu hari ke-14 saya di hotel tersebut—setengah bulan sebelumnya saya harus pergi meninggalkan rumah untuk suatu urusan kerja.
Pekerjaan kadang membuatmu pergi ke tempat jauh yang tidak kauinginkan, begitu pula saya. Setengah bulan yang lalu saya masih menjalani kehidupan yang nyaman sebagai orang rumahan. Sampai kemudian sebuah telepon datang, dan saya harus meninggalkan rumah, menempuh perjalanan berjam-jam, melintasi darat dan lautan. Sekarang saya terdampar di hotel ini, duduk di atas tempat tidur, menunggu air mendidih untuk membuat kopi.
Saya menyobek sachet kopi, memasukkannya ke mug bersama gula, dan menuangkan air panas ke dalamnya. Setelah itu membuka pintu samping kamar yang berhadapan dengan kolam renang, lalu duduk di atas kursi depan kamar sambil mulai menghirup kopi yang masih mengepulkan asap. Saya menyulut rokok, dan mengisapnya dengan nikmat. Kolam renang terlihat sepi, karena para tamu hotel mungkin masih terlelap tidur. Atau sedang sibuk dengan pasangannya.
Selalu menyenangkan menikmati saat-saat seperti itu. Sendirian, duduk santai di tempat yang hening, dan merokok. Hanya bersama kopi. Dan sedikit pikiran di kepala.
Ketika sedang menikmati kesendirian yang nyaman itulah, sesosok bayangan muncul dari balik lampu temaram taman. Karena mata saya agak minus, saya harus memfokuskan pandangan untuk mengenali bayangan itu. Ternyata seorang wanita, salah satu tamu hotel, yang beberapa kali bertemu dengan saya sewaktu di front desk. Usianya mungkin 60 tahunan, tapi tampak masih segar, dan berwajah ramah. Berdasarkan percakapan sekilas beberapa hari sebelumnya, saya tahu dia datang dari Prancis.
Wanita itu agak terkejut melihat saya sedang duduk sendirian di depan kamar. Tapi kemudian segera tersenyum ramah dan menyapa, “Tidak bisa tidur, eh?”
Saya membalas senyumnya. “Sebenarnya, saya baru saja bangun.”
“Selalu menyenangkan bangun pagi,” sahutnya, masih dengan senyum ramah. “Saya biasa jalan-jalan setiap pagi begini. Udaranya masih bersih.”
Ucapan itu agak membuat saya salah tingkah, karena sedang memegangi rokok. Tapi rupanya dia wanita yang sensitif, dan dia buru-buru berkata sambil menatap ke arah rokok di tangan saya, “Pas de problème, nikmati rokokmu.”
Setelah itu dia berdiri tak jauh di hadapan saya, sambil menatap kolam yang masih lengang. “Tidak ingin berenang?” ujarnya.
“Mandi sepagi ini adalah hal terakhir yang saya inginkan, Ma’am.”
Dia tertawa. Lalu kami pun bercakap-cakap, mengobrolkan hal-hal ringan, sambil dia menggerak-gerakkan tubuh seperti orang berolah raga ringan. Tidak lama kemudian, mungkin karena capek, dia mendekati tempat saya duduk, lalu menarik satu kursi di depan saya.
“Anda ingin kopi?” saya menawarkan.
“Merci,” jawabnya. “Sudah lama saya meninggalkan kopi. Agak kurang baik bagi jantung saya yang lemah. Well, sepertinya kau sendirian di sini. Wisata?”
“Tidak. Urusan pekerjaan.”
Dia mengangguk. “Waktu bertemu denganmu beberapa hari lalu, saya sudah mengira kau bukan wisatawan. Kau selalu tampak buru-buru.”
Saya tersenyum. “Hanya di pagi seperti ini saya bisa agak santai.”
“Kau menikah?”
“Tidak.”
“Gay?”
“Well, saya belum menemukan wanita yang ingin saya ajak nikah.”
Dia tersenyum keibuan. “Anak lelaki saya mungkin seusiamu. Dia juga terlalu sibuk dengan pekerjaannya, dan mungkin lupa untuk mencari pacar. Kadang-kadang dia bahkan bilang ingin hidup melajang. Saya bilang kepadanya, seorang lelaki tidak akan pernah tahu arti pulang sebelum ia memiliki seorang pasangan.”
“Pulang…?” saya memastikan tidak salah dengar. “Rentrer à la maison?”
“Ya, arti pulang,” dia menjelaskan. “Sebagai lajang, kau bisa pergi sejauh apa pun yang kauinginkan. Tapi selalu ada batas untuk setiap perjalanan. Pada suatu waktu, kapan pun, kau mesti pulang ke rumah—di mana pun tempatnya. Apa yang paling kauinginkan ketika pulang? Kesepian? Kehampaan? Di suatu waktu yang akan datang, kau akan menyadari, bahwa esensi pulang adalah mendapati seseorang yang menyambut kedatanganmu dengan kerinduan.”
“Saya tidak pernah berpikir sejauh itu, Ma’am.”
“Sekarang kau bisa memikirkannya,” sahutnya sambil tersenyum. Kemudian dia bercerita, “Suami saya sudah meninggal cukup lama. Kami menikah tiga puluh tahun lalu—kami sudah sama-sama dewasa waktu itu. Jadi, ketika menikah, kami sama-sama menyadari arti dan konsekuensi pernikahan. Suami saya sering bepergian, untuk urusan kerja. Setiap kali melepasnya pergi, saya selalu merasa kehilangan. Dan setiap kali menyambutnya pulang, saya merasa seperti telah bertahun-tahun merindukannya, meski nyatanya kadang dia hanya pergi beberapa hari atau beberapa minggu.”
“Orang Prancis,” saya berkomentar, “memang tahu cara mencinta.”
Dia tertawa. “Tapi bukan itu bagian terbaiknya. Setiap kali pulang, suami saya berkata bahwa alasan kepulangannya adalah untuk menyaksikan istrinya tersenyum saat menyambutnya. Itu, menurutnya, adalah pulang dalam arti sesungguhnya. Bukan hanya rumah yang nyaman, tapi juga seseorang yang menyambut dengan kerinduan dan memeluk dengan kehangatan. Seorang pasangan untuk pulang.”
“Seorang pasangan untuk pulang,” ulang saya sambil termenung.
Dia menatap saya sejenak, kemudian berkata dengan lebih serius, “Itulah yang saya katakan pada anak lelaki saya. Setelah setua ini, saya tahu bahwa kita lebih menyesali hal-hal yang tidak kita lakukan daripada hal-hal yang telah kita lakukan. Saya tidak ingin anak lelaki saya kelak menyesal karena tak pernah menikah. Sepahit apa pun sebuah pernikahan, rasanya lebih pahit ketika seseorang memandang masa lalunya, dan menyesali keputusannya untuk tidak menikah.”
“Well,” saya berkata perlahan-lahan, “saya tidak pernah memikirkan sejauh itu…”
Sekali lagi dia tersenyum keibuan. “Kau masih memiliki banyak waktu untuk memikirkannya, Nak. Omong-omong, hari sepertinya makin terang. Senang bercakap-cakap denganmu, tapi saya pasti sudah menyita waktu sendirimu.” Setelah itu dia bangkit, lalu pergi dengan langkah-langkah santai, meninggalkan saya yang duduk termenung bersama sebungkus rokok dan kopi yang mulai dingin.
Sepeninggal wanita itu, saya menghabiskan kopi di mug, dan kembali menyulut rokok. Saya masih terngiang-ngiang pada semua percakapan tadi. Saya tahu, ada lebih banyak hal yang kita sesali karena tidak pernah kita lakukan, daripada sebaliknya. Tiba-tiba saya menggigil. Bukan karena udara pagi yang dingin, tapi karena satu kesadaran yang tiba-tiba melintas di pikiran. Apa jadinya jika seumur hidup saya tak pernah tahu arti pulang, dan suatu hari kelak menyesalinya…?
Beberapa hari mendatang, pekerjaan saya di sini mungkin sudah selesai. Dan setelah itu saya pun akan pulang. Apa yang akan saya dapati ketika pulang? Rumah yang kosong, dan tumpukan kerja yang siap menyongsong. Hari demi hari saya melewati semua rutinitas itu tanpa berpikir apa pun selain terobsesi pada pekerjaan. Dan sekarang, saya seperti dipaksa untuk keluar dari semua itu dan melihat dari kejauhan… melihat diri saya sendiri.
Di antara asap rokok yang mengepul, tiba-tiba saya teringat pada percakapan Yinsen dan Toni Stark dalam film Iron Man. Ketika mereka berada dalam satu ruangan karena disekap penjahat di gurun pasir, Yinsen bertanya, “Apakah kau punya keluarga, Stark?”
Toni Stark, sang genius-milyuner, menjawab, “Tidak.”
“Kalau begitu,” sahut Yinsen, “kau memiliki segalanya, tapi sebenarnya tak memiliki apa-apa.”
Saya termenung. Lama.