Jumat, 08 Februari 2013

Kadang-kadang Saya Merasa Menjadi Magneto (1)

Mengerikan adalah monster dalam cermin,
dan kita tidak mengenalinya.
@noffret


Begini. Kadang-kadang saya merasa diri saya—ya, saya—adalah Magneto. Mungkin ini terdengar aneh. Kok bisa-bisanya saya begitu? Dan mengapa saya harus merasa diri saya Magneto? Maksudnya, mengapa tidak merasa Superman atau superhero lain yang lebih hebat atau lebih keren?

Di antara tokoh-tokoh mutan dalam serial X-Men, saya sangat mengagumi Magneto. Karena… yeah, saya merasa bersimpati terhadap dirinya, juga merasa dapat memahami hidup serta latar belakang pikirannya. Jadi, saya sangat mengagumi Magneto, meski dalam film X-Men dia dianggap antagonis.

Tidak jarang—biasanya ketika sedang kesal—saya membayangkan memiliki kekuatan hebat seperti Magneto, mampu menguasai dan menggerakkan logam seberat apa pun hanya dengan kekuatan pikiran. Ketika terjebak kemacetan, misalnya, saya kerap kali membayangkan memiliki kekuatan Magneto, dan dengan kekuatan itu saya bisa menggerakkan mobil-mobil dan kendaraan lain untuk menyingkir dari jalan. Oh, well, rasanya hebat sekali.

Tapi saya bukan Magneto. Jadi, yang bisa saya lakukan hanya membayangkannya saja. Dan membayangkan menjadi Magneto adalah hiburan kecil yang menyenangkan bagi saya. Malah, kalau kebetulan sedang stres, saya sering berharap ketemu Magneto di jalan. Tentu saja khayalan gila semacam itu tidak pernah terjadi, karena kenyataannya Magneto hanya ada dalam kisah fiksi.

Nah, suatu hari saya pernah curhat pada Arifin, sohib saya, tentang khayalan tersebut. Lucunya, ternyata Arifin juga memiliki “kelainan” seperti saya, hanya beda tokoh. Kalau saya sering merasa menjadi Magneto, Arifin sering merasa menjadi Edward Cullen!

Latar belakangnya juga tak jauh beda. Arifin terkagum-kagum pada Edward dalam film Twilight. Dia sering membayangkan dirinya setampan cowok itu, dan diam-diam menjadi vampir yang hidup abadi. Sama seperti saya, Arifin juga kerap mengkhayalkan dirinya sebagai Edward Cullen yang tampan dan mempesona, kuat dan hebat, dan… tentu saja, dikagumi cewek-cewek cantik.

Tetapi, bagaimana pun, kami masih cukup waras untuk menyadari bahwa saya bukan Magneto, dan Arifin juga bukan Edward Cullen. Karena kesadaran itu pula, kami pun tetap menjalani kehidupan sebagaimana mestinya, yakni sebagai Hoeda atau sebagai Arifin yang manusia biasa. Saya tidak pernah mencoba menggerakkan logam, dan Arifin juga tidak pernah menggigit leher orang untuk mengisap darahnya.

Well, setiap kita mungkin juga punya khayalan-khayalan semacam itu. Menjadi sesosok tokoh hebat, atau menjadi superhero, dan semacamnya. Kalau cowok biasanya mengkhayalkan dirinya menjadi pahlawan, sementara cewek—konon—kerap mengkhayalkan dirinya menjadi Cinderella. Apa pun khayalannya, setiap kita punya khayalan, dan tentu saja itu sah. Namanya mengkhayal, kan tidak apa-apa?

Nah, yang membedakan, kadang-kadang, adalah tingkat obsesi kita pada sosok khayalan. Kebanyakan orang mengkhayalkan sesuatu dalam pikirannya, dan menyadari bahwa itu hanya sebatas khayalan. Misalnya saya mengkhayalkan diri saya Magneto, dan Arifin mengkhayalkan dirinya Edward Cullen. Hanya sebatas itu. Saya tidak pernah mengaku-aku sebagai Magneto, dan Arifin juga tidak pernah berteriak-teriak menyatakan dirinya Edward Cullen.

Tetapi, ada pula orang-orang yang sangat terobsesi pada sosok khayalannya, hingga kemudian tak bisa lagi membedakan mana dirinya yang asli, dan mana dirinya yang hanya ada dalam sosok khayal. Penjelasan dan penjabaran mengenai topik ini bisa memakan waktu satu semester karena akan melibatkan teori-teori psikologi yang rumit, namun sekarang izinkan saya menjelaskannya secara ringkas.

Ketika seseorang merasa tidak mampu menghadapi realitas hidupnya, ketika dia tidak mampu menerima kenyataan tentang siapa dirinya, maka alam bawah sadarnya akan berusaha memunculkan khayalan sosok lain yang dapat diterimanya. Dalam psikologi kita diberitahu, hal semacam itu pula yang memicu timbulnya kepribadian ganda. Kenyataannya, para pengidap kepribadian ganda memang memiliki latar belakang yang menyakitkan.

Tetapi kita sekarang tidak bermaksud membicarakan kepribadian ganda. Kita hanya akan membicarakan tentang khayalan, dan tingkat obsesi kita pada khayalan. Seperti yang disinggung di atas, masing-masing orang memiliki khayalan, atau mengkhayalkan dirinya sebagai sosok tertentu. Namun, kadang tingkat obsesinya berbeda. Jika kebanyakan kita menyadari bahwa kita bukanlah sosok yang dikhayalkan, sebagian orang ada yang sangat percaya, bahkan yakin, dia memang seperti sosok yang dikhayalkannya.

Lanjut ke sini.

 
;