Jumat, 08 Februari 2013

Kadang-kadang Saya Merasa Menjadi Magneto (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Pada waktu kuliah, saya pernah mendapat tugas penulisan makalah, yang di dalamnya saya harus mewawancarai cukup banyak orang. Orang-orang yang akan diwawancarai itu harus dipilih secara acak dan cermat, agar hasil wawancaranya nanti benar-benar dapat menunjang isi makalah. Kebetulan, orang-orang yang akan saya wawancarai itu tinggal di daerah yang berjauhan, sehingga bisa dikatakan tidak saling kenal.

Di salah satu tempat, saya mewawancarai seorang lelaki berusia 50 tahunan. Saya menggali isi pikirannya, perasaannya, khayalan-khayalannya, dan saya benar-benar dibuatnya tercengang. Lelaki itu merasa dirinya dapat mengutuk siapa pun menjadi batu!

Karena khawatir salah paham, saya bertanya kepadanya, “Maksudnya, Anda berkhayal dapat mengutuk orang lain menjadi batu?”

“Tidak begitu!” sahutnya. “Maksud saya, kenyataannya saya memang bisa mengutuk siapa pun menjadi batu!”

Oh, hell, pikir saya. Apa jadinya hidup ini kalau memang ada orang yang memiliki kemampuan seperti itu? Tetapi saya tidak berhak membantah klaim orang itu, karena tugas saya hanya mewawancarainya—dan membiarkan dia ngoceh apa pun tentang khayalan-khayalannya. Kalau dia menyatakan dirinya bisa mengutuk orang lain menjadi batu, maka itulah yang akan saya tulis dalam makalah.

Dan orang itu waras, dalam arti dia menjalani hidup sebagaimana biasa—tampak seperti orang-orang waras lainnya. Dia bekerja di pagi hari, pulang kerja di sore hari, tetap makan nasi, minum teh, dan merokok, serta memiliki anak dan istri. Dia waras, namun mungkin dia merasa kecewa dengan realitas hidupnya, kemudian mengkhayalkan dirinya memiliki kekuatan hebat, dan terobsesi dengan khayalannya.

Di tempat lain, saya mewawancarai lelaki yang tak kalah aneh. Lelaki itu berusia 40 tahunan, dan bercerai dengan istrinya. Ketika saya mulai mengorek khayalannya, dia bercerita bahwa dia sering bertemu bidadari dari surga. Untuk menegaskan pemahaman, saya bertanya, “Maksudnya, Anda sering mengkhayalkan bertemu dengan bidadari dari surga?”

“Tidak, Mas,” sahutnya buru-buru. “Yang saya maksudkan, ya itu. Saya benar-benar bertemu bidadari dari surga—bukan khayalan!.”

Saya memasang tampang takjub. “Oh, hebat sekali! Bagaimana caranya, Pak?”

Dan dia pun ngoceh panjang lebar tentang cara bertemu para bidadari yang membuat saya panas dingin mendengarkannya. Saya tahu dia sedang berbohong, tetapi saya tidak berhak menyatakan hal itu kepadanya. Tugas saya hanya mendengarkan, dan menuliskannya. Jadi, kalau dia mengklaim bertemu para bidadari dari surga, maka itulah yang akan saya tulis dalam makalah, untuk kemudian dianalisis di kelas.

Seperti lelaki sebelumnya, lelaki itu pun waras. Namun, mungkin, untuk menghibur dirinya sendiri yang bercerai dengan istrinya, dia pun mengkhayalkan sering bertemu dengan para bidadari, dan dia terobsesi khayalannya sendiri.

Dan orang-orang lain yang saya temui juga memiliki khayalan-khayalan fantastis. Ada di antara mereka yang mengaku bisa terbang, dapat berjalan di atas air, bahkan ada pula yang merasa dirinya nabi! Sebagian mereka menyadari itu hanya sebatas khayalan—dan mereka mengakui secara jujur bahwa itu khayalan—sementara sebagian yang lain sangat meyakini bahwa itu bukan khayalan. Artinya, mereka benar-benar yakin kalau mereka memang seperti sosok yang dikhayalkan.

Lanjut ke sini.

 
;