Doa hari ini:
“Tuhan, kalau bisa, tolong jadikanlah aku Magneto.”
Kemarin saya ultah, dan—sungguh menyedihkan—saya justru terbaring sakit. Bukan sakit berat, sih. Cuma meriang, kepala pening, perut melilit, badan panas dingin, mungkin efek kurang istirahat dan makan yang tidak teratur. Seminggu terakhir saya memang tidak makan nasi sama sekali, gara-gara sulit menemukan nasi keras. Oh, well, Indonesia tampaknya sedang mengalami darurat nasi keras!
Karena sakit itu pula, saya pun hanya berbaring-baring di tempat tidur. Sesekali bangun untuk bikin minum. Namanya orang sakit, mau makan apa pun rasanya pahit. Karena tidak makan, badan pun rasanya lemas, dan malas mau ngapa-ngapain. Jadi, seharian kemarin saya hanya malas-malasan di tempat tidur, sesekali buka ponsel untuk membalas pesan, sesekali menerima telepon yang masuk, sesekali juga iseng baca timeline Twitter.
Setelah capek main ponsel, saya hanya berbaring diam sambil merasakan kondisi tubuh yang tak karuan. Sempat terpikir untuk pulang ke rumah orangtua, biar ada nyokap yang ngurusin. Tapi kemudian saya berpikir, “Kok cemen amat!”
Jadi, dengan sok gagah, saya pun memaksakan diri untuk tetap bertahan di rumah sendirian. Meski hanya bisa berbaring-baring dengan tubuh tak karuan. Untuk melupakan rasa tak enak badan, saya menyibukkan diri untuk berpikir. Saat pikiran sangat aktif, saya bisa melupakan banyak hal, termasuk kondisi tubuh yang tidak fit. Ketika sedang berpikir itulah, saya teringat pada seseorang....
Bertahun yang lalu, saya bercakap-cakap dengan seseorang yang saya hormati. Dia lelaki yang usianya jauh di atas saya, namun kami saling kenal karena dipertemukan dalam suatu proyek yang kebetulan kami kerjakan bersama. Waktu itu dia berulang tahun ke-34, dan saya kebetulan datang ke rumahnya. Saya sebut “kebetulan”, karena waktu itu saya tidak tahu dia ultah. Lagi pula, dia juga tidak pernah memberitahukan tanggal ultahnya pada siapa pun.
Yang jelas, dia senang mendapati saya datang. Lalu kami bercakap-cakap di rumahnya yang sepi, sambil minum teh dan merokok. Sewaktu bercakap-cakap itulah, dia baru menceritakan kalau waktu itu kebetulan pas hari ultahnya.
Topik percakapan kami pun lalu bergeser ke topik ulang tahun. Waktu itu, saya memberanikan diri bertanya, kenapa dia belum mikir perkawinan, mengingat usianya sudah 34 tahun. Saya tahu dia lelaki normal, dalam arti menyukai lawan jenis. Tetapi, sejauh yang saya lihat—waktu itu—dia tidak pernah dekat dengan wanita, bahkan sepertinya tidak menunjukkan minat pada perkawinan. Biasanya, dia hanya tersenyum saat ada yang menanyakan hal itu.
Ketika saya bertanya kepadanya mengenai hal itu, dia juga tersenyum. Lalu bertanya kepada saya, “Berapa umurmu saat ini?”
Waktu itu usia saya 24 tahun. Jadi, itulah yang saya katakan kepadanya.
“Dua puluh empat tahun,” ujarnya mengangguk-angguk. “Wajar...”
“Wajar bagaimana?” tanya saya bingung.
“Ya wajar, kalau kau bertanya seperti itu kepadaku.” Setelah terdiam sesaat, dia melanjutkan, “Kelak, setelah usiamu melewati 30 tahun, dan kau telah menyadari arti hidup seutuhnya, dan telah menemukan visi hidupmu yang sejati, kau tidak akan heran mengapa aku tidak tertarik pada perkawinan.”
“Kau mau menjelaskan?”
Dia tersenyum. “Tentu saja aku mau menjelaskan. Yang masih jadi persoalan, apakah kau siap mendengarkan sesuatu yang mungkin akan menyakiti perasaanmu?”
“Well, sepertinya aku tak punya pilihan.” Setelah menyeruput minuman dalam gelas, saya menatapnya, dan berkata, “Aku mendengarkan.”
Dia menyulut rokok baru, mengisapnya sesaat, kemudian berkata perlahan-lahan, “Dulu, saat usiaku masih dua puluhan, aku tak jauh beda denganmu, atau dengan orang-orang lain. Masih berpikir bahwa perkawinan adalah hal penting dalam hidup, bahkan paling penting. Karena itulah, waktu itu pikiranku juga sangat tersita oleh bayangan perkawinan dan tetek bengeknya. Tetapi, puji Tuhan, aku diselamatkan oleh berbagai kesibukan, hingga selama waktu-waktu itu aku tidak sempat menjalin hubungan dengan wanita mana pun, meski ada banyak kesempatan untuk itu. Saat aku akhirnya memasuki usia 30, dan melewatinya, aku mulai menyadari sesuatu yang sebelumnya tak kusadari... bahwa perkawinan, ternyata, tak sepenting yang kubayangkan sebelumnya.”
Dia mengisap rokoknya kembali, lalu melanjutkan, “Setelah aku melewati usia 30, dan pikiran serta jiwaku benar-benar dewasa—hingga aku bisa menatap kehidupanku seutuhnya—aku seperti disadarkan bahwa ada hal lain yang lebih penting dibanding sekadar kawin. Saat aku melewati usia 30, dan aku telah menemukan tujuan hidupku yang sebenarnya, aku pun bersyukur bahwa aku tidak sempat menikah, hingga aku bisa mencurahkan semua energi dan hidupku untuk sesuatu yang benar-benar kuanggap penting dalam hidup. Well, sekarang, seperti yang kaulihat, aku belum atau tidak menikah. Tetapi, Tuhan tahu, aku justru mensyukuri kenyataan ini. Aku bahkan sering membayangkan akan jadi apa sekarang kalau dulu aku menikah.”
Saya menyahut, “Artinya, kau sekarang memilih untuk tetap tidak menikah.”
“Ya,” dia menjawab. “Aku memilih tidak menikah, karena kini aku menyadari bahwa hidup tidak sekadar kawin dan beranak pinak. Itu kesadaran yang baru kuperoleh setelah usiaku melewati 30 tahun. Sebelumnya, aku sama sekali tidak menyadari kenyataan itu. Seperti yang kubilang tadi, saat usiaku masih 20-an, aku juga tak jauh beda dengan kebanyakan orang lain—berharap menemukan pasangan, lalu menikah, dan semacamnya. Bahkan saat usiaku hampir 30 tahun, aku tetap belum menyadari kenyataan penting itu. Karenanya, ketika akhirnya aku melewati usia 30, dan mulai menyadari semua ini, aku merasa seperti orang buta yang tiba-tiba bisa melihat. Seluruh perspektifku berubah, semua yang kuyakini tiba-tiba bergeser, dan dunia yang semula kukira sempit tiba-tiba kudapati begitu luas. Lalu, dengan kesadaran baru itu, aku seperti berpikir, ‘kenapa dulu aku tidak menyadari kenyataan penting ini?’”
“Dan kau telah menemukan jawabannya?” tanya saya penasaran.
“Ya,” dia mengangguk. “Saat aku berusia 20-an, bahkan saat menjelang usia 30, aku masih terbutakan oleh keyakinan bahwa perkawinan adalah hal paling penting dalam hidup. Pikiranku baru terbuka seutuhnya setelah aku melewati usia 30. Kau tanya, kenapa? Jawabannya sederhana, karena tuntutan evolusi—kalau kau paham maksudku. Saat berusia 20-an, kita belum bisa berpikir seutuhnya menggunakan otak dan akal sehat, karena masih dipengaruhi oleh tuntutan evolusi, terkait keberadaan kita sebagai makhluk hidup. Karena itu pula, orang sedang dalam keadaan panas-panasnya ketika berusia 20-an. Dalam kondisi semacam itu, kita tidak bisa mengklaim berpikir secara sehat dengan akal waras. Kenyataannya, kebanyakan kita juga menikah pada usia 20-an, atau setidaknya akhir 20-an. Dan ketika itu terjadi, tuntutan evolusi menang. Karena ada yang menang, tentu ada yang kalah. Apa atau siapa yang kalah? Akal sehat.”
Saya terdiam sesaat, lalu berujar, “Pemaparanmu terdengar muram.”
Dia tersenyum. “Itulah kenapa, sejak awal aku sudah mengingatkanmu, bahwa yang akan kukatakan bisa menyinggung perasaanmu. Kau, seperti kebanyakan orang lain yang berusia 20-an, kemungkinan besar belum berpikir sejauh itu. Tetapi, aku yakin—atau setidaknya berharap—kau akan tiba pada pemikiran itu saat kau sampai pada usiaku.”
“Aku tidak yakin...”
Senyumnya makin lebar. “Aku tahu siapa dirimu, aku mengenalmu seutuhnya. Kau pembelajar yang tekun, dan kau berani menentang dominasi mayoritas. Mari kita buat permainan kecil-kecilan. Jika kelak kau bermaksud menikah, cobalah tunggu sampai usiamu 30 tahun. Setelah kau melewati usia krisis itu, lihat dirimu sendiri, dan tanyakan pada akal sehatmu, apakah perkawinan benar-benar penting bagimu. Jika waktu itu kau benar-benar menganggap perkawinan penting dilakukan, maka menikahlah. Aku akan datang ke acara perkawinanmu, dan aku akan ikut senang untuk kebahagiaanmu. Tetapi...”
Setelah hening sejenak, dia melanjutkan, “Tetapi, aku yakin, saat itu—setelah usiamu melewati 30 tahun—kau telah menemukan sesuatu yang jauh lebih penting dari perkawinan, dan tiba-tiba menyadari perkawinan tidak penting lagi. Saat itu, bersama visi baru dalam hidupmu, kau akan tahu—benar-benar tahu—apa yang kauinginkan dalam hidupmu.”
Kalimat itu benar-benar tepat seperti ramalan.
Ketika percakapan itu terjadi, usia saya 24 tahun. Tiga tahun kemudian, ketika memasuki usia 27, saya mulai menemukan sesuatu yang sangat penting dalam hidup, dan sejak itu pikiran saya mulai terlena dari urusan pacaran dan perkawinan. Saat saya akhirnya memasuki usia 30 tahun, seluruh pikiran, jiwa, dan hidup saya benar-benar sudah terlupa pada urusan perkawinan, karena saya telah menemukan sesuatu yang jauh... jauh lebih penting dari sekadar perkawinan.
Sejak itulah, saya kehilangan minat pada perkawinan, dan tidak lagi menganggapnya penting, karena saya telah menemukan sesuatu yang jauh lebih penting. Kini, saat usia saya telah mencapai 30 tahun, saya pun tahu apa yang sebenarnya paling saya inginkan dalam hidup, dan itu... oh, well, bukan perkawinan.