Sabtu, 21 September 2019

Kegilaan di Korea Utara

Ada banyak warga Korea Utara yang percaya bahwa Yang Mulia Kim Jong-un—karena saking mulianya—tidak pernah buang air besar. Mungkin konyol bagi kita, tapi masuk akal bagi mereka. Dan Jong-un bisa menempati “posisi mulia” itu dengan mengandalkan dua hal: Doktrinasi dan propaganda.

Pernah melihat orang (wisatawan) selfie di Korea Utara? Mungkin tidak. Kenapa? Untuk tahu jawabannya, kau harus masuk ke sana. Di Korea Utara, kita harus berfoto dengan sikap tegap dan serius—khususnya kalau berfoto di dekat simbol-simbol negara, yang sialnya ada di mana-mana.

Suasana keseharian di Korea Utara sangat tegang, karena tentara ada di mana-mana. Bagi wisatawan, masuk Korea Utara seperti memasuki medan perang. Pasukan pemerintah berhadapan dengan rakyatnya sendiri. Dalam kondisi semacam itu, hidup di sana pasti sangat stres dan melelahkan.

Di Korea Utara, setiap rumah harus menyetel siaran radio pemerintah, dan tidak boleh dimatikan—bahkan jika penghuni rumah akan tidur. Suara radio boleh dilirihkan, tapi tidak boleh dimatikan. Jadi praktis, 24 jam setiap hari pemerintah bisa terus mendoktrin rakyatnya tanpa henti.

Di Korea Utara tidak ada internet seperti yang kita kenal. Karenanya, di sana masih banyak orang membaca koran/tabloid. Dan, boleh percaya boleh tidak, dari halaman awal sampai halaman akhir isinya cuma Kim Jong-un! Dan semua doktrin serta propaganda pemerintah, tentu saja.

Kalau radio dan koran isinya cuma doktrin Kim Jong-un dan propaganda pemerintah, bagaimana dengan televisi? Yo podo wae. Siaran televisi di Korea Utara sangat... sangat membosankan, mungkin sebelas-dua belas dengan siaran TVRI di zaman Orde Baru/Soeharto, bahkan lebih parah lagi.

Yang paling dilematis adalah warga yang tinggal di perbatasan Korea Utara/Selatan. Karena tinggal di perbatasan, televisi mereka bisa "terpapar" siaran dari Korea Selatan (yang isinya tentu jauh lebih asoy). Tapi mereka tidak berani nonton, karena risikonya jelas: Masuk penjara!

Puncak kengerian di Korea Utara adalah ini: Umpama kau tinggal di perbatasan, dan nekad menonton siaran televisi Korea Selatan (misal drakor), tentara pemerintah memang tidak tahu. Tapi keluarga serumahmu pasti tahu, dan mereka bisa menyeretmu ke pemerintah agar kau dihukum.

Di Korea Utara, orang tua bisa menyeret anaknya ke kantor polisi karena si anak menonton drama Korea Selatan. Atau kakak melaporkan adiknya karena alasan serupa. Atau tetangga ke tetangga. Bagaimana "kegilaan" semacam itu bisa terjadi? Jawabannya dua hal: Doktrin dan propaganda.

Bagi rakyat Korea Utara, Kim Jong-un adalah nabi, sementara aturan pemerintah (yang tentu dibuat Kim Jong-un) adalah ayat-ayat suci. Jadi mereka lebih rela anaknya masuk penjara dan dihukum mati, daripada menentang "ayat-ayat suci" pemerintah dan melawan nabi yang mereka patuhi.

Membahas kegilaan di Korea Utara bisa panjang sekali, dan ocehan ini bisa jadi akan selesai tahun depan kalau kuteruskan. Intinya, Korea Utara adalah bukti nyata bagaimana doktrin dan propaganda benar-benar menunjukkan hasilnya yang mengerikan: Kebodohan dan keterbelakangan.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 24 Januari 2019.

 
;