Aku selalu malas kalau diajak ke gerai ayam goreng atau
gerai makanan impor, apa pun. Alasannya sepele tapi fatal:
Tidak ada teh hangat!
—@noffret
gerai makanan impor, apa pun. Alasannya sepele tapi fatal:
Tidak ada teh hangat!
—@noffret
Di mana-mana, kita tentu sering menemukan penjual ayam goreng ala KFC di pinggir-pinggir jalan. Rasanya agak-agak mirip dengan ayam goreng KFC atau ayam goreng impor lain.
Kalau kebetulan sedang berkendara di jalan, dan menemukan penjual ayam goreng semacam itu, saya kadang mampir untuk membeli. Karena kebiasaan itu pula, saya pun akhirnya tahu kalau masing-masing ayam goreng di pinggir jalan kadang memiliki cita rasa berbeda. Ada yang sangat renyah, ada pula yang agak keras. Ada yang agak asin, ada pula yang pas di lidah.
Dari kesukaan membeli ayam goreng di pinggir jalan, akhirnya saya menemukan satu penjual yang menyediakan ayam goreng dengan cita rasa paling pas di lidah saya. Sejak itu pula, saya sering beli ayam goreng di tempat tersebut.
Sama seperti di tempat lain, penjual ayam goreng yang kerap saya datangi berupa gerobak di pinggir jalan. Ada wajan besar di sana yang digunakan untuk menggoreng, dan ayam-ayam yang telah matang ditaruh di bagian etalase gerobak. Serupa yang ada di gerai ayam goreng impor, penjaja ayam goreng pinggir jalan juga menyediakan saus, namun dalam kemasan kecil. Satu kemasan untuk sepotong ayam.
Karena sering datang ke sana, penjualnya pun mengenali saya, dan kami bercakap-cakap setiap kali saya membeli ayam goreng di sana. Dia seorang lelaki yang mungkin seumuran saya, tapi sudah memiliki istri dan anak. Kadang-kadang, saat ke sana, si lelaki tidak ada, dan saya hanya mendapati si istri yang melayani pembeli.
Perkenalan, percakapan, hingga keakraban saya dengan penjual ayam goreng itu mengalir perlahan-lahan dan alami. Mula-mula, dia hanya tersenyum ramah setiap saya ke sana. Karena saya biasa ke sana sore hari, dia kadang bertanya apakah saya baru pulang kerja, dan saya hanya mengangguk. Seiring dengan itu, dia mulai bertanya saya tinggal di mana. Dan saya mengajukan pertanyaan serupa.
Dari pertemuan yang terus menerus terjadi, lama-lama kami seperti kawan yang memang saling kenal. Dari pertemuan demi pertemuan yang sebenarnya relatif singkat, saya akhirnya tahu si penjual ayam goreng sudah menikah, dan punya dua anak.
Di tempat jualannya, saya memang kadang menjumpai dua anak laki-laki. Yang satu sudah cukup besar, mungkin sudah SD, sementara satunya lagi masih kecil dan belum sekolah. “Daripada mereka tinggal di rumah tanpa orang tua, saya bawa mereka ke sini,” ujarnya memberi tahu.
Belakangan, saya mendapati istri penjual ayam goreng hamil, dan tampaknya mereka akan punya anak lagi.
Suatu waktu, saya datang ke tempat ayam goreng, dan tidak mendapati gerobak yang biasa. Sepertinya hari itu sedang libur. Ketika saya datang lagi di lain waktu, si penjual ayam goreng bercerita, anak ketiganya sudah lahir. “Tempo hari tidak jualan, karena ribet ngurus kelahiran anak,” ceritanya.
Hari itu sepertinya dia ingin curhat. Waktu melayani saya membeli ayam goreng, dia tampak berlama-lama, sambil terus berbicara. Dia bercerita dirinya makin repot akhir-akhir ini, sejak anak ketiganya lahir. Biasanya, istrinya yang menangani urusan di rumah. Tapi karena baru memiliki bayi, istrinya masih repot mengurus si bayi. Karenanya, kini dia yang harus menangani semua hal—urusan rumah sampai belanja bahan-bahan untuk jualan.
“Padahal pemasukan dari hasil jualan tidak bertambah,” ujarnya. “Kini harus ada satu mulut lagi yang butuh makan.”
Kemampuan sosial saya tergolong minus, dan kurang mampu berbasa-basi. Karenanya, dalam interaksi dengan orang lain, saya biasanya lebih banyak diam dan hanya mendengarkan. Ketika penjual ayam goreng curhat panjang lebar tentang diri dan keluarganya, saya pun hanya diam dan mendengarkan, sambil sesekali mengangguk, menunjukkan bahwa saya bersimpati, dan memahami keluhannya.
Di pertemuan-pertemuan berikutnya, dia kadang kembali curhat, mengeluhkan sesuatu—“anak sakit”, “sedang stres”, “banyak masalah”, dan lain-lain. Kadang saya tergoda untuk menyarankan dia agar membuat blog, biar lebih leluasa ngoceh tentang apa pun—seperti yang saya lakukan—tapi sepertinya itu bukan ide yang bagus. Jadi, saya biarkan dia curhat, dan diam-diam berharap kehadiran saya—yang menjadi tempat curcolnya—dapat sedikit meringankan beban.
Suatu sore, seperti biasa, saya kembali datang ke tempat penjual ayam goreng tersebut. Saat sampai di sana, saya mendapati seorang lelaki sedang marah-marah pada si penjual. Saya tidak tahu apa yang terjadi. Karena sudah sampai di sana, saya pun berhenti dan berdiam diri, menunggu cekcok mereka selesai.
Laki-laki yang marah itu terdengar mengatakan, “Tempo hari kamu cuma ngasih tiga saus, dan sekarang tidak ada saus sama sekali! Saya harus datang lagi ke sini, jauh-jauh, cuma untuk mengambil saus!”
Si penjual ayam goreng meminta maaf atas hal itu, dan mengatakan sesuatu yang tidak jelas. Lalu si laki-laki yang marah-marah tampak pergi, setelah mendapatkan saus kemasan yang dimintanya.
Setelah laki-laki tadi pergi, saya mendekati gerobak, untuk membeli ayam goreng seperti biasa. Si penjual bercerita, laki-laki tadi salah satu pelanggan yang sering datang, dan biasa membeli lima potong ayam. Hari itu, si penjual khilaf, dan tidak menyertakan lima saus kemasan untuk ayam yang dibeli. Karena itulah, si pembeli kembali datang sambil marah-marah.
Yang agak mengejutkan, dia juga bercerita kalau pembeli yang marah-marah seperti itu bukan hanya satu orang. Sudah beberapa kali ada pembeli yang datang marah-marah kepadanya, karena dia lupa menyertakan saus untuk ayam yang dibeli. Kadang ada orang membeli tujuh potong ayam, tapi dia hanya menyertakan tiga saus kemasan. Kadang ada yang membeli dua potong ayam, dan dia sama sekali tidak memberi saus. Ada pula orang yang membeli empat potong ayam, dan dia hanya menyertakan dua saus kemasan.
Saya bertanya, kenapa dia melakukan hal seperti itu?
“Saya sering stres,” sahutnya sambil membungkus ayam untuk saya. “Di rumah banyak urusan, banyak masalah, harga-harga terus naik, kebutuhan anak semakin banyak, padahal pemasukan tidak bertambah.” Lalu sederet keluhan lain yang harus saya dengarkan sore itu. Dari istri yang rewel sampai anak yang rewel.
“Karena itulah,” lanjutnya dengan nada lelah, “saya sering tidak sadar saat melayani pembeli. Orang beli lima potong ayam, kadang saya hanya memasukkan tiga saus. Karena pikiran saya ambyar ke mana-mana.”
Untuk kesekian kali, saya hanya diam, mengangguk, dan menunjukkan sikap bersimpati untuknya. Kadang saya berpikir untuk juga punya istri dan anak-anak, agar bisa merespons semua keluhannya dengan tepat, bahwa saya juga sama stres seperti dirinya, bahwa saya juga pusing karena mikir istri dan anak-anak. Tapi saya tidak punya istri dan anak-anak, jadi saya bisa apa?
Dia menyerahkan bungkusan ayam yang saya beli, dan mengucap terima kasih seperti biasa. Saya pun pulang, dengan bayangan indah seperti biasa—menikmati ayam goreng istimewa dengan saus dan teh hangat, dan sebatang udud yang nikmat. Benar-benar sore yang sempurna.
Di rumah, saya membuka bungkusan ayam goreng dengan hati ringan. Hari itu, saya membeli tiga potong ayam. Tapi... sausnya cuma satu.