Kenyataannya, di dunia ini memang banyak orang yang ingin semua sama seperti dirinya, dan yang tidak sama dianggap salah bahkan berdosa.
Sebagian orang berusaha melawan orang-orang yang tak punya toleransi semacam itu, sebagian lain hanya diam... karena sudah sangat lelah.
"Kelelahan" akibat menghadapi orang-orang tanpa toleransi dan tanpa empati itulah, yang kemudian melahirkan Thanos, Magneto, atau bahkan Kurt Hendricks. Mereka sudah sampai pada kesimpulan, "Sudah cukup. Mereka sudah tidak bisa lagi diajak bicara. Sekarang waktunya bertindak."
Thanos menyebut dirinya "penyintas"—perhatikan kata itu saat dia berdialog dalam Infinity War. Sintas atas apa? Kebodohan, keterbelakangan, ketiadaan empati dan toleransi, serta orang-orang yang mau benar sendiri. Dia sudah berusaha menyadarkan sesamanya, tapi gagal... dan lelah.
Hal serupa yang melahirkan Magneto. Orang-orang (Homo sapiens) sulit menerima orang lain yang dianggap berbeda (mutan), dan mereka menuntut agar semua mutan diisolasi, atau "dimanusiakan". Magneto pun berpikir, "Kenapa kami harus sama sepertimu, kalau kami bisa menghancurkanmu?"
Memang, di dunia ini ada orang-orang mulia seperti para superhero Avengers atau para pahlawan X-Men, yang memiliki maaf dan empati dalam jumlah tak terbatas. Tapi dunia juga selalu melahirkan Thanos atau Magneto yang sudah lelah menyaksikan kebodohan dan kerusakan tanpa batas.
Dan kerusakan dunia, ironisnya... dibuat oleh orang-orang yang merasa dirinya suci hingga menganggap orang lain rendah, yang merasa dirinya paling benar hingga sulit menerima perbedaan, yang merasa dirinya sempurna hingga memaksa siapa pun agar sama seperti dirinya.
I am no hero. Merely a man who has seen and done and endured what can never be forgotten or forgiven. —Magneto, Uncanny X-Men 1
I finally rest, and watch the sunrise on an grateful universe. The hardest choices require the strongest wills. —Thanos, Avengers: Infinity War
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 11 Desember 2018.