Jumat, 01 Desember 2017

Masyarakat dan Selangkangan

Sekolah sampai tinggi, atau merasa orang terpelajar, tapi masih mengurusi
selangkangan orang lain, itu oksimoron. Biadab sekaligus tolol.
@noffret


Masih ingat kasus pasangan malang yang dituduh berbuat mesum, lalu dirundung, dianiaya, bahkan ditelanjangi di Cikupa, Tangerang?

Kasus semacam itu terjadi di mana-mana, dan bisa menimpa siapa saja. Masyarakat tampaknya sangat memperhatikan selangkangan siapa pun, sehingga kau dan pasanganmu bisa saja digerebek—lalu dianiaya dan dipermalukan—hanya karena kau dan pasanganmu dicurigai berbuat mesum.

Sekali lagi, kasus semacam itu terjadi di mana-mana. Di YouTube saja, ada banyak video yang mempertontonkan pasangan-pasangan yang digerebek orang banyak, lalu dirundung dan dipermalukan. Masalahnya itu tadi, pasangan-pasangan tersebut diduga berbuat mesum, dan masyarakat tidak terima, terlepas apakah pasangan itu melakukan kemesuman di rumah atau di tengah hutan.

Bahkan, tidak usah jauh-jauh, orang bisa saja “kegaruk” saat berduaan di losmen atau di hotel melati, karena kebetulan sedang ada penggerebekan yang dilakukan sewaktu-waktu. Jadi, kalau kau dan pacarmu, misalnya, ingin berduaan di kamar hotel—terlepas apa pun yang kalian lakukan—nasib kalian bisa berakhir tragis dan memalukan, kalau kebetulan saat itu sedang ada penggerebekan.

Di kampung, di hutan, atau di hotel, apa alasan penggerebekan itu?

Sepele. Alasannya cuma selangkangan.

Kalau kita bertanya pada masyarakat yang suka menggerebek, kenapa mereka melakukan penggerebekan, hampir bisa dipastikan jawaban mereka tak jauh-jauh dari itu. Mungkin, untuk membenarkan penggerebekan yang dilakukan, masyarakat akan menyatakan, “Mereka (pasangan yang digerebek) belum sah menjadi suami istri, jadi kami tidak nyaman kalau mereka berduaan seperti itu.”

Oke, fine.

Itulah jawaban yang akan kita dengar, jika kita menanyakan kenapa mereka melakukan penggerebekan—hingga perundungan dan penganiayaan—terhadap pasangan mana pun yang mereka tuduh berbuat mesum. Itu, tentu saja, jawaban standar berlandaskan moral yang luhur—kalau bisa disebut begitu. Jadi, mari kita pegang omongan dan moral mereka.

Masyarakat melakukan penggerebekan, dengan alasan pasangan yang digerebek belum sah menjadi suami istri, sehingga masyarakat tidak nyaman melihat pasangan tersebut berduaan. Sebagai masyarakat yang berbudi luhur, mereka memiliki kewajiban moral untuk ikut mengurus selangkangan orang lain, khususnya selangkangan orang yang belum menikah.

Sekali lagi, ingat dan pegang jawaban itu.

Sekarang, andaikan pasangan yang digerebek kemudian menikah, dan pernikahan mereka diketahui masyarakat secara luas. Ada undangan pernikahan yang disebar, resepsi perkawinan yang meriah, dan segala tetek bengek yang dengan jelas memberitahu masyarakat bahwa mereka telah menikah.

Suatu hari, misalnya, pasangan tadi bertengkar, hingga terjadi KDRT (kekerasan dalam rumah tangga). Si istri, dengan menangis, lari keluar rumah karena ketakutan akibat dianiaya suaminya. Sementara si suami mengejar, dan menarik istrinya kembali masuk rumah. Dan terdengar teriakan, makian, hingga jeritan memilukan yang menunjukkan pasangan itu sedang dalam masalah.

Apa yang biasanya menjadi reaksi masyarakat, ketika menghadapi kenyataan semacam itu? Apa yang biasanya dilakukan masyarakat, ketika mendapati ada suami istri bertengkar, bahkan sampai terjadi tindak kekerasan di antara keduanya?

Umumnya, reaksi masyarakat hanya diam.

Tidak ada yang tergerak untuk turun tangan, semisal berusaha melerai suami istri yang bertengkar, karena berpikir, “Itu urusan rumah tangga orang lain.”

Urusan rumah tangga nenek lu!

Ketika melihat ada pasangan saling sayang, masyarakat menjadi orang-orang bermoral yang langsung sigap menggerebek, dengan alasan, “Mereka belum sah menjadi suami istri, jadi kami tidak nyaman melihat mereka berduaan!”

Tetapi, ketika melihat pasangan suami istri bertengkar ribut, bahkan terjadi KDRT, masyarakat menjadi bangsat-bangsat yang kehilangan moral, lalu diam seperti ular beludak kekenyangan, dan beralasan, “Itu urusan rumah tangga orang lain.”

Tidakkah itu seperti standar ganda yang menjijikkan?

Jadi, masyarakat tidak nyaman kalau melihatmu bersama pasangan asyik mesra-mesraan, jika kalian belum menikah. Sebaliknya, masyarakat nyaman melihatmu menganiaya pasangan, asal kalian telah menikah.

Masyarakat akan mengusikmu kalau kau dan pasangan belum menikah, meski kalian sekadar sering bersama. Sebaliknya, masyarakat tidak akan mengusikmu meski kau dan pasanganmu saling cakar atau saling melukai, asal kalian telah menikah.

Sistem nilai keparat apa itu?

Ketika seorang suami menganiaya istrinya, masyarakat diam. Ketika orang tua menganiaya anaknya, masyarakat bungkam. Alasannya terdengar mulia, “Itu urusan rumah tangga orang lain.”

Kalau memang hal-hal terkait kekerasan dan penganiyaan dalam rumah tangga dianggap sebagai “urusan rumah tangga orang lain”, kenapa mereka tidak berpikir sama kepada pasangan-pasangan yang kebetulan belum menikah? Kenapa mereka tidak memberlakukan cara berpikir yang sama, misal, “Itu urusan pribadi orang lain.”

Jika pertanyaan tersebut dianggap kurang tepat, mari balik pertanyaannya. Jika pasangan belum menikah yang tampak berduaan dianggap urusan masyarakat—sehingga mereka melakukan penggerebekan—kenapa pasangan suami istri yang bertengkar dianggap bukan urusan masyarakat?

Pikirkan pertanyaan itu, dan kita akan mendapati bahwa crucial point di sini sebenarnya bukan moral, juga bukan nyaman atau tak nyaman, melainkan semata-semata urusan selangkangan!

Masalah sebenarnya, terkait penggerebekan yang bisa terjadi di mana-mana, hanya masalah selangkangan! Masyarakat merasa punya hak untuk mengurusi selangkangan siapa pun, dan mereka harus diberitahu—lewat pernikahan—kalau selangkanganmu sudah sah untuk digunakan. Itulah intinya!

Kalau memang menggunakan standar moral, mestinya masyarakat terusik moralnya melihat penganiayaan yang dilakukan suami kepada istri, atau orang tua kepada anak. Kalau memang menggunakan standar nyaman atau tak nyaman, mestinya masyarakat tidak nyaman melihat wanita berdarah-darah dianiaya suami, atau anak-anak yang terluka akibat perbuatan orang tuanya. Kenapa mereka justru diam, ketika menyaksikan hal-hal itu? Kenapa mereka tidak ngomong moral atau merasa tidak nyaman?

Jadi, inti sebenarnya terkait hal ini bukan moral. Tapi selangkangan! Masyarakat kita terlalu sensitif terhadap selangkangan, sebegitu sensitif hingga mereka harus memastikan kau punya surat yang sah dan resmi terkait selangkanganmu.

Pola pikir semacam itu benar-benar kacau sekaligus bangsat. Jika menggunakan pola pikir masyarakat yang semacam itu, maka pernikahan seperti legalisasi untuk melakukan apa pun, termasuk kekerasan dan penganiayaan, selama hal itu dilakukan di wilayah domestik (keluarga atau rumah tangga).

Jangan lupa, pernikahan bukan sebatas urusan selangkangan. Pernikahan melibatkan banyak hal—di luar selangkangan—yang bisa jadi menimbulkan masalah, konflik, pertengkaran, sampai penganiayaan dan kekerasan di antara pasangan atau keluarga. Tapi masyarakat tak peduli. Karena yang mereka pedulikan hanya selangkangan.

Masyarakat tak peduli kau dan istrimu saling cakar dan saling menyakiti. Masyarakat tak peduli kau berdarah-darah dianiaya suamimu. Masyarakat tak peduli kau pusing tujuh ratus keliling menghadapi aneka tuntutan keluarga. Masyarakat tak peduli kau dan pasanganmu menganiaya anak-anak, hingga mereka terluka dan kesepian.

Oh, well, masyarakat bahkan tak peduli jika rumah tanggamu menjadi neraka. Karena masyarakat hanya peduli selangkanganmu. Asal kau punya surat nikah yang sah, kau bebas melakukan apa pun!

Sekali lagi, tidakkah itu mengerikan, sekaligus menjijikkan?

Dan, akhirnya, sudahkah kalian paham mengapa saya begitu muak dan jijik setiap kali mendengar orang bertanya, “Kapan kawin?

 
;