Bagi bocah sepertiku, buku adalah benda terbaik, teman terbaik,
karunia terbaik, pasangan terbaik. Bersamanya, aku merasa utuh.
—@noffret
karunia terbaik, pasangan terbaik. Bersamanya, aku merasa utuh.
—@noffret
Kemampuan membeli buku adalah satu hal, tapi kemampuan membaca buku adalah hal lain. Kenyataan itu baru saya sadari akhir-akhir ini.
Selama bertahun-tahun, khususnya di tahun-tahun lalu, saya bisa asyik membaca buku dalam jumlah banyak. Setiap hari, saya mampu membaca buku hingga berjam-jam, dan setiap tahun saya mengkhatamkan buku dalam jumlah cukup banyak. Rata-rata, saya membaca seratus buku per tahun—dari yang tebal sampai yang tipis. Latar belakang itu pula yang kemudian mencetuskan ide untuk merilis daftar buku-buku terbaik yang saya baca setiap tahun, di blog ini.
Selama beberapa tahun, saya mampu rutin menuliskan 10 buku terbaik setiap akhir tahun, yang bahkan diikuti oleh para blogger dan situs-situs lain. Itu tentu hal bagus—khususnya bagi para pencinta dan pembaca buku—karena kita bertambah informasi mengenai buku-buku apa saja yang perlu kita baca (khususnya untuk buku-buku yang kebetulan belum kita baca.)
Sayang, tahun kemarin kebiasaan bagus itu tidak bisa saya teruskan. Banyaknya pekerjaan membuat waktu membaca saya berkurang drastis, sehingga jumlah buku yang saya baca juga berkurang drastis. Akibatnya, tahun kemarin saya tidak bisa merilis daftar buku terbaik seperti biasa. Dan, sayang seribu sayang, hal serupa kembali terjadi tahun ini.
Sama seperti tahun kemarin, pekerjaan saya masih bertumpuk, dan saya hanya punya sedikit waktu untuk membaca buku. Ini menyedihkan. Khususnya karena jumlah buku di rumah saya masih sangat banyak yang perlu dikhatamkan. Khususnya lagi karena nafsu saya dalam membeli buku masih sangat besar. Setiap kali melihat buku baru, saya selalu gemessshh ingin memiliki.
Terkait buku, saya merasa berada di simpang dilema. Di satu sisi, saya masih ingin membeli dan memiliki buku sebanyak-banyaknya. Keinginan itu sama besar dengan hasrat saya untuk membaca buku sebanyak-banyaknya. Namun, di sisi lain, waktu untuk membaca buku makin berkurang, akibat berbagai kesibukan yang harus dihadapi. Sementara itu, di luar sana buku-buku bagus terus muncul, menggoda saya untuk membeli... dan terus membeli.
Buku makin bertumpuk, waktu membaca kian sedikit.
Kadang-kadang, saat memandangi koleksi buku yang saya miliki, saya tertegun. Di rumah, saya memisahkan buku-buku yang telah saya baca, dan buku-buku yang belum saya baca.
Ketika melihat ke rak-rak buku yang belum saya baca, sering saya berpikir, “Apakah umurku cukup untuk membaca semua buku itu?”
Bahkan jika sekarang saya berhenti membeli buku, sehingga tidak ada tambahan buku baru, jumlah buku di rumah yang harus saya baca membutuhkan puluhan tahun ke depan untuk mengkhatamkannya semua. Padahal, nafsu saya membeli buku masih sangat besar. Saya mudah “horny” setiap kali melihat buku baru, apalagi yang nggemesin! “Sial”, buku-buku nggemesin kayak gitu terus muncul dari waktu ke waktu.
Karenanya, seperti yang tertulis di awal catatan ini, “kemampuan membeli buku adalah satu hal, tapi kemampuan membaca buku adalah hal lain.”
Bertahun lalu, saya mengalami hal sebaliknya. Saya punya waktu sangat banyak untuk membaca buku, tapi tidak punya kemampuan membeli. Untung, di masa lalu, saya bisa meminjam buku di perpustakaan, dari perpustakaan sekolah sampai perpustakaan milik pemerintah.
Meski begitu, jujur saja, saya lebih suka membaca buku milik sendiri, daripada membaca buku pinjaman. Ada semacam kepuasan batin yang saya rasakan, ketika membaca buku yang saya miliki, yang saya beli sendiri—sesuatu yang tidak saya rasakan ketika membaca buku hasil pinjaman. Karenanya, sekarang, kalau kebetulan menemukan buku bagus di rumah teman, saya tidak tertarik meminjam. Saya langsung pergi ke toko buku, dan membelinya!
Dalam hal ini, mungkin, saya mengidap bibliofilia, yaitu kecenderungan yang amat kuat untuk memiliki dan mengoleksi buku, sekaligus membacanya. Terkait hal ini, ada kisah menarik untuk diceritakan.
Saya punya teman bernama Iwan (mungkin dia juga membaca catatan ini). Dia kawan zaman SD. Ketika kami lulus SD, Iwan mondok ke pesantren di Krapyak, Yogya, sambil meneruskan SMP hingga SMA. Setelah lulus, dia pulang, dan kami melanjutkan pertemanan yang terjalin dari zaman SD.
Suatu hari, Iwan mengajak saya ke Cirebon, untuk mengunjungi familinya yang tinggal di sana. Saya bersedia, tapi saya tidak punya uang transport (waktu itu kami sama-sama baru lulus SMA). Iwan bilang, dia yang akan membayar biaya transport, saya hanya perlu menemani. Dia bahkan menjamin, saya tidak perlu mengeluarkan uang serupiah pun. “Aku sudah senang kalau kamu mau menemani,” ujarnya waktu itu.
Maka kami pun pergi ke Cirebon.
Di Cirebon, kami menginap di rumah famili Iwan, tiga hari. Selama di sana, Iwan dan saya kadang keluar, mendatangi mal, menikmati suasana Cirebon. Suatu malam, kami mengunjungi dua mal, yaitu Grage dan Matahari, yang—kalau tidak salah ingat—letaknya bersisian. Di salah satu mal tersebut, ada toko buku Gramedia yang sangat luas, dan di sana terdapat ribuan buku terhampar di mana-mana.
Ya Tuhan, saya bahkan masih ingat sensasi yang saya rasakan waktu itu, ketika berdiri di antara ribuan buku di toko Gramedia yang ada di mal. Itu, jujur saja, toko buku terbesar yang pernah saya kunjungi, waktu itu.
Selama berada di sana, memandangi tumpukan buku yang terhampar di mana-mana, saya merasa bahagia sekaligus getir. Bahagia, karena dikelilingi ribuan buku, dan saya merasa seperti ikan di tengah kolam penuh air. Tapi juga getir... karena saya tidak punya uang untuk membeli satu buku pun!
Jadi, selama berada di toko buku di mal tersebut, saya hanya bisa memandangi, mengagumi, menyentuh buku-buku yang ada di sana dengan cinta, tapi tidak bisa memiliki. Saya datang ke Cirebon hanya untuk menemani Iwan, dan saya tidak punya uang sedikit pun. Karenanya, saat menyentuh buku-buku di sana, saya merasakan batin yang menangis... seperti kau jatuh cinta setengah mati pada seseorang, tapi menyadari tak bisa memiliki.
Waktu itu pula, saat berdiri dengan hati menangis di antara hamparan buku-buku, saya bersumpah pada diri sendiri, “Kelak, jika aku punya uang, aku akan membeli buku sebanyak-banyaknya, dan tidak ada keparat mana pun yang bisa menghentikanku!”
Bertahun-tahun kemudian, “kelak” itu benar-benar terjadi.
Ketika akhirnya saya punya uang, saya pun menunaikan sumpah yang telah saya nyatakan sekian tahun lalu, dan tidak ada keparat mana pun yang bisa menghentikan saya membeli buku... dan membeli buku... dan membeli buku... sampai sekarang. Well, sampai sekarang saya masih suka membeli buku. Sebegitu banyak buku yang kini saya miliki, hingga saya kewalahan membacanya.
Tapi saya puas—sebentuk kepuasan batin yang hanya dipahami sesama bibliofilia. Buku adalah cinta terbesar saya dalam hidup. Memandanginya saja, membuat saya senang. Menyentuhnya, bisa membuat hati bergetar. Dan kini saya hidup dengan dikelilingi buku, sesuatu yang sangat saya cintai. Meski sebagian besar belum sempat saya baca, tapi saya bahagia.
Kini, bersama kesibukan sehari-hari yang terus padat, saya punya sumpah baru yang juga akan saya penuhi. Kelak, saat pekerjaan dan kesibukan saya mulai berkurang, atau bahkan benar-benar selesai, saya akan menghabiskan waktu hanya untuk membaca buku. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, saya hanya akan membaca buku, dan tidak ada keparat mana pun yang bisa menghentikan saya membaca buku.
Bayangan saya tentang masa depan begitu sederhana. Di masa depan, mungkin saya tidak perlu lagi bekerja keras, karena kerja keras yang telah saya lakukan sejak muda akan menghidupi saya sepenuhnya sampai masa tua. Artinya, kelak, saya akan memiliki waktu luang yang bisa saya nikmati sepuas-puasnya, dan saya akan menikmatinya bersama buku... dan buku... dan buku....
Kalau di masa depan saya ditakdirkan punya mbakyu (iya, maksudnya punya istri), mungkin kegiatan saya setiap waktu hanya membaca buku... dan ndusel... dan membaca buku... dan ndusel... dan membaca buku... dan ndusel...
...dan tidak ada keparat mana pun yang bisa menghentikan.