Ada jilbab bersertifikat halal. Jadi gatel pengin ngemeng.
Makin hari, kehidupan dunia ini makin absurd dan makin mbuh.
—@noffret
Makin hari, kehidupan dunia ini makin absurd dan makin mbuh.
—@noffret
Sebagian orang menggunjing Rina Nose, bahkan menghujatnya, karena dia melepas jilbab. Semula, Rina Nose tidak berjilbab, dalam arti biasa berpenampilan seperti umumnya wanita Indonesia, tanpa tutup kepala. Belakangan, dia menambahkan jilbab sebagai penampilannya, sampai kemudian memutuskan untuk kembali berpenampilan tanpa jilbab.
Ketika Rina Nose mulai mengenakan jilbab, orang-orang adem ayem, sebagian ada yang senang, dan mengatakan Rina Nose telah mendapat hidayah. Sebaliknya, ketika Rina Nose melepas jilbab, orang-orang ribut dan menghujat. Dan seperti para penghujat lain, kebanyakan kita tidak ada yang bertanya, “Mengapa Rina Nose melepas jilbab?”
Oh, well, menghakimi memang lebih mudah daripada memahami.
Ketika seorang wanita muslim mengenakan jilbab, dan sebelumnya tidak berjilbab, kebanyakan orang langsung menarik kesimpulan, “Oh, syukurlah, dia telah mendapat hidayah.” Atau asumsi lain yang kira-kira seperti itu—intinya peralihan dari “buruk” menjadi “baik”. Karena jilbab, bagi sebagian muslim di Indonesia, diidentikkan dengan hal-hal baik.
Yang menjadi masalah adalah... bagaimana kita tahu seorang wanita mengenakan jilbab karena mendapat hidayah?
Orang Islam yang benar-benar belajar Islam tentu paham, bahwa hidayah (dalam bahasa Arab berarti “petunjuk”) adalah rahasia Tuhan. Kita tidak bisa memastikan seseorang mendapat hidayah atau tidak hanya dari penampilan. Terlalu naif—dan terkesan merendahkan Tuhan—jika kita menggunakan penampilan sebagai standar ukuran untuk menilai seseorang mendapat hidayah atau tidak.
Kalau boleh ngomong blak-blakan—dan tolong maafkan jika ini kasar—ada wanita-wanita yang mengenakan jilbab, tapi jual diri, dalam arti bisa di-booking siapa pun yang berminat. Kenyataan itu sudah jadi rahasia umum di Twitter. Beberapa pekerja seks komersial sengaja mengenakan jilbab sebagai bentuk—sebut saja—diferensiasi pasar. Jadi, mereka memakai jilbab, tapi pelacur. Dan mereka memajang foto-fotonya di Twitter, lengkap dengan nomor WA, serta tarif booking-nya.
Apakah jilbab yang mereka kenakan merupakan simbol hidayah?
Karenanya, seperti yang disebut tadi, hidayah adalah rahasia Tuhan. Dan kita tidak bisa semata-mata mengaitkan penampilan seseorang dengan hidayah. Selain terlalu naif, hal semacam itu terkesan merendahkan Tuhan, karena menilai sesuatu yang agung hanya berdasar penampilan.
Karenanya pula, ketika melihat seorang wanita mengenakan jilbab, padahal sebelumnya tidak berjilbab, sebaiknya tidak usah buru-buru menilai dia mendapat hidayah. Bisa jadi, itu sekadar “mencoba penampilan baru”. Karena, kalau kita buru-buru menilai seseorang mendapat hidayah hanya karena mengenakan jilbab, kita bisa kecewa dan patah hati, ketika melihat dia kembali tanpa jilbab. Seperti ketika melihat Rina Nose.
Ketika Rina Nose mulai mengenakan jilbab, bisa jadi waktu itu dia sekadar “mencoba penampilan baru”. Percaya atau tidak, banyak wanita yang melakukan hal semacam itu, terlepas dia artis atau bukan.
Ada sebagian wanita yang merasa lebih cantik jika mengenakan jilbab, lalu mereka meneruskan penampilan itu. Ada pula wanita yang merasa tidak nyaman mengenakan jilbab—misal rambutnya jadi kusam—maka mereka pun melepas jilbab. Di antara dua alasan atau latar belakang tersebut, masih ada alasan dan latar belakang lain yang menjadi penyebab seorang wanita (muslim) mengenakan jilbab atau tidak.
Saya mengenal seorang wanita yang sekarang mengenakan jilbab, padahal sebelumnya tidak mengenakan jilbab. Ketika saya tanya alasannya mengenakan jilbab, dia dengan jujur mengatakan, “Aku tidak enak dengan status ayahku.” Ayahnya seorang ulama yang dihormati, dan dia merasa punya kewajiban moral untuk mengenakan jilbab, untuk menghormati status ayahnya yang seorang ulama.
Apakah teman saya mendapat hidayah, ketika mulai mengenakan jilbab?
Meski ulama, ayah teman saya tergolong moderat, dan tidak pernah mewajibkan anak-anak perempuannya mengenakan jilbab. Artinya, ketika anak-anak perempuannya memutuskan memakai jilbab, itu semata-mata pilihan mereka sendiri. Meski begitu, pilihan itu terjadi karena—seperti yang dikatakan teman saya—“tidak enak dengan status ayahku.”
Sekali lagi, apakah teman saya mendapat hidayah, ketika mulai mengenakan jilbab? Well, pertanyaan yang patut direnungkan, eh?
Karenanya, mengaitkan jilbab semata-mata dengan hidayah adalah tindakan naif yang sembrono, sekaligus berpotensi membuat kita patah hati.
Sejujurnya, saya tidak tahu apa motivasi Rina Nose saat mulai mengenakan jilbab, sebagaimana saya tidak tahu apa motivasi Rina Nose saat kembali melepas jilbab. Dan, saya pikir, itu bukan urusan saya. Urusan saya adalah menghormati pilihan orang lain, termasuk menghormati pilihan mereka untuk berjilbab atau tidak. Rina Nose, sebagaimana wanita lain, punya hak untuk mengenakan jilbab atau tidak.
Sampai di sini, pasti ada sebagian orang yang ingin ngemeng, “Tapi, wanita muslim, kan, wajib mengenakan jilbab?”
Saya bukan ustad, dan tidak ingin bertingkah sok ustad. Tetapi, setahu saya, persoalan jilbab bagi wanita muslim—terkait wajib atau tidak—masih berada di ranah abu-abu. Dalam arti, sebagian ulama mewajibkan, sementara sebagian ulama lain tidak mewajibkan. Karenanya, ini termasuk persoalan khilafiyah yang tidak akan selesai diperdebatkan sampai kiamat.
Karena itu, daripada menghabiskan waktu dan energi untuk berdebat, saya lebih suka mengajak kita untuk berpikir dan merenung. Setidaknya, berpikir dan merenung masih lebih baik daripada menghujat orang lain. Dan salah satu bahan renungan yang mungkin asyik untuk dipikirkan, adalah jilbab yang pernah ada di baliho Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW).
UKDW adalah perguruan tinggi yang ada di Yogyakarta. Beberapa waktu lalu, kampus tersebut memasang baliho yang menampilkan beberapa mahasiswi UKDW. Pemasangan baliho tersebut dimaksudkan untuk mengenalkan UKDW pada masyarakat. Salah satu mahasiswi yang ada di baliho tampil mengenakan jilbab.
Hanya gara-gara itu, kampus UKDW didatangi—untuk tidak menyebut digeruduk—sekelompok orang yang menuntut agar baliho itu diturunkan. Alasannya, UKDW adalah perguruan tinggi Kristen, dan mereka tidak berhak menampilkan mahasiswi mengenakan jilbab, karena jilbab adalah simbol Islam. Menghadapi tuntutan itu, pihak UKDW mengalah. Mereka menurunkan baliho tersebut.
Padahal, mahasiswi yang tampil berjilbab di baliho benar-benar mahasiswi UKDW, dan dia seorang muslimah yang setiap hari berangkat ke kampus mengenakan jilbab. Artinya, dia memakai jilbab bukan semata karena akan tampil di baliho, melainkan karena memang setiap waktu mengenakan jilbab. Dan pihak UKDW memilih mahasiswi tersebut untuk tampil di baliho, karena dia mahasiswi berprestasi.
Ketika UKDW memasang baliho yang menampilkan mahasiswi berjilbab, mereka ingin menunjukkan bahwa UKDW terbuka menerima siapa pun yang ingin belajar di kampus mereka, terlepas apakah kau muslim atau kristiani. Di UKDW, mayoritas mahasiswa yang kuliah di sana memang Kristen—namanya juga kampus Kristen—tapi UKDW terbuka menerima mahasiswa dari agama lain, dan itu ditunjukkan melalui baliho yang menampilkan mahasiswi berjilbab.
Jadi, ketika baliho yang dimaksudkan dengan niat baik itu dipaksa sekelompok orang agar diturunkan, terus terang saya tidak paham.
Terkait penurunan baliho tersebut, Henry Feriyadi, Rektor UKDW, menyatakan dalam konferensi pers, “Kami merasa terancam karena mereka (yang menuntut agar baliho diturunkan) mengatakan akan mendatangkan massa dalam jumlah banyak, apabila baliho tak diturunkan.”
Hanya karena baliho menampilkan mahasiswi mengenakan jilbab, sebuah kampus harus menerima ancaman massa. Berlebihan? Mungkin, ya. Tapi begitulah yang terjadi ketika kita menilai segalanya hanya dari penampilan secara subjektif, tanpa mau melihat dan menyadari yang ada di balik penampilan.
Ketika Rina Nose mengenakan jilbab, kita mengatakan, “Syukurlah, dia mendapat hidayah.” Tapi ketika kampus UKDW menampilkan mahasiswi berjilbab, kita marah. Padahal, mahasiswi yang mengenakan jilbab di baliho memang muslimah yang setiap hari berjilbab.
Akan menarik membayangkan kalau, misalnya, mahasiswi UKDW yang berjilbab itu diminta melepas jilbabnya saat akan tampil di baliho. Sebagai kampus Kristen, UKDW bisa saja mengatakan pada si mahasiswi, “Kami ingin menampilkan Anda di baliho. Namun, karena kami kampus Kristen, bagaimana kalau Anda melepas jilbab yang dianggap identik dengan Islam?”
Kalau misal seperti itu yang terjadi, kira-kira bagaimana reaksi kita? Hampir bisa dipastikan, sebagian kita akan marah, bahkan ngamuk, dan akan ada segerombolan orang yang mendatangi UKDW untuk demo habis-habisan. Tidak menutup kemungkinan, mereka akan menuntut pemerintah agar menutup UKDW, karena menilai UKDW telah melakukan penistaan.
Untung, UKDW tidak melakukan hal semacam itu. Alih-alih meminta mahasiswi mereka melepas jibab, UKDW justru menghormati pilihan mahasiswi yang berjilbab, dan tetap menampilkannya di baliho dengan jilbabnya. Bagi saya, itu sebentuk penghormatan UKDW kepada semua mahasiswa, terlepas apa agamanya.
Tetapi, bahkan telah melakukan penghormatan semacam itu pun, sebagian kita masih ngamuk, dan menuntut pihak UKDW agar menurunkan baliho, karena menampilkan mahasiswi berjilbab. Jadi, apa sebenarnya yang kita inginkan?
Rina Nose melepas jilbab, kita marah. Dan ketika kampus UKDW menampilkan mahasiswi berjilbab, kita juga marah. Jadi, terkait jilbab, siapakah sebenarnya yang bermasalah? Mereka yang berjilbab atau tidak berjilbab... ataukah kita?