Selasa, 05 Desember 2017

Malam-malam di Tempat Dingdong

Orang yang suka mencari masalah itu tolol sekaligus konyol.
Wong tidak dicari pun masalah kadang datang.
Semoga hukuman bisa jadi pelajaran.
@noffret


Kalian pasti tahu permainan mengambil boneka di dalam kotak kaca. Kalau tidak keliru, permainan itu disebut claw machine, dan di hampir setiap swalayan terdapat permainan ini.

Dalam kotak kaca yang mirip akuarium, terdapat banyak boneka, dan di situ juga ada capit besi yang bisa digunakan untuk mengambil (menjepit) boneka di dalamnya. Cara bermainnya, kita masukkan koin ke lubang yang disediakan, lalu mengarahkan capit besi agar dapat meraih boneka yang kita incar. Jika beruntung, capit itu akan menjepit salah satu boneka di dalam kotak kaca, lalu menjatuhkannya di lubang khusus, untuk dapat kita ambil.

Di masa lalu, ketika saya masih SMA, permainan semacam itu sangat populer, dan banyak sekali peminatnya, khususnya kaum pria. Pada masa itu, boneka di kotak kaca diganti dengan rokok!

Di kota saya, ada tempat-tempat khusus untuk bermain video games (yang pada waktu itu biasa disebut dingdong). Di salah satu bagian kota, ada deretan tempat yang khusus menyediakan dingdong. Bentuknya seperti ruko, tapi hanya menyediakan puluhan dingdong yang bisa dimainkan siapa pun asal punya koin. Ada empat ruko yang berderet, dan khusus menyediakan dingdong, hingga tempat itu terkenal sebagai pusat dingdong.

Semula, permainan dingdong di sana hanya video games biasa—pesawat tembak-tembakan, para pegulat yang berkelahi, dan semacamnya. Ketika permainan menjepit boneka dalam kotak kaca mulai populer, tempat dingdong di sana juga menyediakan permainan tersebut. Sejak itu, saya lihat ada beberapa kotak kaca berisi boneka yang bisa dimainkan siapa saja yang berminat dapat boneka.

Tetapi, tampaknya, permainan jepit boneka tidak terlalu menarik minat para pemain dongdong. Nyaris semua pemain di sana laki-laki, dan sepertinya mereka tidak berminat pada boneka. Memang ada satu dua yang pernah mencoba, termasuk saya, tapi sepertinya permainan itu kurang menarik. Masih asyik bermain tembak-tembakan atau jotos-jotosan di layar video games.

Sampai kemudian, pemilik tempat dingdong mungkin punya ide brilian. Mereka menghilangkan boneka di dalam kotak kaca, dan menggantinya dengan rokok!

Jadi, sejak itu, kami menyaksikan ratusan bungkus rokok aneka merek terkumpul di dalam kotak kaca, dan menggoda siapa pun yang ingin mendapatkannya. Sejak itu pula, langsung menarik banyak orang. Pada awal kemunculannya, kami bahkan harus antre untuk bisa memainkan permainan itu, dan berharap bisa menjepit salah satu bungkus rokok di dalamnya.

Saya termasuk penggila permainan tersebut. Kalau pas ada waktu luang, saya pergi ke tempat dingdong, dan mencoba peruntungan dengan bermodal beberapa koin. Kadang-kadang saya beruntung dapat beberapa bungkus rokok, kadang-kadang juga harus gigit jari karena tak dapat apa-apa. Bagaimana pun, saya senang setiap kali mendapat keberuntungan. Hanya dengan satu atau beberapa koin, saya bisa mendapatkan rokok yang harganya jauh lebih mahal.

Tempat dingdong yang saya ceritakan ini bersebelahan dengan bioskop, dan berdampingan dengan sebuah mal (saat ini, bioskop tersebut sudah tutup dan berganti menjadi bar, sementara mal di sana sudah tidak beroperasi). Pada masa lalu, kawasan itu menjadi salah satu pusat hiburan terlengkap, dan menjadi tujuan banyak orang yang ingin berbelanja atau bersenang-senang.

Karena berdekatan dengan mal, orang-orang di tempat dingdong pun sering menyaksikan para wanita (SPG/pramuniaga mal) yang bekerja di sana. Mal itu tutup pukul 21.30, tapi para SPG di sana biasanya keluar sekitar pukul 22.00. Para SPG mal mudah dikenali, karena mereka memakai seragam—baju formal dengan bawahan setinggi lutut, atau di atasnya. Ketika pulang kerja, mereka biasanya berjalan—sendirian atau bersama teman—di trotoar depan tempat dingdong.

Itu pemandangan yang selalu saya saksikan, setiap kali ada di sana. Tapi waktu itu saya tidak tertarik, karena—sebagai bocah—saya lebih tertarik pada bungkus-bungkus rokok yang ada di kotak kaca, dan mengkhayal bisa mendapatkan rokok itu sebanyak-banyaknya.

Setiap kali pula, saya selalu mendengar cowok-cowok di sana menggoda para SPG yang baru pulang kerja, dari godaan yang basi sampai godaan yang bikin risih. Cowok-cowok itu bahkan kadang sampai melakukan hal-hal kurang ajar. Pernah, suatu malam, saya mendapati cowok di sana meremas pantat salah satu SPG yang sedang berjalan, dan si SPG menjerit ketakutan. Di luar itu, ada hal-hal lain serupa, tapi sebaiknya tidak usah saya ceritakan.

Yang jelas, suatu malam, saya mendapati sesuatu yang mencengangkan.

Malam itu, saya datang ke tempat dingdong dan bermaksud mengadu keberuntungan seperti biasa—berharap memperoleh rokok dalam kotak kaca. Waktu itu sekitar pukul 22.00, dan saya masih khusyuk menghadapi lemari kaca, ketika terjadi keributan yang membuat saya penasaran ingin melihat. Orang-orang di tempat dingdong juga keluar semua, ingin melihat yang terjadi.

Tidak jauh dari tempat saya bermain dingdong, orang-orang tampak mengerumuni sesuatu. Saya mendekat, ingin tahu apa yang terjadi, dan melihat seorang perempuan berseragam SPG sedang dipegangi dua satpam. Di tangan si perempuan terdapat rantai besi (yang biasa digunakan untuk mengunci sepeda di zaman itu), sementara di depannya ada seorang laki-laki yang tampak terjengkang, dengan muka penuh luka dan berdarah-darah.

Perempuan yang mungkin berusia 25-an itu lalu ditarik ke pos satpam mal, dan di sanalah kemudian dia menceritakan kronologi kejadian. Dia sendirian waktu itu—teman-temannya entah ke mana. Tapi mungkin amarah sudah sangat menguasainya, hingga ia tampak tidak gentar pada apa pun, termasuk pada dua satpam yang mencoba “menjinakkannya”.

Berdasarkan potongan-potongan informasi yang saya dapatkan, berikut ini kronologinya.

Perempuan itu, setiap malam, harus melewati depan tempat dingdong saat pulang kerja—karena arah menuju rumahnya memang harus melewati tempat itu. Setiap kali pula ia lewat di sana, selalu ada seorang laki-laki yang bersikap kurang ajar. Mula-mula hanya sapaan (catcalling), dan dia mencoba tidak menghiraukan. Lalu sikap laki-laki itu makin menjadi. Jika sebelumnya hanya menyapa dengan sikap menggoda, ia kemudian mencoba meraba.

Saat peristiwa itu terjadi pertama kali, si perempuan masih menahan diri. Tapi si laki-laki mungkin menganggap hal itu sebagai “penerimaan”, dan sikapnya makin kurang ajar. Suatu malam, saat si perempuan lewat sana seperti biasa, si laki-laki mendekati, dan tiba-tiba meremas payudaranya. Si perempuan menjerit, si laki-laki tertawa-tawa.

Karena menyadari laki-laki itu bisa berbuat lebih berbahaya, si perempuan mencoba melaporkan pada satpam mal, berharap satpam di sana bisa menegur si laki-laki untuk menghentikan perbuatannya. Tapi satpam menjawab, itu bukan tugasnya. Si perempuan lalu mencoba mengadu ke polisi—yang kebetulan punya pos khusus dekat mal—berharap polisi mungkin mau turun tangan. Tapi polisi yang ia temui hanya menyarankan, “Sebaiknya lewat jalan yang lain saja, atau minta jemput orang rumah.”

Mungkin, didorong kesal dan amarah, perempuan itu akhirnya memutuskan untuk menangani masalah dengan tangannya sendiri. Suatu hari, saat berangkat kerja, ia menyiapkan sebuah rantai yang biasa dipakai untuk mengunci sepeda, dan ia menyimpannya dalam tas.

(Catatan: Di masa itu, ada rantai khusus yang ditujukan untuk mengunci sepeda. Rantai besi itu cukup panjang, bobotnya ringan, dengan mata rantai relatif kecil, tapi memiliki bagian kepala yang cukup besar sekaligus berat. Saat dibeli di toko, rantai itu dilapisi plastik cukup tebal. Jika plastik itu dilepas, dan ujung rantai dilepaskan dari bagian kepala, benda itu bisa menjadi senjata mematikan.)

Dengan rantai itu pula, si perempuan bersiap menghadapi laki-laki yang telah kurang ajar terhadapnya. Malam itu, saat pulang kerja, dengan mental yang telah disiapkan, dia melangkah di depan tempat dingdong. Tangannya sudah siap merogoh ke dalam tas, dan memegangi rantai di dalamnya.

Dan harapannya terwujud.

Laki-laki yang diincarnya muncul seperti biasa. Laki-laki itu tampaknya bermaksud menyentuh payudara si perempuan, seperti tempo hari, tapi kali ini dia sedang menyongsong bahaya. Dengan sigap, perempuan itu menarik rantai dari dalam tas, dan menggunakannya untuk menghajar muka si laki-laki.

Seperti yang disebut tadi, ujung rantai itu memiliki kepala yang terbuat dari besi, dan ukurannya cukup besar sekaligus berat. Ketika benda itu dihantamkan ke muka seseorang, bisa dipastikan sakitnya luar biasa. Dan itulah yang terjadi pada laki-laki tadi. Mungkin, dia terkejut sekaligus kesakitan mendapat serangan itu. Dan belum sempat si laki-laki melakukan apa pun, si perempuan langsung menghajarnya tanpa ampun, dengan rantai yang telah berubah menjadi senjata mematikan. Hasilnya jelas; ancur!

Malam itu, di pos satpam, si perempuan berkata dengan tangis bercampur amarah, “Saya sudah lapor ke sini (pos satpam mal), tapi kalian hanya diam. Saya sudah lapor ke polisi, dan mereka juga diam. Apa saya harus tiap malam mendapati perlakuan kurang ajar seperti itu terus menerus? Jika saya tidak bisa mengharapkan siapa pun untuk menolong saya, apa lagi yang harus saya lakukan?”

Malam itu juga, saya melihat ada dua polisi datang ke pos satpam mal. Tetapi, setahu saya, tidak ada tindak lanjut untuk perempuan tersebut, dalam arti dia tidak ditahan akibat perbuatannya—hanya rantainya disita. Sementara laki-laki yang terluka justru dibawa oleh polisi.

Mungkin, satpam maupun polisi waktu itu kebingungan. Jika mereka harus menahan si perempuan, mereka juga akan merasa bersalah, karena nyatanya si perempuan telah meminta tolong sebelumnya, dan mereka tidak peduli. Jadi, tepat seperti yang dikatakan si perempuan, “Jika saya tidak bisa mengharapkan siapa pun untuk menolong saya, apa lagi yang harus saya lakukan?”

Ya, apalagi yang bisa ia lakukan? Menghajar orang yang kurang ajar padanya dengan rantai sepeda, itulah yang ia lakukan! Persetan dengan satpam! Persetan dengan polisi! Kalian ada, tapi diam saja, menganggap itu sebagai hal biasa. Jadi, biarkan aku membuat bangsat itu berdarah-darah dengan tanganku sendiri!

Nyatanya, sejak itu, tidak ada lagi orang yang berani kurang ajar pada para SPG yang lewat di depan tempat dingdong. Sejak peristiwa itu, masih banyak laki-laki yang nongkrong di sana. Tetapi, kali ini, semuanya diam, tidak ada lagi cuitan-cuitan, tidak ada lagi sapaan atau godaan, tidak ada lagi sikap kurang ajar. Mungkin, memang, setiap bangsat membutuhkan pelajaran.

Saya membenci kekerasan, really. Tetapi kalau kau tidak melakukan apa pun, lalu orang mengganggumu, dan kau memberi pelajaran kepadanya hingga berdarah-darah, saya tidak akan menyalahkanmu.

Karena hidup adalah soal pilihan. Termasuk memilih bersikap sopan, atau menjadi bangsat kurang ajar.

 
;