Senin, 20 Maret 2023

3 Alasan Saya Malas Pesan Makanan via Aplikasi

Aku bukan vegetarian. Tapi saat makan sehari-hari,
aku lebih suka makan makanan yang alami
(sebisa mungkin tanpa daging). Jadi selalu suka
kalau lihat makanan/masakan ala lalapan.
@noffret


Pesan makanan via aplikasi (PMVA) adalah layanan pesan antar makanan, yang kini jadi bagian gaya hidup banyak orang. Saya tidak perlu menyebut nama atau merek, kalian pasti sudah tahu sendiri aplikasi-aplikasi apa yang saya maksud.

Dengan PMVA, kita bisa makan apa saja, tanpa harus keluar rumah. Cukup buka aplikasi di ponsel, memilih makanan/minuman/jajan yang diinginkan, lalu... voila, makanan yang kita pesan diantarkan ke rumah. Setelah itu, kita tinggal membayar petugas yang mengantar, dan menikmati makanan dengan nyaman.

Sekilas, menggunakan layanan PMVA begitu menyenangkan, seperti yang saya uraikan barusan. Tetapi, ketika saya mempraktikannya sendiri, menggunakan PMVA untuk layanan makan tidak seindah yang saya bayangkan. Sebaliknya, saya kini sudah sampai pada tahap malas pesan makanan lewat PMVA. Berikut ini di antara alasannya.

Pertama, [ternyata] tidak efektif

Kebanyakan kita, dan termasuk saya, membayangkan PMVA adalah layanan yang membantu kita lebih efektif, dalam hal ini bisa menikmati makanan dari rumah makan mana pun, tanpa harus keluar rumah. Kita tidak perlu buang waktu untuk keluar rumah, tidak perlu buang waktu lagi untuk antre di rumah makan, karena semua urusan itu di-handle orang lain (petugas PMVA).

Tetapi, ternyata, itu hanya teori. Praktiknya, menggunakan PMVA justru membuat saya merasa tidak efektif! Alih-alih praktis dan efektif, saya justru membuang-buang banyak waktu untuk urusan yang sebenarnya sepele!

Ketika kita akan menggunakan layanan PMVA, apa yang kita lakukan? Benar, kita membuka ponsel, masuk aplikasi PMVA, lalu mencari dan memilih makanan mana yang kita inginkan. Saya pun begitu. Saat membuka layanan PMVA, saya mendapati banyak sekali pilihan makanan. Dari nasi putih, nasi kuning, nasi kebuli, nasi tomat, sebut lainnya. Dari ayam goreng, ayam geprek, ayam bakar, sebut lainnya.

Menghadapi pilihan-pilihan itu, naluri kita umumnya ingin terus melihat-lihat, dan tidak langsung menentukan makanan mana yang akan kita pilih/pesan. Selain melihat-lihat pilihan makanan, kita juga kadang memperhatikan jarak tempat penyedia makanan itu dari rumah kita (jauh atau dekat), berapa bintang yang ada (terpercaya atau tidak), bahkan sampai harga, dan lain-lain. Belum lagi kadang ada keterangan “Bisa jadi ada keterlambatan” yang membuat kita mengurungkan niat pesan makanan yang diinginkan.

Berapa lama waktu yang kita habiskan untuk melihat-lihat foto makanan di aplikasi? Bisa beberapa menit, seperempat jam, bahkan lebih. Dari hal itu saja, saya menyadari bahwa ini bukan membantu saya lebih efektif, tapi justru membuang-buang waktu saya.

Mark Zuckerberg, pendiri Facebook, punya kebiasaan terkenal, yaitu selalu memakai t-shirt yang sama. Kalau kita pelototi foto-foto Mark Zuckerberg di internet, kita akan mendapati dia selalu memakai t-shirt serupa—berwarna gelap, polos, dan tampak sederhana. Dan t-shirt polos itu ia pakai di berbagai kesempatan, hingga menarik perhatian.

Belakangan, Zuckerberg diwawancarai terkait t-shirt yang selalu dipakainya. Apa dia tidak punya pakaian lain untuk ganti?

Zuckerberg menjelaskan bahwa dia sebenarnya punya banyak t-shirt, tapi warnanya sama semua. “Jika saya memiliki pakaian beraneka model dan beraneka warna, saya harus menghabiskan banyak waktu hanya untuk memilih pakaian mana yang akan saya pakai hari itu, warna apa yang akan saya pakai, dan sebagainya. Saya tidak mau buang-buang waktu hanya untuk hal sepele semacam itu. Jadi, saya hanya membeli t-shirt dengan warna yang sama semua. Tiap kali membuka lemari, saya tidak perlu memilih bentuk atau warna. Saya tinggal ambil, pakai, selesai.”

Itulah efektivitas! Memilih pakaian, bagi Zuckerberg, bukan hal penting, jadi dia tidak mau buang-buang waktu untuk hal itu.

Hal serupa saya alami ketika membuka aplikasi PMVA. Alih-alih efektif, kegiatan melihat-lihat aneka makanan di aplikasi justru tidak efektif, karena membuang-buang waktu saya. 

Rumah makan langganan saya adalah RMP, yang menyediakan aneka masakan khas Indonesia. Jaraknya hanya sekitar 1 kilometer dari rumah saya. Rumah makan RMP juga ada di aplikasi PMVA.

Sekarang, umpamakan saya memesan makanan di RMP, melalui PMVA. Saya masukkan pesanan, lalu pesanan itu diteruskan oleh sistem PMVA ke petugas di wilayah terdekat. Si petugas lalu datang ke RMP, dan memesankan makanan yang saya pilih. Dalam hal itu, hampir selalu bisa dipastikan, petugas PMVA akan mengirim pesan via chat ke saya, “Sesuai aplikasi ya, Kak.” 

Tiap kali menerima chat semacam itu, saya selalu kebingungan. Apa maksudnya tanya “sesuai aplikasi”? Sudah jelas saya memesan makanan tertentu di RMP yang datanya ada di aplikasi. Sudah jelas makanan apa yang saya pesan, berapa jumlahnya, dan berapa harganya. Kenapa masih harus tanya-tanya “sesuai aplikasi”? Tentu saja sesuai aplikasi! Memangnya harus sesuai apa lagi?

Tapi saya kan tentu tidak boleh marah-marah pada petugas PMVA. Jadi, meski dongkol, saya berusaha meluangkan waktu untuk menjawab, “Iya, sesuai aplikasi.”

Setelah itu, saya harus menunggu sekitar setengah jam. Kadang malah lebih lama lagi, dengan berbagai alasan. Lalu petugas PMVA datang ke rumah, membawakan makanan, dan saya membayarnya. Total waktu yang saya habiskan untuk semua urusan itu—dari lihat-lihat foto makanan di aplikasi, menentukan, memesan, chat dengan petugas PMVA, sampai menunggu makanan diantarkan—sekitar satu jam! Waktu yang dibutuhkan bisa lebih lama, jika petugas PMVA “kesasar” ketika mencari alamat saya.

Sekarang, umpama saya datang langsung ke RMP yang jaraknya hanya 1 KM dari rumah. Yang perlu saya lakukan hanya mengeluarkan motor, melaju ke sana, dan dalam beberapa menit saya sudah sampai. Saya tinggal duduk, memesan, dan beberapa menit kemudian pelayan datang membawakan pesanan. Sejak saya mengeluarkan motor sampai pelayan membawakan makanan, waktunya tidak sampai setengah jam!

Ketika menyadari hal itu, saya melihat bahwa pesan makanan lewat aplikasi bukan membantu saya makin efektif, tapi justru membuang-buang waktu saya. 

Kedua, biayanya bisa berkali-kali lipat

Ini konsekuensi yang tak bisa dihindari. Makanan-makanan yang tersedia di aplikasi dipatok dengan harga yang lebih mahal dibanding harga aslinya. Karena penyedia aplikasi harus mendapat keuntungan dari makanan yang dijual. Jadi, harga makanan yang kita beli via aplikasi pasti lebih mahal dari harga aslinya (jika kita langsung datang ke tempat penjual). 

Kalau kita datang langsung ke tempat penjual makanan, hanya ada satu pihak yang harus mendapat keuntungan penjualan, yaitu si penjual makanan. Tapi kalau kita beli makanan lewat aplikasi, ada dua pihak yang harus mendapat keuntungan penjualan, yaitu si penjual makanan dan penyedia aplikasi. Akibatnya, harga makanan jauh lebih mahal.

Selain itu, konsekuensi lain yang tak bisa dihindari, kita juga harus membayar petugas PMVA yang membantu pesanan kita. Biayanya tergantung pada jarak yang ditempuh. Dalam beberapa kasus, biaya yang kita keluarkan—terkait pesanan makanan lewat aplikasi—bisa berkali-kali lipat dibanding jika kita datang langsung ke penyedia makanan. 

Ketiga, foto tidak sama dengan aslinya

Di antara yang lain, ini yang paling parah. Foto-foto makanan yang saya lihat di aplikasi tampak cakep semua. Nasinya kelihatan putih dan akas, dengan butiran-butiran nasi tampak menawan. (Sekadar catatan, saya hanya doyan nasi yang akas!)

Sayangnya, sering kali foto tidak sesuai aslinya. Beberapa kali saya mengalami kejadian mengerikan ini. Saya pesan makanan yang fotonya tampak cakep, membayangkan sesaat lagi bakal makan nikmat. Tapi ketika makanan diantarkan, semua bayangan saya buyar. Satu yang tak termaafkan, nasinya lembek dan menggumpal!

Seperti yang saya sebut tadi, saya hanya doyan nasi yang akas. Ketika mendapati nasi yang saya pesan lewat PMVA ternyata lembek dan menggumpal, saya tidak bisa memakannya. Terpaksa, akhirnya, saya harus keluar rumah untuk mencari makan!

 
;