Orang yang sering atau terbiasa menulis karya ilmiah pasti tahu—bahkan hafal—bahwa salah satu hal penting yang harus selalu dilakukan adalah menggunakan diksi atau pilihan kata denotatif (bermakna harfiah), bukan menggunakan kata konotatif (bermakna kiasan).
Karenanya, semakin sering atau semakin lama seseorang berkutat dengan hal-hal ilmiah, ia pun semakin dekat dengan realitas, dan, sebaliknya, semakin berjarak dari hal-hal yang tidak realistis (khususnya, dalam hal ini, penggunaan diksi atau kata-kata yang biasa dipakai).
Bagi “orang ilmiah”—maksudnya, orang yang terbiasa berpikir ilmiah—ya berarti ya, dan tidak berarti tidak. Orang semacam itu bisa dongkol dan bosan kalau menghadapi orang yang menjawab “ya” padahal maksudnya tidak, atau menjawab “tidak” padahal maksudnya “ya”.
Kalau kamu perempuan, dan kebetulan pacaran dengan orang yang kamu yakini cerdas, biasakan untuk berbicara apa adanya, bukan menggunakan kode-kode tolol yang biasa dilakukan perempuan saat berpacaran. Pacarmu bisa bosan kalau kamu pakai kode-kodean.
“Tapi cowok mestinya harus ngertiin cewek, dong!” Ya kalau begitu, kamu harusnya pacaran dengan cowok tolol! Atau, kalau beruntung, mestinya kamu pacaran dengan Albus Dumbledore atau Doctor Strange, yang bisa membaca pikiranmu tanpa harus ada penjelasan kata-kata.
Nyatanya, kita memang bisa menilai tingkat intelegensi seseorang dari sikap atau kata-katanya. Orang-orang cerdas bersikap dan berbicara secara langsung dan lugas, orang-orang tolol suka bicara mutar-mutar tidak jelas.