Zaman SMA dulu, saya biasa ke sekolah naik sepeda. Jarak sekolah dari rumah lumayan jauh. Tapi yang jadi masalah bukan jaraknya, melainkan ketika hujan turun. Kalau saya tetap bersepeda ke sekolah, tubuh akan basah kuyup kena hujan. Tak peduli secepat apa pun melaju.
Suatu pagi, hujan turun cukup lebat. Saya tidak mungkin menerobos hujan selebat itu dengan naik sepeda. Jadi, saya terpikir untuk naik becak saja, agar terlindung dari hujan. Ketika mencoba minta uang ke ibu untuk naik becak, dia marah, “Tidak usah bertingkah seperti orang kaya!”
Akhirnya saya berangkat ke sekolah dengan jalan kaki, agar bisa “meripit” (lewat pinggir-pinggir jalan yang terlindung atap), hingga tidak terlalu kena air hujan—meski nyatanya tubuh saya tetap basah. Tapi “meripit” lebih baik daripada nekat naik sepeda di bawah hujan.
Seperti yang saya bilang tadi, jarak rumah ke sekolah lumayan jauh. Dengan sepeda, kira-kira butuh seperempat jam. Dengan jalan kaki—apalagi dengan cara meripit seperti tadi—saya butuh waktu lebih lama. Dan tentu saja saya terlambat masuk sekolah. Gerbang telah tutup.
Di SMA saya dulu, kalau kamu datang terlambat, kamu tidak boleh masuk. Untungnya, saya punya “privilese”. Semua guru mengenali saya sebagai murid berprestasi, dan saya mengumpulkan banyak piala untuk sekolah. Jadi, mereka selalu “punya maaf untuk kesalahan yang saya lakukan”.
Sekarang bayangkan, andai saya dibelit kemiskinan—sebegitu miskin, hingga “tidak usah bertingkah seperti orang kaya!”—dan saya tidak punya prestasi apa pun di sekolah. Di rumah, saya mendapati kepahitan. Sementara masuk sekolah, saya akan diusir karena terlambat.
Dan itulah yang terjadi pada jutaan anak miskin di negara ini, juga di negara-negara lain. Kemiskinan tidak hanya melemparkan mereka dalam kepahitan, tapi juga melukai jiwa mereka; sebentuk luka yang mungkin tak pernah mereka katakan, karena dunia tak pernah memahami.
Karenanya, saya setuju saat seseorang mengatakan, “Dalam kemiskinan struktural, para orang tua tidak berani menyuruh anaknya untuk bermimpi setinggi langit.”
Yang terjadi pada saya, tepat seperti itu. Tiap kali saya mengatakan impian atau cita-cita saya, orang tua akan mematahkannya.
Kemiskinan struktural bisa merusak manusia—bahkan kemanusiaan—hingga begitu parah. Karena kemiskinan struktural tidak hanya memiskinkan orang secara ekonomi, tapi juga sampai tataran ideologi.
....
....
Sudah saatnya kita sudahi segala macam omong kosong berbau romantisasi, karena nyatanya kemiskinan tidak romantis sama sekali. Dan tak perlu mengglorifikasi kemiskinan—yang hanya membohongi diri sendiri—karena nyatanya hanya berisi trauma, luka, dan air mata.
Kemiskinan struktural hanya akan melahirkan tiga kemungkinan: Satu, orang miskin lain. Dua, sosok yang mungkin terlihat sukses [secara sosial] tapi sebenarnya menyimpan bekas keperihan. Dan tiga, bocah terluka yang berambisi meruntuhkan peradaban.