Selasa, 20 Februari 2024

Bayi-bayi Perempuan di Zaman Jahiliyah

Di Twitter, beberapa kali saya mendapati lontaran pertanyaan dan perdebatan mengenai “bayi-bayi perempuan dikubur hidup-hidup di zaman jahiliyah”. Kisah itu terkenal, bahkan menjadi bagian sejarah [pra]-Islam. Para ustaz atau penceramah, misalnya, kerap menceritakan bahwa seperti itulah kengerian peradaban jahiliyah, sebelum kedatangan Islam.

Yang jadi masalah, kisah itu menimbulkan tanda tanya... dan catatan ini akan menjawab pertanyaan mereka.

Kisah tentang “mengubur bayi perempuan hidup-hidup di masa jahiliyah” tampaknya membingungkan bagi sebagian orang, karena memang terkesan kontradiktif dengan kenyataan. Mudahnya, kalau bayi-bayi perempuan di zaman itu dibunuh, lalu bagaimana regenerasi mereka berkembang? Kasarnya, bagaimana mereka bisa beranak pinak, kalau para perempuannya dikubur hidup-hidup sejak masih bayi?

Sebenarnya, kisah itu tidak “sekolosal” yang mungkin kita bayangkan. Praktik membunuh bayi perempuan pada masa jahiliyah itu sebenarnya tak jauh beda dengan praktik kriminal pada anak/bayi di masa sekarang—ada orang yang melakukan, tapi tidak berarti semua melakukan. 

Bedanya, kalau membunuh anak di masa sekarang dianggap kejahatan dan dihukum, pelaku pembunuhan anak di masa jahiliyah tidak dituntut hukuman apa pun, karena praktik itu terkait dengan tradisi kabilah/suku setempat. Ini poin pentingnya: Praktik itu dilakukan secara eksklusif. Dengan kata lain, tidak semua orang di zaman itu mengubur bayi perempuan mereka hidup-hidup!

Bangsa Arab terdiri dari suku-suku atau kabilah, dan—khususnya di masa jahiliyah—masing-masing kabilah punya adat, tradisi, serta kebiasaan sendiri-sendiri. Ada kabilah yang kaya, ada pula kabilah yang miskin. Perbedaan ekonomi itu mempengaruhi tradisi dan kebiasaan mereka.

Kabilah yang kaya, misalnya, tidak terlalu masalah membiayai dan membesarkan anak, laki-laki ataupun perempuan. Tapi kabilah yang miskin sering kesulitan membesarkan anak, karena faktor ekonomi. Ditambah adat jahiliyah, mereka pun akhirnya main “hitung-hitungan primitif”.

Hitung-hitungan primitif itu sederhana: Kalau anakmu laki-laki, dia bisa membantumu bekerja mencari nafkah, untuk memperbaiki ekonomi keluarga. Tapi kalau anakmu perempuan, dia tidak bisa apa-apa, dan hanya makin membebanimu. (Ingat, ini pola pikir orang miskin jahiliyah.)

Berawal dari pola pikir semacam itulah, lalu muncul adat mengubur bayi perempuan hidup-hidup. Praktik ini lebih banyak dilakukan kabilah-kabilah miskin, karena alasan tadi. 

Selain alasan ekonomi, ada pula kabilah yang berpikir bahwa punya anak perempuan adalah aib.

Mengapa sampai muncul pemikiran bahwa anak perempuan adalah aib? Jawabannya sangat panjang, tapi dapat disingkat dengan meminjam istilah zaman sekarang: Stockholm syndrome. 

Pada masa jahiliyah, sering terjadi perang antarkabilah. Kabilah yang menang akan merampas harta benda kabilah yang kalah, dan menawan para wanitanya. Tawanan-tawanan wanita itu akan dibebaskan, jika ada tebusan dari pihak kabilah yang kalah, dan si tawanan bersedia.

Kalau kabilahmu kalah dalam perang jahiliyah, dan adik perempuanmu ditawan kabilah yang menang, misalnya, kamu bisa menebus adik perempuanmu untuk membawanya pulang—dengan catatan; uang tebusanmu cukup, dan adik perempuanmu bersedia diajak pulang. 

Dalam proses itu, ada kalanya tawanan-tawanan perempuan tidak mau diajak pulang, meski pihak keluarga/kabilahnya telah menyiapkan uang tebusan. Itulah yang disebut Stockholm syndrome, yaitu fenomena ketika pihak yang disandera justru bersimpati (tertarik, atau bahkan jatuh cinta) kepada pihak yang menyandera.

Fenomena itu pula yang lalu memunculkan adat “mengubur bayi perempuan karena alasan malu atau aib”. Pikir mereka, waktu itu, daripada perempuan-perempuan itu kelak menimbulkan aib—karena ditawan musuh tapi tak mau diajak pulang—jauh lebih baik dibunuh sejak bayi. Tradisi ini muncul, khususnya, pada kabilah-kabilah yang lemah atau yang memiliki anggota sedikit, sehingga rentan kalah dalam perang antarkabilah.

Berlatar fenomena itu pula, Qais bin ‘Ashim [yang kelak jadi sahabat Nabi] sampai membunuh 8 anak perempuannya di masa jahiliyah. Karena dia pernah dipermalukan oleh keponakan perempuannya, ketika si keponakan ditawan musuh, dan mengalami Stockholm syndrome.

Kisahnya, waktu itu, kabilah al-Misymaraj al-Yasykari menyerang kabilah Bani Sa’ad (kabilah Qais bin ‘Ashim), lalu merampas harta Bani Sa’ad dan menawan para wanitanya. Salah satu wanita yang ditawan kabilah al-Misymaraj adalah keponakan perempuan Qais bin ‘Ashim.

Setelah berdamai, Qais bin ‘Ashim mendatangi kabilah al-Misymaraj untuk mengambil pulang keponakannya, dengan sejumlah tebusan. Pada waktu itu, ternyata, keponakan Qais bin ‘Ashim telah—sebut saja—pacaran dengan ‘Amr bin Misymaraj. Ending-nya sangat tidak enak.

Qais bin ‘Ashim meminta ‘Amr bin Misymaraj agar menyerahkan keponakannya. ‘Amr bin Misymaraj mengatakan, “Aku serahkan urusan itu pada dia sendiri. Jika dia memilihmu, ambillah.” Tapi keponakan Qais bin ‘Ashim lebih memilih bersama ‘Amr bin Misymaraj.

Peristiwa itu membuat Qais bin ‘Ashim sangat marah sekaligus malu. Dia segera pulang ke kabilahnya, dan—dengan amarah yang masih membara—dia mengubur setiap anak perempuan dari kabilahnya, termasuk anak-anak perempuannya sendiri. 

Inilah asal usul tradisi mengerikan itu.

Sejak itu, tiap ada keluarga dari kabilah Bani Sa’ad punya anak perempuan, mereka akan menguburnya hidup-hidup, karena khawatir akan menimbulkan aib dan malu—merujuk pada kisah keponakan Qais bin ‘Ashim tadi. Kebiasaan itu lalu ditiru beberapa kabilah lain, dengan alasan serupa.

Jadi, praktik mengubur bayi perempuan itu memang ada di zaman jahiliyah, tapi bukan berarti semua orang di masa itu melakukannya. Ada banyak anak perempuan yang lahir di kabilah kaya, dan tumbuh besar hingga dewasa, bahkan juga kaya—yang paling terkenal, misalnya, Khadijah, yang belakangan jadi istri Nabi Muhammad.

Yang menjadikan kisah “mengubur bayi perempuan hidup-hidup di masa jahiliyah” sangat terkenal, sebenarnya, karena kisah itu disematkan pada Umar bin Khattab, yang belakangan menjadi salah satu khalifah. Ironisnya, kisah itu justru keliru, bahkan menjurus fitnah. 

Lebih ironis lagi, banyak orang Islam tidak tahu sejarah ini, dan ikut keliru—bahkan menelan mentah-mentah—sejarah yang ditulis secara keliru. Ada banyak guru/ustaz yang kerap mengisahkan Umar mengubur anak perempuannya, untuk mengilustrasikan zaman jahiliyah, padahal keliru.

Sedikit meluruskan soal ini. Ketika Muhammad menjadi Nabi, usia Umar bin Khattab waktu itu 27 tahun. Dia telah menikah, waktu itu, dan punya 3 anak, yaitu Hafsah, Abdullah, dan Abdurrahman. Dan semuanya masih hidup! Jadi, anak mana yang dibunuh Umar? 

[Hafsah, anak perempuan Umar, bahkan belakangan menjadi salah satu istri Nabi Muhammad. Padahal, ketika Hafsah masih bayi hingga beranjak remaja, ia dan keluarganya hidup di zaman jahiliyah—fakta tak terbantah bahwa Umar bin Khattab tidak membunuh anak perempuannya.]

Lebih lanjut soal ini. Umar bin Khattab berasal dari kabilah Bani ‘Ady, yang tidak punya tradisi mengubur anak. Umar juga memiliki hubungan sepupu dengan seorang aktivis penyelamat bayi, bernama Sha’sha’ah bin Najiyah Al-Tamim—dia semacam aktivis HAM di masa sekarang. 

Sha’sha’ah adalah pemimpin kabilah Bani Tamim yang kaya. Dia menggunakan hartanya untuk menebus bayi-bayi yang akan dibunuh orang tuanya. Satu bayi ditukar dengan dua unta. Kenapa dia mau melakukannya? Karena dia menentang pembunuhan bayi, dan itulah yang bisa dia lakukan. 

Dari masa jahiliyah sampai kemudian Islam datang, Sha’sha’ah telah menyelamatkan 300-an bayi yang nyaris dibunuh orang tuanya sendiri. Dan dia adalah sepupu Umar bin Khattab! Jadi sangat aneh dan tak masuk akal kalau Umar justru disebut membunuh anak perempuannya sendiri!

Lalu bagaimana bisa muncul kisah mengenai Umar bin Khattab mengubur bayi perempuannya? Berdasarkan sejarah, setidaknya ada dua hal yang menjadi kemungkinan mengapa kisah “Umar mengubur bayi perempuannya” sangat terkenal, bahkan sampai sekarang. Kemungkinan pertama adalah gara-gara salah dengar yang menimbulkan salah paham.

Jadi, ketika Umar telah masuk Islam, Nabi Muhammad suatu ketika menyampaikan QS. At-Takwir: 8-9, “Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apa mereka dibunuh...”

Mendengar ayat itu, Umar mengatakan, “Dulu, Qais bin Ashim pernah datang kepada Rasulullah dan berkata, ‘Aku telah mengubur 8 putriku hidup-hidup di zaman jahiliyah.’ Nabi lalu bersabda, ‘Merdekakanlah seorang budak perempuan untuk setiap orang dari mereka.’ Qais bin Ashim menyahut, ‘Aku hanya seorang peternak unta (tidak punya budak).’ Nabi menjawab, ‘Kalau begitu, sembelihlah seekor unta untuk masing-masing dari mereka’.” 

Kisah itu diriwayatkan Ath-Thabarani dalam al-Kabir, Al-Bazzar dalam al-Bahru az-Zakkhar, dan Al-Baihaqi dalam al-Kubra. 

Bisa jadi, ketika Umar mengisahkan cerita tadi, ada orang-orang yang salah dengar, lalu salah paham, dan mengira bahwa Umar dulu pernah mengubur bayi perempuannya di zaman jahiliyah. Padahal, yang dimaksud Umar dalam cerita itu adalah Qais bin Ashim. Sayangnya, orang-orang yang salah dengar dan salah paham tadi tidak melakukan verifikasi, lalu menyebarkannya ke orang-orang lain, sampai belakangan kisah keliru itu terwariskan ke zaman kita.

Kemungkinan kedua yang menyebabkan kisah “Umar mengubur bayi perempuanya” sangat terkenal, karena kisah itu sengaja dimunculkan sebagian pihak, terkait intrik politik ketika Umar akan diangkat menjadi Khalifah. Karenanya, semua kisah terkait hal itu tidak ada yang memiliki sanad jelas.

Akhirnya, kesimpulannya, praktik membunuh bayi perempuan di masa jahiliyah benar-benar ada, tapi bukan berarti semua orang di masa itu melakukannya. Karenanya, regenerasi tetap terjadi, bahkan dari zaman itu, karena populasi perempuan juga masih banyak.


Postscript:

Jika ingin mempelajari topik ini lebih lanjut, silakan lihat kisah Fatkhu Makkah. Sementara catatan ini merujuk pada: 
  • Al Mu’jamu Al Kabir (Ath Thabarani)
  • Al Mufashshal fi Târîkh Arab Qabla al Islâm (Jawad Ali)
  • Al Qabasu Al Waddha’ (Mohd Tayyib An Najjar)
  • Ar Rasul Shallallahu Alaihi Wassalam (Syeikh Said Hawa bin Muhammad Hawwa)
  • Al-Tahrir wa Al-Tanwir (Muhammad Al-Tahir bin Asyur)
  • Shahih Bukhari
  • Shahih Muslim
  • Tafsir Al Misbah (Prof. M. Quraish Shihab)
  • The Meccan Crucible (Zakaria Bashier)
 
;