Rabu, 20 Maret 2024

Ayat-Ayat Patriarki

Pengin banget nulis tentang Ayat-Ayat Cinta di blog. Tapi khawatir kalau dikira gimana-gimana, atau bahkan—jangan-jangan—sampai dituduh ingin menjatuhkan. Jadi, aku ocehkan saja di timeline, sebagai katarsis. Lagi pula sudah banyak yang mengulas topik/kisah ini di blog.

Dulu, aku membaca novel Ayat-Ayat Cinta, semata-mata karena penasaran akibat hebohnya novel itu. Dan, terus terang, aku sangat kecewa dengan isinya. Aku bahkan tidak tahu bagaimana novel itu bisa sedemikian heboh. Fenomena itu semacam anomali yang sulit dipahami.

Masalah terbesar pada novel Ayat-Ayat Cinta, menurutku, adalah glorifikasi tokoh utama yang berlebihan. Fahri, sang tokoh utama, digambarkan sangat sempurna, tanpa kekurangan sedikit pun. Pembaca novel (apalagi penulis novel) mana pun tahu, itu kesalahan yang sangat fatal.

Aturan penting terkait tokoh dalam novel: “Jangan pernah menciptakan tokoh yang sempurna!” Patuhi aturan itu, dan pembacamu akan tertarik, karena merasa menemukan “teman”. Sebaliknya, langgarlah aturan itu, dan pembacamu akan muak, karena merasa “dibohongi”. 

Fahri, tokoh utama Ayat-Ayat Cinta, melanggar aturan penting itu, dan dia menjadi tokoh sempurna dalam novel. Karena itulah aku benar-benar kebingungan, bagaimana novel itu bisa heboh dan [konon] disukai banyak orang. Selain terlalu sempurna, Fahri juga sangat seksis dan patriarkis.

Diakui atau tidak, Fahri merepresentasikan tokoh yang diagung-agungkan oleh para pemuja patriarki—ganteng (bukan ganteng yang nakal), kalem (tidak pecicilan), saleh (taat beragama), berpendidikan (sekolah di luar negeri), suka menolong, beristri salihah, dan... tentu saja, berpoligami.

Gambaran itu, sebenarnya, belum jadi masalah yang parah, meski penokohannya yang “terlalu sempurna” sebenarnya sudah bermasalah. Tetapi, masalah yang jauh lebih parah terjadi pada Ayat-Ayat Cinta 2. Kali ini, Fahri—sang tokoh utama, sang superhero—bukan hanya patriarki, tapi juga seksis.

Dalam Ayat-Ayat Cinta 2, Fahri digambarkan bukan hanya sempurna, tapi juga menjadi dewa penolong. Dan mayoritas yang ditolongnya adalah para wanita! Fahri, dengan naluri patriarkinya, seolah ingin mengatakan, “Kita lihat, hei para wanita. Kalian tidak bisa apa-apa tanpa pria.” Atau semacam itu.

Perhatikan, dalam Ayat-Ayat Cinta 2, tokoh-tokoh perempuan digambarkan lemah, rapuh, rentan, dan membutuhkan pertolongan. Ada satu tokoh wanita yang kuat, yaitu Brenda, yang menjadi pengacara sukses, dan tanpa suami. And you know what? Dia digambarkan menjalani hidup yang hampa!

Dan akhir kisah Ayat-Ayat Cinta 2 bisa ditebak—tak jauh beda dengan akhir kisah Ayat-Ayat Cinta 1. Semua wanita itu ingin Fahri menikahi mereka! Kecuali Oma Catarina yang sudah tua, tentu saja. Oh, well, benar-benar penutup yang sempurna untuk sebuah kisah yang seksis dan patriarkis.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 30 Desember 2017.

 
;