Alam semesta, dengan caranya sendiri, memberikan
banyak pelajaran. Manusia, bersama kebodohannya sendiri,
terlalu malas untuk belajar.
—@noffret
banyak pelajaran. Manusia, bersama kebodohannya sendiri,
terlalu malas untuk belajar.
—@noffret
Sering kali saya ditanya mengapa menyukai Suzuki Satria. Di antara semua motor yang beredar di Indonesia, saya memang paling suka Suzuki Satria. Bukan berarti motor lain tidak bagus—ini hanya soal selera. Kita biasanya cenderung memilih sesuatu yang mampu merepresentasikan diri kita, dan saya menilai Suzuki Satria merepresentasikan kepribadian saya.
Namun, rupanya, ada cukup banyak teman yang heran dengan pilihan itu. Karena, menurut mereka, Suzuki Satria memiliki beberapa “kekurangan”. Pertama, harganya relatif mahal. Kedua, bahan bakarnya boros. Ketiga, kemungkinan jual-kembali yang sulit, karena harganya relatif jatuh dibanding saat membelinya.
Tapi saya tak peduli. Saya memilih Suzuki Satria karena cinta kepadanya, dan persetan dengan perhitungan-perhitungan semacam itu. Faktanya, motor itu mampu memuaskan saya secara lahir batin, dan saya tak pernah menyesal telah memilihnya. Ini soal cinta. Soal pilihan. Dalam cinta dan pilihan, tidak seharusnya orang membuat perhitungan-perhitungan yang “keterlaluan”. Hidup hanya sekali. Jika kita harus memasukkan hal-hal tertentu ke dalam hidup, kita hanya akan memilih hal-hal yang kita cintai.
....
....
Dalam hidup, memang ada hal-hal yang perlu kita perhitungkan dengan cermat, bahkan detail. Ketika ingin membangun suatu usaha, misalnya, kita tentu harus memperhitungkan semua aspeknya dengan sangat cermat agar usaha yang kita lakukan bisa berjalan lancar. Kesuksesan sebuah usaha, sebuah bisnis, berawal dari kematangan persiapan sekaligus perhitungan cermat yang kita lakukan.
Tetapi keseluruhan hidup kita tidak bisa diperlakukan sebagaimana kita menghadapi bisnis yang melulu berorientasi untung rugi. Dalam berteman, misalnya, kita tentu tidak layak memperhitungkan untung rugi sebagaimana dalam bisnis, karena pertemanan atau persahabatan bukan bisnis. Kita berteman dan bersahabat dengan orang lain bukan karena uang atau keuntungan, melainkan karena kecocokan.
Begitu pun dalam spektrum kehidupan kita yang lain. Ada banyak hal dalam hidup ini yang seharusnya tidak dilatarbelakangi perhitungan-perhitungan tertentu, namun murni karena kita memang ingin memilihnya. Karena cocok, karena nyaman, atau karena cinta. Dalam kecocokan, kenyamanan, dan cinta, nilai uang sungguh tak punya harga. Kau tidak bisa membeli kecocokan dan kenyamanan, sebagaimana kau tidak bisa membeli cinta.
Ehmmm....
Jika kita bertanya pada milyuner mana pun di dunia ini, tentang bagaimana cara menjadi kaya, mereka semua akan menjawab kira-kira seperti ini, “Urusan kaya dan miskin adalah urusan mental.”
Terdengar aneh? Mungkin sebagian orang akan berharap mendengar jawaban, “bekerja keras”, “rajin menabung”, “hidup hemat”, dan semacamnya. Tapi tidak. Untuk menjadi kaya memang dibutuhkan hal-hal itu. Tetapi yang paling penting adalah mental. Selama seseorang masih bermental miskin, sampai kapan pun dia akan tetap miskin. Untuk bisa menjadi kaya, seseorang harus bermental kaya terlebih dulu!
Sebelum Bill Gates menjadi milyuner, dia telah memiliki mental seorang milyuner. Begitu pun Warren Buffet, Donald Trump, Rupert Murdoch, sampai Henry Ford dan Andrew Carnegie. Semua milyuner yang kita kenal hari ini telah memiliki mental seorang milyuner sebelum mereka menjadi milyuner. Sebagaimana orang miskin yang kita kenal hari ini juga memelihara mental miskinnya.
Soal kaya dan miskin adalah soal mental—ini hukum rahasia alam semesta yang telah berlaku sejak zaman Nabi Sulaiman, dan tetap akan berlaku sampai kelak di akhir zaman.
Mengapa anak orang kaya cenderung menjadi kaya, sebagaimana anak orang miskin juga cenderung menjadi miskin? Jawabannya tidak semata soal warisan, lingkungan, atau pergaulan, tetapi lebih karena mental! Anak orang kaya telah terbiasa memiliki mental kaya, sebagaimana anak orang miskin juga telah terbiasa memiliki mental miskin. Karenanya, hal paling penting yang harus dilakukan anak miskin untuk bisa menjadi kaya adalah memiliki mental kaya terlebih dulu!
Itu bukan teori yang terkesan muluk-muluk—itu aturan alam semesta yang tersembunyi. Saya percaya sepenuhnya, karena telah membuktikannya! Siapa pun yang bersekolah dengan saya di SD pasti tahu saya bocah yang sangat miskin. Dan siapa pun yang pernah kuliah dengan saya pasti tahu saya mahasiswa paling kaya di kampus. Saya mengatakan ini bukan untuk sok-sokan, melainkan untuk menunjukkan bahwa kita bisa keluar dari kemiskinan dengan mengubah mental kita.
Selama saya masih bermental miskin, sampai kapan pun saya akan tetap miskin. Untuk bisa keluar dari kemiskinan, saya harus melepaskan mental miskin terlebih dulu.
Apa yang disebut mental kaya dan mental miskin? Butuh pemaparan yang sangat panjang lebar jika saya harus menjelaskannya di sini. (Semoga di lain waktu kita bisa mempelajarinya di catatan lain).
Yang jelas, perbedaan paling mendasar antara mental kaya dan mental miskin adalah cara kita memandang hidup, dan cara kita menghadapi atau memperlakukan kehidupan. Perbedaan itulah yang menentukan seseorang bermental kaya, atau bermental miskin. Agar penjelasan ini lebih mudah dipahami, mari kita gunakan contoh nyata.
Perhatikan sekelilingmu. Lihatlah teman-temanmu. Ketika membeli sebuah ponsel, misalnya, ada orang yang membeli ponsel semata-mata karena memang mencintainya, namun ada pula yang membeli ponsel karena berpikir harga ponsel itu tidak akan terlalu jatuh ketika dijual kembali. Apa yang membedakan di sini? Bukan harga ponsel, bukan pula bentuk atau model ponsel. Yang membedakan di sini adalah mental keduanya!
Orang yang membeli ponsel karena semata-mata mencintainya, adalah orang bermental kaya. Dia tidak peduli jika harga ponsel itu kelak akan jatuh ketika dijual kembali, sebagaimana dia pun tak peduli jika harga ponsel itu relatif mahal. Jika dia bisa membelinya, dia akan membeli. Titik. Yang penting, baginya, adalah kepuasan hati. Itu tipe orang bermental kaya. Bagi mereka, yang penting adalah cinta, kecocokan, dan kenyamanan—persetan dengan lainnya.
Berbeda dengan orang bermental miskin. Ketika membeli ponsel, sebagai misal, orang jenis ini bukan membeli karena cocok dan cinta pada ponsel itu, melainkan karena berbagai pertimbangan. Umumnya, pertimbangan mereka bersifat ekonomis, misalnya, “harganya tidak terlalu jatuh ketika dijual kembali”. Coba lihat, bahkan sebelum memilikinya, dia sudah berpikir untuk menjualnya. Itu pola pikir orang bermental miskin.
Perhatikan, saya menyebut pola pikir orang bermental miskin, bukan pola pikir orang miskin. Ada perbedaan penting di sini. Orang yang secara ekonomi bisa disebut kaya, tidak menutup kemungkinan dia bermental miskin. Sebagaimana orang yang secara ekonomi bisa dibilang miskin juga tidak menutup kemungkinan dia bermental kaya.
Mental kaya atau mental miskin bisa dimiliki siapa saja. Orang kaya yang bermental miskin akan segera menjadi miskin, sebagaimana orang miskin yang bermental kaya—cepat atau lambat—akan menjadi kaya. Sekali lagi, ini hukum rahasia alam semesta.
Dalam kasus pembelian ponsel di atas, orang bermental kaya membeli karena cinta, karena menyukai ponsel itu. Karenanya, dia pun merasakan kepuasan karena memilikinya—sesuatu yang tidak dimiliki orang bermental miskin yang membeli karena pertimbangan ekonomis. Hal penting dalam kasus ini bukan harga ponsel yang murah atau mahal, melainkan cara atau pola pikir kita dalam membelinya.
Orang bermental kaya membeli sesuatu karena memang ingin memilikinya, dan tidak dipusingkan oleh hal lain. Dia membeli sesuatu karena cinta. Titik. Lalu dia puas dengan sesuatu yang dimilikinya. Ketika hal itu terjadi, secara tak langsung dia mengirim sinyal pada alam semesta bahwa dia kaya. Karena dia mengirimkan sinyal bahwa dirinya kaya, alam semesta pun mewujudkan kekayaan dan keberlimpahan untuknya.
Sebaliknya, orang bermental miskin membeli sesuatu dengan pertimbangan “harga jualnya tidak akan terlalu jatuh ketika dijual kembali”. Itu sama saja dengan mengirim sinyal pada alam semesta bahwa di masa depan dia akan kehabisan uang, hingga harus terpaksa menjual ponselnya. Karena dia mengirimkan sinyal kekurangan atau kemiskinan, maka alam semesta pun mewujudkan kemiskinan dan kekurangan untuknya.
You see that...? Di situlah letak perbedaannya! Begitulah aturan mainnya! Begitulah alam semesta memberlakukan hukum rahasianya.
Tujuan saya menulis catatan ini bukan untuk mengajarkan agar kita berlaku konsumtif atau agar kita bersifat boros. Tidak—bukan itu maksud yang saya tuju. Yang ingin saya katakan adalah bahwa kita—masing-masing dari kita—bisa jadi memiliki mental kaya, bisa jadi pula memiliki mental miskin. Dan, yang berbahaya, mental yang kita miliki akan berperan besar dalam menentukan hidup kita. Yang bermental kaya akan menjadi kaya, yang bermental miskin akan menjadi miskin.
Sekali lagi, ini aturan main alam semesta yang tak bisa diganggu gugat. Kau percaya atau tidak, permainan ini akan terus berlangsung. Jika kita ikuti cara permainannya, kita akan selamat. Jika kita melanggar atau mencoba menentang aturan mainnya, kita akan menanggung risikonya.
Dan saya...? Saya tentu akan memilih mengikuti aturan alam semesta, karena saya percaya. Karena itu pula, ketika memilih atau melakukan sesuatu, saya akan memilih dan melakukan atas dasar cinta, bukan karena perhitungan-perhitungan ekonomis tertentu. Ketika memilih motor, seperti yang diceritakan di atas, saya akan memilih semata-mata karena cinta dan kenyamanan, bukan memikirkan soal harganya yang mahal atau bahan bakarnya yang boros. Kalau saya bisa membelinya, kenapa saya harus dipusingkan hal-hal remeh lainnya?
Akhirnya, meminjam tweet yang sering dituliskan di Twitter, “Jangan bertingkah seperti orang susah!”
Demi Tuhan, tweet itu benar.