Hidup bahagia seperti celana dalam yang pas.
Tidak longgar, tidak terlalu ketat. Nyaman dirasakan.
—@noffret
Tidak longgar, tidak terlalu ketat. Nyaman dirasakan.
—@noffret
Saat belanja pakaian, kadang-kadang saya juga membeli celana dalam. Untuk hal satu itu, saya melakukan survei pribadi, untuk menemukan celana dalam paling pas dan paling nyaman saat dipakai. Meski tak terlihat—karena tertutup celana luar—tingkat kenyamanan celana dalam berbanding lurus dengan tingkat kenyamanan hidup yang kita jalani. Maksud saya, kau tidak bisa nyaman menikmati hidup kalau ada sesuatu yang terselip apalagi terjepit di celana dalammu.
Jadi, saat membeli celana dalam, biasanya saya akan membeli beberapa merek sekaligus. Kebetulan, swalayan yang saya datangi menyediakan cukup banyak pilihan. Kemudian, seiring hari demi hari, saya akan mengenakan masing-masing celana dalam itu, untuk merasakan merek mana yang terasa paling pas dan paling nyaman. Yang keluar sebagai “pemenang” kemudian saya jadikan celana dalam pilihan.
Di antara berbagai merek celana dalam yang pernah saya pakai, sebenarnya rata-rata terasa pas dan nyaman. Sama-sama terbuat dari bahan yang lembut, pas di pinggang, dan tersedia dalam banyak warna pilihan. Tetapi, bagaimana pun, tentu ada yang pualiiiiing pas dan nyaman. Kita sebut saja celana dalam Merek X.
Dibanding yang lain, celana dalam Merek X benar-benar hebat. Bahannya sangat lembut, hingga kita seperti tidak memakainya, karena begitu ringan memeluk pinggang, sangat halus menempel kulit, namun tepat dalam menyangga beban. Jika ada kompetisi celana dalam terbaik di dunia, mungkin Merek X akan menjadi pemenang.
Tetapi, bagaimana pun, sepertinya dunia ini tidak dibuat untuk sempurna. Celana dalam X yang hebat dan nyaris sempurna itu pun memiliki kekurangan. Yang ironis, kekurangan itu justru disebabkan oleh mereknya!
Jadi, celana dalam Merek X ditempeli label merek yang terbuat dari kain sintetis agak kaku, berukuran 5x2 sentimeter. Label merek itu dijahit secara horisontal di bagian karet sebelah dalam, di bagian belakang. Akibatnya, ketika dipakai, ujung merek yang kaku terasa menusuk-nusuk punggung. Padahal, rata-rata celana dalam lain memasang merek di bagian luar, di sebelah depan, sehingga keberadaan label merek sama sekali tidak mengganggu.
Karena masalah sepele itu pula, saya jadi jengkel setiap kali memakai celana dalam Merek X. Semua struktur yang membentuk celana dalam itu hebat, tapi label mereknya justru bermasalah! Saya tidak habis pikir mengapa Merek X ingin “tampil beda” dengan memasang label merek di bagian dalam, padahal umumnya celana dalam lain memasang label merek di bagian luar.
Akhirnya, untuk mengatasi hal itu, saya terpaksa melepaskan label merek dengan cara menggunting semua jahitannya, hingga label yang mengganggu itu terlepas. Setelah labelnya hilang, celana dalam itu pun benar-benar nyaman saat dikenakan. Dan hidup terasa lebih indah. Nyanyian burung terdengar lebih merdu, dan daun-daun pohon yang bergoyang tampak seperti tarian bidadari.
Karena celana dalam Merek X yang saya miliki cukup banyak, aktivitas melepas label merek dari celana dalam itu pun cukup memakan waktu. Bagaimana pun, saya harus sangat hati-hati saat menggerakkan gunting waktu memotong benang-benang jahitannya, agar tidak melukai bahan celana dalamnya. Label merek itu harus terlepas dengan mulus, tanpa ada bagian lain yang terluka.
Ketika sedang sibuk melakukan kegiatan aneh itu, saya sempat berpikir dan bertanya-tanya. Mengapa celana dalam Merek X melakukan hal semacam itu—memasang label merek di bagian dalam? Apakah mereka tidak sempat memikirkan hal semacam itu bisa mengganggu dan membuat pemakainya tidak nyaman? Kenapa mereka tidak meniru celana dalam lain saja, yang memasang label merek di bagian luar?
Mungkin, pikir saya, celana dalam Merek X ingin tampil beda, agar tidak mainstream. Bisa jadi mereka berpikir label merek di bagian luar sudah sangat biasa, dan mereka ingin tampil unik. Tetapi apalah arti unik, jika hasilnya justru membuat tidak nyaman? Apalah arti berbeda, jika efeknya justru menjengkelkan?
Atau, bisa jadi, celana dalam Merek X ingin tampil bersahaja dan tidak menonjolkan diri. Jika celana dalam lain menempelkan label merek di bagian luar, Merek X memasang label mereknya di bagian dalam. Tetapi, sekali lagi, apalah arti bersahaja jika hasilnya ketidaknyamanan?
Hidup kita tak jauh beda dengan celana dalam itu, kalau dipikir-pikir. Sebagian orang menunjukkan identitasnya terang-terangan bahkan berharap bisa dikenal banyak orang, sementara sebagian lain ingin tak terlihat karena tidak ingin dikenal. Apa pun pilihannya, tentu hak dan pilihan masing-masing orang. Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk, karena hidup adalah soal pilihan. Selama orang nyaman dengan pilihannya, kita tidak berhak mengganggu gugat.
Yang kadang menjadi masalah adalah pilihan yang didasari oleh sinisme atau keinginan untuk semata berbeda. Beberapa orang kadang sangat ingin dianggap antimainstream, sebegitu inginnya hingga mereka tampak sangat ekstrem. Padahal, tidak selamanya yang mainstream tak bernilai, sebagaimana tidak selamanya yang antimaintream pasti hebat.
Di Twitter, misalnya, ada cukup banyak orang yang sangat antiselebtwit. Sebegitu anti, sampai semua selebtwit jadi tampak seperti iblis baginya. Padahal, meski ada beberapa selebtwit yang songong campur bangsat, tapi banyak pula selebtwit yang baik dan ramah. Sebagian dari mereka bahkan sangat bersahaja, dan rajin memposting tweet-tweet lucu atau bermanfaat, hingga layak di-follow.
Identitas seseorang tak jauh beda dengan merek celana dalam. Apa pun mereknya, kita memilih dan memakai celana dalam bukan karena mereknya, melainkan karena kenyamanan. Bahkan, ketika merek yang melekat itu terasa mengganggu, saya sampai melepaskan label merek dari celana dalam demi bisa nyaman memakainya. Artinya, merek sama sekali tidak penting, jika dibandingkan kenyamanan.
Seseorang yang kita kenal mungkin punya merek artis, seleb di Twitter, public figure, atau orang terkenal di internet. Itu hanya merek. Sama seperti merek celana dalam, sebagian dari mereka ada yang menunjukkan identitasnya terang-terangan, ada pula yang menyembunyikan identitasnya karena tak ingin terlihat. Tetapi apa pun pilihannya, sekali lagi itu hak mereka. Jika kita nyaman dengan merek atau identitas mereka, silakan ambil. Jika tidak, cari yang lain.
Sebaliknya, kita juga punya hak untuk menunjukkan merek atau identitas kita sendiri, sebagaimana celana dalam yang kita kenakan. Kita bisa memamerkan merek itu di bagian luar secara terang-terangan, atau bisa pula menempelkannya di bagian dalam di sebelah belakang. Yang jelas, orang lain juga akan menilai merek atau identitas kita, sebagaimana kita menilai merek dan identitas orang lain.
Sebagian orang memasang merek dan membangun identitasnya secara alami, dari tidak dikenal menjadi terkenal, karena berbagai kualitas yang dimilikinya. Sebagian lain memasang merek dan membangun identitasnya dengan cara ekstrem hingga menimbulkan kehebohan sesaat dan terkenal dalam waktu singkat. Sebagian lainnya lagi ingin dikenal sebagai pihak yang “pokoknya beda dengan siapa pun”. Terserah saja, itu pilihan masing-masing orang, dan orang-orang lain pula yang akan menilainya.
Sebagaimana celana dalam, kita menilai kualitas dari kenyamanan. Apa pun merek seseorang, kita akan mendekat jika membuat nyaman, dan menjauh jika sebaliknya. Meski seseorang artis terkenal atau tokoh populer, kita tidak akan tertarik mendekatinya jika tidak merasa nyaman. Dan meski seseorang bukan siapa-siapa, kita pun menyukai berdekatan dengannya karena merasa nyaman. Merek sama sekali tidak penting. Karena yang penting adalah kenyamanan.
Dan, ketika melihat label-label merek berserakan setelah saya lepaskan dari celana dalam, saya pun jadi berpikir untuk tidak punya merek sama sekali. Kadang-kadang, ketiadaan merek justru terasa lebih baik dan membuat nyaman, sebagaimana label-label merek yang saya lepaskan dari celana dalam.