Rabu, 11 Juni 2014

Jupe Naksir Prabowo, tapi Dicueki, lalu Pindah Dukung Jokowi

Wanita suka dirayu. Tapi Adam terjatuh
karena rayuan Hawa. Alam Semesta memang
punya selera humor yang aneh.
@noffret


Banyak teman saya—khususnya yang cowok—menyukai Julia Perez. Bagi sebagian cowok, Julia Perez a.k.a Jupe mungkin tergolong wanita ideal. Khususnya bagi para pemuja ukuran 36 D. Karenanya, teman-teman saya pun kerap menyarankan, “Kamu sering-sering nulis soal Jupe, dong!” Dan biasanya ditambah keterangan, “Tulis bagian yang hot!”

Masalahnya, dalam hal ini, saya tidak terlalu tertarik pada Jupe. Meski secara fisik mungkin Jupe punya daya tarik, sayangnya itu tak mampu menarik minat saya. Alasannya sederhana—Jupe sama sekali tidak mencerminkan pribadi seorang mbakyu! Wanita ideal di mata saya adalah wanita yang memancarkan aura seorang mbakyu. Dan wanita itu bukan tipe Jupe.

Jadi, saya malas menulis soal Jupe. Kecuali kalau terpaksa. Seperti catatan ini.

Ketertarikan saya untuk menulis catatan ini dimulai ketika saya mendengar kalau Jupe naksir Prabowo. Iya, Prabowo Subianto yang calon presiden itu. Ceritanya, pada 19 Mei kemarin, Jupe mengirim mention ke Prabowo, berbunyi, “Dear pak prabowo, jupe siap di pinang kapan aja bapak mau.. Bapak kan mau jadi presiden butuh istri jupe siap pak..” (teks sesuai aslinya.)

Kita tahu, sebelumnya Jupe terlibat “yang-yangan” dengan pemain sepakbola Argentina, Gaston Castano. Tapi hubungan mereka putus, dan Jupe sekarang jomblo. Sementara Prabowo juga jomblo, setelah bercerai dengan istrinya. Entah karena kesepian atau karena ingin membuat kegegeran seperti biasa, Jupe lalu pedekate pada Prabowo. Dan pedekatenya benar-benar frontal, khas Julia Perez.

Sayangnya, upaya pedekate Jupe dibalas dingin oleh Prabowo. Bukannya menanggapi dengan kalimat berbunga-bunga atau memberi harapan, Prabowo hanya membalas, “Terima kasih untuk dukungannya selama ini, mbak @juliaperrez.”

Balasan Prabowo untuk mention Jupe itu ditulis pada 22 Mei 2014, atau tiga hari setelah Jupe menyampaikan maksud pedekatenya. Satu minggu kemudian, kabel diplomatik Kedutaan Besar Amerika Serikat mengalami kebocoran, dan salah satu yang bocor adalah kabar kalau Prabowo ternyata sudah punya pacar, seorang wanita yang tinggal di Thailand.

Ketika Jupe dikonfirmasi mengenai hal itu, dan wartawan ingin tahu bagaimana tanggapannya mengenai status Prabowo yang ternyata sudah punya pacar, Jupe hanya menjawab, “Nanti saja ya telepon lagi.”

Sampai berhari-hari sejak itu, Julia Perez belum juga memberi tanggapan pasti. Akhirnya, setelah didesak terus oleh wartawan, pada 4 Juni kemarin Jupe menyatakan kalau dia kecewa dengan kenyataan bahwa cintanya bertepuk sebelah tangan. “Sakit hati,” ujarnya. “Kayaknya Pak Prabowo sudah punya pacar.” Kemudian, dia menegaskan, “Saya pindah ke Jokowi saja.”

Sampai di sini, saya benar-benar penasaran. Kalau umpama Prabowo menerima pendekatan Jupe, apakah Jupe akan konsisten mendukung Prabowo, dan tidak tergoda dengan “yang-yangan” lain? Dan ketika Jupe beralih mendukung Jokowi karena kecewa akibat dicueki Prabowo, apakah dia akan konsisten mendukung Jokowi, jika suatu saat Prabowo mendekatinya? Sekilas, pertanyaan itu mungkin terdengar remeh. Tapi coba pikirkan implikasi psikologisnya.

Dalam film Mission Impossible II, ada dialog ironis antara Ethan Hunt (Tom Cruise) dengan Sean Ambrose (Dougray Scott), ketika mereka sedang berkonfrontasi memperebutkan zat biologi di tengah laboratorium yang porak poranda. Sean Ambrose berkata pada Ethan Hunt, “You know women, mate. Like monkeys, they are—won’t let go of one branch until they’ve got a grip on the next!”

Kalimat itu mungkin terdengar tajam, bahkan kasar. Sayangnya, kenyataan itulah yang kerap terjadi di dunia kita, khususnya dalam hubungan cowok-cewek.

Ketika seorang cowok menyadari hubungan yang dijalaninya keliru, sering kali mereka kebingungan dan berpikir sampai berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, hanya untuk menyatakan putus dari ceweknya. Sebaliknya, ketika cewek merasa ingin putus dengan cowoknya—apa pun alasannya—mereka bisa dengan mudah menjatuhkan ultimatum, meski kadang dengan alasan yang sangat tak masuk akal.

Memang tidak semua cowok begitu, sebagaimana tidak semua cewek begitu. Tapi “kebingungan cowok saat ingin putus dari ceweknya” sudah sangat terkenal, sama terkenalnya dengan “mudahnya cewek ketika ingin putus dengan cowoknya”. Apa artinya itu? Jelas, jauh lebih banyak cewek yang mudah memutuskan cowoknya, daripada sebaliknya.

Ada cowok yang menjalin hubungan pacaran dengan seorang cewek, akibat “kecelakaan”. Si cowok menganggap hubungannya dengan si cewek hanya berteman—tidak pernah mengucap cinta atau semacamnya—tapi si cewek menganggap mereka telah pacaran. Semula, karena bingung, si cowok membiarkan hubungan berjalan, sambil berpikir mencari cara untuk menjelaskan bahwa hubungan mereka hanya berteman.

Tapi ternyata itu bukan hal mudah. Sampai lebih dari setahun, si cowok tetap belum juga menemukan cara untuk menjelaskan status mereka. Sementara si cewek telah menganggap si cowok benar-benar pacarnya. Ini konyol, tentu saja. Tetapi, cowok yang menjalani hubungan itu sama sekali tidak menganggapnya konyol. Yang benar, dia frustrasi! Dia menjalani suatu hubungan tidak jelas, tidak pernah jatuh cinta pada si cewek, tapi terlalu kasihan setiap kali ingin menjelaskan kebenaran status mereka, bahwa dia tidak mencintainya.

Saya bisa membayangkan segalau apa perasaan cowok itu. Dia menjalani hubungan dengan seorang cewek hanya karena “kecelakaan”—suatu kedekatan yang membuat si cewek yakin mereka telah pacaran, meski si cowok belum jelas menyatakan cinta atau perasaannya. Sementara itu, si cowok terlalu kasihan jika ingin mengungkapkan isi hatinya yang sebenarnya, bahwa dia tidak mencintai si cewek, dan menganggap hubungan mereka hanya sebatas teman.

Sebaliknya, ada sepasang cowok-cewek yang telah pacaran sejak semester awal di kampus. Sampai menjelang wisuda, mereka tetap pacaran, dan keduanya telah berjanji untuk melangsungkan hubungan sampai altar perkawinan. Mereka saling jatuh cinta, saling ingin memiliki, saling mencintai. Rencananya, seusai wisuda, mereka akan bekerja dan menabung, lalu akan menikah setelah segalanya siap.

Suatu hari, tanpa angin tanpa hujan, dan tanpa pemberitahuan lebih dulu, si cewek menyatakan bahwa hubungan mereka putus sampai di situ, karena ada cowok lain yang telah melamar si cewek, dan orangtua si cewek telah setuju. Si cowok kaget, jengkel, galau, frustrasi, patah hati—sebut apa pun—tapi itu tidak mengubah keputusan si cewek. Intinya, mereka putus. Dan alasannya karena ada cowok lain yang telah melamar. Sangat mudah—oh, well, terlalu mudah!

Sebagaimana Jupe yang bisa mudah berganti dukungan dari Prabowo ke Jokowi, di dunia kita ada cewek-cewek yang teramat mudah pindah ke lain hati. Dan mereka bisa mengajukan seribu satu alasan untuk melakukannya—bahkan yang paling tak masuk akal sekali pun. Karenanya, meski terdengar kasar, ucapan Sean Ambrose memang ada benarnya, “Like monkeys, they are—won’t let go of one branch until they’ve got a grip on the next!”

Sampai di sini, kalian tentu ingin menyatakan, “Tapi, Hoeda Manis, tidak semua cewek seperti itu, kan?”

Benar, dear—tidak semua cewek seperti itu. Dan karena kenyataan itu pula, saya sengaja memperkenalkan (mungkin lebih tepat disebut meredifinisi) istilah mbakyu.

Di dunia ini ada dua jenis perempuan. Jenis pertama adalah mbakyu, dan jenis kedua bukan mbakyu. Saya sengaja tidak menggunakan dikotomi baik dan buruk, tapi mbakyu dan bukan mbakyu. Dalam hubungan antar lawan jenis, baik dan buruk bisa sangat relatif. Tapi mbakyu dan bukan mbakyu, itu mutlak.

Lalu bagaimana kita tahu seorang cewek tergolong mbakyu atau bukan? Dan bagaimana kita tahu pasangan kita tergolong mbakyu atau bukan? Izinkan saya menjelaskannya.

Ketika seseorang—khususnya cowok—menginginkan seorang pasangan, disadari atau tidak, dia sedang ada di antara dua pilihan; antara kebanggaan dan ketenteraman. Sebagian cowok menomorsatukan kebanggaan, sebagian lain menomorsatukan ketenteraman. Itu pilihan masing-masing mereka, jadi tidak ada yang salah. Tetapi, masing-masing pilihan itu sering kali mengandung konsekuensi.

Ada teman kita yang pacarnya sangat cantik. Secara fisik sempurna—wajahnya bersinar seperti lampu senter, rambutnya lurus mirip jalan tol, kulitnya selembut tepung terigu, posturnya langsing dan jenjang seperti tiang listrik, dan dadanya saingan sama Jupe. Tentu saja cowok yang menjadi pacarnya akan bangga setiap jalan dengan cewek semacam itu. Bangga—tapi apakah tenteram atau tidak, itu urusan lain.

Jika si cowok merasa tenteram dengan cewek itu, artinya si cewek termasuk mbakyu. Karena ciri khas seorang mbakyu adalah menenteramkan. Tetapi jika si cowok tidak merasa tenteram—tak peduli secantik apa pun si cewek—maka si cewek bukan mbakyu, karena tidak memiliki unsur mbakyu, yakni menenteramkan. Dan tingkat ketenteraman seorang cowok berbanding lurus dengan tingkat kesetiaan seorang cewek, bukan berbanding lurus dengan tampilan fisiknya!

Jadi, mbakyu dan bukan mbakyu tidak semata urusan fisik, bukan juga soal usia. (Meski mungkin lebih banyak wanita dewasa yang mbakyu daripada yang masih remaja). Mbakyu adalah wanita yang menenteramkan, seseorang yang kita percayai mampu menjaga hati kita, karena dia akan tetap bersama kita, dan tidak akan tergoda menjadi “monyet yang meninggalkan dahan begitu mendapatkan pegangan lainnya”.

Karena itulah, saya tidak terlalu tertarik pada Jupe. Dia sangat mudah berpindah dari Prabowo ke Jokowi hanya karena alasan sepele. Tampaknya, Jupe masih butuh banyak waktu untuk bisa menjadi seorang mbakyu. Dan, saya pikir, Prabowo pun paham soal itu. 

 
;