Minggu, 15 Juni 2014

Anak-anak Memaki Orangtuanya

Rantai makanan memang ada, dan terus berlangsung.
Kadang terlihat, kadang diam-diam.
Yang mengerikan, tidak hanya secara biologi.
@noffret


Di Twitter atau di Facebook, kita mungkin pernah—atau bahkan sering—mendapati orang (biasanya remaja) menulis makian pada orangtua mereka. Kadang-kadang, makian itu sangat kasar, hingga orang lain sampai risih campur heran ketika membacanya. Risih, karena makian itu ditulis secara terbuka hingga siapa pun bisa membacanya. Dan heran, karena bagaimana bisa ada anak yang sampai hati mencaci-maki orangtuanya.

Karena kenyataan itu pula, kadang ada orang yang sampai meng-capture caci-maki tersebut, dan menyebarkannya melalui timeline-nya. Hasilnya bisa ditebak, anak yang mencaci-maki orangtuanya tadi langsung di-bully ramai-ramai, karena dianggap durhaka, dan orang-orang yang mem-bully tiba-tiba merasa menjadi anak paling berbakti di dunia.

Kejadian semacam itu tidak hanya terjadi sekali, tapi cukup sering. Dan itulah anehnya. Jika kita searching di Twitter menggunakan kalimat tertentu yang ditujukan untuk memaki orangtua, misalnya, kita bisa menemukan setumpuk tweet yang semuanya berisi caci-maki terhadap orangtua, yang ditulis oleh banyak remaja. Ada yang mencaci ayahnya, ada yang memaki ibunya. Artinya, caci-maki seorang anak terhadap orangtuanya tidak bisa dibilang kasuistis, karena dilakukan banyak orang.

Pertanyaannya, ada apa dengan anak-anak itu...?

Dalam suatu acara, saya bertemu Lidya, seorang teman lama, yang sekarang menjadi guru di sebuah SMP. Kami pun mengobrol, dan saling bercerita. Ketika obrolan kami sampai pada topik anak-anak yang memaki orangtua, Lidya menceritakan kisah seorang muridnya yang sangat mengejutkan. Kita sebut saja namanya Deni.

Deni adalah satu di antara banyak murid Lidya di SMP. Di antara teman-temannya, Deni hanyalah murid yang “biasa-biasa saja”, dalam arti tidak terlalu pintar atau tidak memiliki prestasi menonjol. Tetapi, yang membuat Lidya tertarik kepadanya, Deni cukup sering diadukan ke guru karena melakukan tindak kekerasan terhadap teman-temannya. Puncaknya, Lidya mendapati coretan caci-maki di buku tulis Deni yang ditujukan kepada orangtuanya. Dia menemukan caci-maki itu tanpa sengaja, ketika sedang memeriksa PR di buku tulis Deni.

Sebagai guru dengan background psikologi, Lidya berusaha menghadapi Deni tanpa buru-buru menghakimi. Dia percaya Deni tidak dilahirkan sebagai anak nakal apalagi anak durhaka. Jika kemudian dia terbentuk menjadi murid yang terkenal nakal dan punya kecenderungan durhaka pada orangtua, Lidya pun berusaha mencari jawabannya. Jadi, yang dilakukan Lidya kemudian adalah berusaha mendekati Deni, dan mencoba mengajaknya berteman.

Sebelumnya, berkali-kali Deni dilaporkan kepada guru di sekolah akibat tindakan kekerasannya pada teman-teman. Biasanya, Deni akan dinasihati dan diceramahi macam-macam, dan biasanya pula Deni hanya diam tanpa menyatakan apa pun. Dia tidak pernah ditanya mengapa melakukan tindak kekerasan pada teman-temannya. Dia langsung divonis, dan langsung diceramahi. Karena Deni tidak ditanya, dia pun mungkin tidak perlu menjelaskan apa pun. Dan karena dia langsung divonis sebagai anak nakal, Deni pun hanya bisa menganggukkan kepala.

Kenyataan itu sangat disadari oleh Lidya. Jadi, ketika mendekati Deni, dia tidak berperan sebagai guru yang menghakimi, melainkan berusaha menjadi teman yang ingin memahami. Mula-mula tidak mudah, karena sifat Deni yang tertutup. Di kelas pun, Deni tidak banyak omong. Hubungan mereka mulai terjalin ketika suatu hari Lidya memberikan PR untuk murid-muridnya, dan diam-diam berkata pada Deni, “Kalau kamu mau datang ke rumah saya, nanti saya bantu PR-mu.”

Mungkin karena percaya pada itikad baik ibu gurunya, Deni datang. Lydia memenuhi janjinya. Ketika Deni datang, dia menyambutnya dengan ramah, lalu membantu mengerjakan PR yang diberikannya. Dia tidak langsung masuk pada inti yang ditujunya—dia ingin membangun kepercayaan lebih dulu. Di kelas, ketika PR itu dikumpulkan, Lidya memberikan nilai bagus untuk Deni. Kepercayaan sang murid mulai terbentuk.

Lalu hal sama berulang. Lidya kembali memberi PR, dan diam-diam berkata akan membantu PR Deni kalau dia mau datang ke rumah. Deni kembali datang. Setelah melihat Deni percaya kepadanya, dan sikapnya mulai tampak terbuka, Lidya mulai masuk pada inti yang ditujunya. Dengan halus, dia mulai bertanya kepada Deni tentang beberapa hal negatif yang dilakukannya. Lidya mengajukan pertanyaannya dengan santai, seperti seseorang kepada temannya, bukan dengan otoritas guru pada muridnya.

Hasilnya efektif. Ketika Deni mulai membuka mulut, ceritanya mengalir seperti bendungan jebol. Mungkin, selama ini, Deni ingin menceritakan kisah dirinya kepada orang lain yang dapat ia percaya. Tapi ia menahan diri, karena tak mampu menemukan siapa pun yang bisa dipercaya. Ketika Lidya membuktikan dirinya bisa menjadi teman yang dapat dipercaya, Deni pun menceritakan semuanya.

Deni lahir dan tumbuh di sebuah keluarga yang relatif miskin. Dia anak bungsu dari dua bersaudara. Ayahnya bekerja sebagai buruh pabrik dengan penghasilan pas-pasan, sementara ibunya menjadi ibu rumahtangga yang kadang bekerja apa saja untuk membantu menambah penghasilan keluarga. Sebenarnya, kondisi itu tidak terlalu bermasalah bagi Deni, kalau saja rumahnya tidak menjadi neraka baginya.

Kedua orangtua Deni sering bertengkar, dan pertengkaran itu nyaris selalu berakhir dengan tindak kekerasan yang dilakukan ayah Deni kepada istrinya (ibu Deni). Hampir setiap hari Deni menyaksikan ibunya ditampar, ditendang, dan dicaci-maki ayahnya, dengan berbagai alasan. Sebegitu seringnya pertengkaran itu terjadi, hingga tetangga mereka sudah menganggapnya hal biasa. Setiap kali terjadi keributan di rumah, para tetangga akan pura-pura tak tahu.

Sebenarnya, Deni kasihan melihat ibunya. Tetapi rasa kasihan itu berubah menjadi benci ketika ibunya melakukan hal sama pada anak-anaknya, khususnya dirinya. Kakak Deni sudah putus sekolah, dan seharian bekerja di luar rumah—macam-macam kerja, kata Deni. Kadang jadi karnet angkutan umum, kadang menjadi pengamen, dan lain-lain. Karenanya, Deni yang lebih sering ada di rumah, dan hal itu menjadikannya sebagai sasaran korban kekerasan ibunya.

Setiap kali pulang sekolah, Deni sering prihatin. Ia sekolah dengan tekanan batin—ibunya sangat jarang memberi uang saku, dan dia sering tidak bisa membeli buku pelajaran yang diperlukan. Dan setiap kali pulang sekolah, selalu ada berbagai macam alasan yang membuat ibunya marah kepadanya, dan menjadikannya sebagai sasaran kemarahan. Hanya karena sedikit masalah, ibunya bisa langsung meledak.

Selama bertahun-tahun, kisah Deni, dia telah menghadapi berbagai tindak kekerasan orangtuanya—ayah dan ibunya—dan beberapa memar di tubuhnya bisa menjadi saksi. Deni pernah ditampar, dijambak, dipukul wajan, dilempar talenan, dan pernah mendengar aneka caci-maki yang sangat menyakitkan hatinya sebagai seorang bocah. Tampaknya, pikir Deni, dia tidak memiliki apa pun yang benar atau positif bagi orangtuanya, hingga yang terlihat pada dirinya hanyalah tumpukan kesalahan.

Meski selalu prihatin setiap berangkat ke sekolah akibat jarang punya uang saku, tapi Deni menganggap sekolah cukup menyenangkan, karena bisa meninggalkan rumahnya, meninggalkan sejenak kekerasan orangtuanya. Karena kenyataan menyakitkan itulah yang sampai membuat Deni pernah menulis caci-maki pada orangtuanya, ketika dia merasa sangat sedih dan kesepian, hingga yang ia mampu lakukan hanyalah menuliskan kekesalan di buku tulisnya.

Kisah yang saya tuliskan di sini mungkin rapi dan terstruktur, hingga cukup mudah dipahami. Tapi ketika Deni menceritakan langsung kisahnya pada Lidya, jalan ceritanya agak berantakan karena dituturkan seorang bocah SMP. Berantakan—tapi efek dramatisnya lebih menyentuh, hingga Lidya sampai berkaca-kaca saat mendengar semua tuturannya. Dan, sejak itu pula, Lidya pun mulai bisa memahami semua tindakan Deni yang pernah ia saksikan di sekolah.

Tidak ada orang yang dilahirkan untuk menjadi anak nakal, apalagi anak durhaka. Begitu pun Deni, begitu pun anak-anak tetangga kita, begitu pun anak-anak yang mungkin kita temukan di Twitter atau Facebook. Mereka sampai mencaci-maki orangtuanya bukan tanpa sebab, bukan tanpa alasan. Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi pada mereka, hingga sampai melakukan tindakan menyedihkan semacam itu. 

Kita yang hidup di dalam keluarga damai sejahtera, mungkin sangat menghormati kedua orangtua, bahkan sampai memuja mereka sebagai orangtua terbaik di dunia. Mengapa? Karena kita punya alasan, karena kenyataannya orangtua kita memang baik. Tetapi bukan berarti semua orangtua di dunia ini sama baik dan sama sempurnanya dengan orangtua kita.

Kedua orangtua Deni mungkin orangtua yang baik—sama baiknya dengan orangtua lain yang baik. Tetapi kondisi hidup sering kali mampu mengubah seorang yang baik menjadi sangat buruk. Itu realitas yang sebenarnya sangat mudah kita lihat, kalau saja kita mau peka memperhatikan lingkungan sekitar, dan bukannya terlalu sibuk selfie dengan memuja diri sendiri.

Tidak ada orang yang dilahirkan untuk menjadi jahat, begitu pun ayah Deni. Tetapi, kondisi hidup mungkin mengubahnya, mendegradasi kepribadiannya. Karena penghasilan yang pas-pasan dan sering kali kurang, ayah Deni mungkin menilai harga dirinya sangat rendah—itu kecenderungan khas yang dilakukan orang-orang yang terdesak oleh hidup. Kondisi itu diperparah tanggung jawab keluarga, bahwa ia harus menghidupi istri dan anak-anaknya. Diakui atau tidak, gaji pas-pasan dan tuntutan tanggung jawab keluarga sering kali mampu mengubah perangai seorang laki-laki.

Sebagai laki-laki, mungkin ayah Deni mampu bertahan menghadapi gempuran hidup yang berat. Tapi jangan lupa, dia punya istri. Dan istri mana pun, wanita mana pun, selalu punya tuntutan terhadap suami—diakui atau tidak—karena memang hak istri untuk mendapat tanggung jawab suami. Ketika penghasilan tidak mampu memenuhi tanggung jawab, dan sang istri tidak mampu memahami, maka api pertama mulai menyala di dalam rumah. Itu konsekuensi hidup berumah tangga.

Sebagai istri, mungkin ibu Deni telah berusaha memahami kenyataan suaminya yang bergaji pas-pasan. Tapi ketika kebutuhan hidup terus meningkat sementara penghasilan suami selalu kurang, bagaimana pun kesabaran seorang istri akan terkuras. Mula-mula mungkin dia hanya diam, dan bersabar, tapi kesabaran—termasuk kesabaran seorang istri—selalu memiliki batas. Dan ketika batas itu terlampaui, wanita pun mulai terlihat aslinya. Mula-mula muncul ucapan tajam, sindiran, lalu perkataan kasar, dan terjadilah pertengkaran.

Apa kira-kira yang ada dalam pikiran ayah Deni? Dia didesak oleh hidup. Seharian dia harus banting tulang, dan hasilnya adalah gaji pas-pasan. Di rumah, istrinya terasa menjengkelkan dan sering menyulut pertengkaran. Dengan penilaian diri yang rendah, ayah Deni pun kemudian menjadikan istrinya sebagai lampiasan kemarahan. Dia tidak mampu melawan kehidupan di luar rumahnya, maka dia menjadikan isi rumahnya sebagai pelampiasan. Maka istrinya pun menjadi korban.

Rantai makanan tidak hanya berlaku dalam bidang biologi. Tapi juga dalam hal psikologi. Ketika seorang lelaki—seorang suami—tidak mampu mengalahkan dunia, maka dia akan cenderung “mengalahkan” isi rumahnya, yakni istri dan anak-anaknya. Dia telah kehilangan harga diri dalam menghadapi dunia, sehingga ia membangun harga dirinya dengan cara “berkuasa” di dalam rumahnya. Itu kisah klasik yang menimpa banyak rumahtangga yang sebenarnya sangat kasatmata, kalau saja kita mau sedikit peka melihatnya.

Yang mengerikan, efek kekerasan tak jauh beda dengan rantai makanan. Ia berputar, dari yang besar kepada yang kecil. Ketika suami menganiaya istri, mungkin sang istri tidak melawan, dengan berbagai alasan. Tapi bukan berarti masalahnya telah selesai. Karena sang istri tidak berani melawan suaminya, dia melampiaskan amarahnya kepada anak-anaknya. Kenyataan itulah yang kemungkinan juga terjadi pada Deni. Ibunya tidak berani melawan suaminya, maka dia melampiaskan kejengkelannya pada Deni.

Dan Deni...? Jawabannya sangat gamblang. Dia juga butuh pelampiasan atas amarah yang ditimbulkan oleh ibunya di rumah. Maka dia pun cenderung melakukan tindak kekerasan yang sama pada teman-temannya di sekolah. Rantai makanan tidak hanya terjadi dalam biologi, tapi juga psikologi. Jika satu orang “dimakan” yang lain, maka korban yang “dimakan” akan cenderung “memakan” yang lain. Dan karena latar belakang itu pulalah, Deni sampai menulis caci-maki terhadap orangtuanya sendiri.

Sekarang, setiap kali mendapati remaja di Twitter mencaci-maki orangtuanya, dan saya tidak tahu apa penyebabnya, saya tidak bisa lagi membenci atau menganggapnya anak durhaka. Yang terjadi, saya justru kasihan pada mereka.

 
;