Setiap orang yang telah menikah seharusnya memiliki
kewajiban moral untuk menjelaskan apa itu perkawinan,
dan bukan malah menutupinya.
—@noffret
kewajiban moral untuk menjelaskan apa itu perkawinan,
dan bukan malah menutupinya.
—@noffret
—Untuk Firman, yang memintaku menulis topik ini.
Di suatu majalah, saya membaca kisah dilematis yang ditulis di kolom konsultasi psikologi. Di kolom itu, seorang lelaki menceritakan masalah yang sedang dihadapinya, menyangkut istri dan nasib perkawinannya. Sebagaimana yang tertulis di majalah tersebut, nama si lelaki disamarkan menjadi X.
Kisahnya, X menikah dengan seorang wanita yang ia cintai. Acara perkawinan mereka diadakan dengan meriah, dan menghabiskan biaya sangat besar.
Di awal-awal perkawinan, kehidupan mereka baik-baik saja. Tetapi beberapa bulan sejak perkawinan, istri X mulai berubah, dan makin berubah. Jika semula ia bersikap lembut dan menyenangkan suaminya, sekarang kasar dan sering menjengkelkan. Hanya karena hal sepele, istri X marah-marah dan kemudian mereka bertengkar. Yang menjadi masalah, pertengkaran gara-gara masalah remeh semacam itu nyaris terjadi setiap hari. Akibatnya, perkawinan yang diharapkan menjadi surga terasa seperti neraka.
Sebenarnya, menurut X, dia telah memenuhi semua kebutuhan istrinya. Ketika menikah, dia telah memiliki rumah sendiri, hingga mereka tidak perlu repot mencari rumah seperti umumnya pasangan baru. X juga dapat menafkahi istrinya secara layak—pendeknya mereka hidup berkecukupan, tanpa kekurangan apa pun. Karena itulah, X benar-benar tidak tahu apa masalah rumahtangga mereka, hingga istrinya berubah seperti itu.
Kadang, menurut pengakuannya, dia ingin menceraikan istrinya, karena sudah tidak kuat menghadapi perilakunya yang sangat menjengkelkan. Tapi dia merasa dilema, karena perkawinan mereka baru setahun, sementara resepsi perkawinan mereka telah menghabiskan biaya sangat besar. Lebih dari itu, dia penganut agama yang salih, yang sangat menjauhi perceraian. Keluarganya juga sangat salih, dan sama-sama tidak menginginkan perceraian.
Karena dilema itulah kemudian dia melayangkan surat ke rubrik konsultasi di majalah yang saya baca, dengan harapan psikolog yang mengasuh rubrik itu bisa memberikan solusi untuknya.
Bagi saya, kisah X dalam majalah itu sangat klise. Meski belum pernah menikah, saya tahu ada banyak kasus semacam itu terjadi di mana-mana, menimpa banyak orang dengan berbagai latar belakang. Di rubrik konsultasi psikologi yang rutin saya baca, misalnya, nyaris setiap minggu ada kasus serupa. Ada suami-suami yang stres menghadapi istrinya, sama banyaknya dengan istri yang frustrasi menghadapi suaminya. Jika hubungan suami-istri tidak mengalami masalah, mereka menghadapi aneka macam masalah lain—dari masalah ekonomi, hubungan antarkeluarga, sampai masalah seks.
Yang ironis, kenyataan-kenyataan pahit semacam itu anehnya sangat jarang diungkap. Setiap kali membicarakan perkawinan, sering kali orang hanya membicarakan permukaannya, yang manis-manisnya, yang indah-indahnya, dan terkesan menutupi atau tidak mau membicarakan kedalaman atau pahit-pahitnya. Padahal perkawinan bukan cuma urusan seks, tidak sebatas berkasih-kasihan, tidak sekadar peluk dan cium. Perkawinan jauh lebih kompleks dari semua itu.
Pertanyaannya, mengapa orang-orang yang suka berkhotbah tentang perkawinan tidak pernah mengatakan bahwa perkawinan juga menyimpan masalah dan kedukaan? Mengapa orang-orang yang suka menyuruh orang lain agar cepat-cepat kawin hanya mengiming-imingi kesenangannya saja? Itu tidak adil, sekaligus berbahaya.
Karena para remaja dan anak-anak muda hanya diiming-imingi manisnya perkawinan, mereka pun cenderung asal kawin atau asal nikah, tanpa menyiapkan mental dan tanggung jawab yang cukup jika sewaktu-waktu masalah muncul. Tentu saja tidak masalah jika mereka menikah dengan penuh kesadaran, dan telah menyiapkan mental untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi dalam perkawinan. Tapi bagaimana jika tidak?
Yang lebih “mengerikan” lagi, ada banyak orang menyuruh-nyuruh orang lain agar cepat menikah karena katanya mereka tidak akan mengalami kekurangan apa pun jika mau menikah, karena Tuhan pasti akan mencukupi rezeki mereka, pendeknya mereka akan kaya juga bahagia bila menikah. Untuk menguatkan nasihatnya, orang-orang itu biasanya menyitir ayat-ayat suci dan hadist, untuk membenarkan argumentasinya.
(Untuk topik satu ini, kelak akan kita bahas tersendiri di catatan lain, karena sangat berkaitan dengan agama. Karenanya, nanti kita akan bongkar dan pelajari ayat-ayat yang disalahgunakan itu, untuk menunjukkan betapa keliru dan bahayanya nasihat mereka).
Firman, sohib saya, adalah lelaki berusia 30 tahun, memiliki pekerjaan dengan penghasilan lumayan, telah tinggal di rumah sendiri, lengkap dengan kendaraan dan berbagai fasilitas hidup yang serba berkecukupan. Sampai sekarang, dia masih lajang, dan tidak menjalin hubungan dengan perempuan mana pun. Seperti umumnya orang lain, Firman sering diledek lingkungannya—termasuk teman-temannya—yang biasa nyinyir, “Kapan kawin?”
Firman termasuk orang yang suka “to the point”. Ketika menghadapi orang-orang nyinyir yang bertanya “kapan kawin?”, Firman menjawab tanpa basa-basi, “Tunjukkan satu saja orang yang menikah dan hidupnya bahagia, maka aku akan menikah!”
Ajaibnya, sampai hari ini belum ada satu orang pun yang mampu menjawab tantangan Firman. Apakah itu aneh? Bagi saya, itu tidak aneh—tapi menyedihkan sekaligus mengerikan.
Di lain waktu, ketika ditanya “kapan kawin?”, Firman bahkan menjawab dengan kalimat yang lebih kejam, “Perkawinanmu menyedihkan, dan sekarang kau bertanya kapan aku kawin? Yang benar saja!”
Saya pernah membahas hal itu dengan Firman, dan dia menjelaskan, “Yang membuat aku sampai menyatakan jawaban kejam semacam itu, karena kenyinyiran mereka sudah sangat mengganggu. Orang-orang itu menjalani kehidupan perkawinan yang penuh masalah dan menyedihkan, tapi kemana-mana bertingkah sok dengan bertanya-tanya kapan kawin, seolah mereka pasangan paling bahagia di dunia. Kenapa mereka tidak tutup mulut saja dan membenahi hidupnya?”
Firman masih punya seorang ibu—ayahnya sudah meninggal. Sebagaimana umumnya orangtua lain, ibu Firman juga kadang menanyakan kapan anaknya akan menikah. Suatu hari, karena kesal menghadapi pertanyaan ibunya, Firman menyampaikan jawaban serupa, “Tolong tunjukkan satu saja orang yang menikah dan hidupnya bahagia, maka aku akan menikah.”
Hebatnya, atau ironisnya, ibu Firman juga tidak bisa menjawab—tidak bisa menunjukkan satu orang pun yang dikenalnya, yang hidup bahagia setelah menikah.
Firman menjalani kehidupan yang tak jauh beda dengan saya—masa kecil yang suram, masa kanak-kanak yang berat, hidup dalam kemiskinan, berjuang mandiri bertahun-tahun, hingga kemudian berhasil membangun kehidupan lebih baik dan lebih layak. Karenanya, dia sudah “kebal” dengan segala iming-iming perkawinan yang katanya melancarkan rezeki dan segala macam, karena baginya semua itu cuma rayuan kosong.
Suatu malam, kami pernah berbincang sampai larut malam mengenai perkawinan, dan Firman menyatakan, “Sistem sosial kita dibangun di atas landasan paradigma yang kacau. Masyarakat kita menganggap bahwa orang baru disebut normal jika telah menikah, punya pasangan, dan anak-anak. Akibatnya, mereka terus nyinyir pada orang-orang agar cepat kawin. Ketika orang telah kawin, mereka kembali nyinyir kapan punya anak. Setelah orang punya satu anak, mereka kembali nyinyir kapan nambah anak. Pernahkah masyarakat bertanya-tanya kenapa ada orang yang memilih melajang? Pernahkah mereka bertanya-tanya bahwa ada orang yang ketakutan punya anak?”
Firman menyulut rokoknya, dan melanjutkan, “Sejujurnya, aku tidak ingin punya anak. Bukan karena tidak suka anak-anak, tetapi justru karena aku sangat mencintai anak-anak. Jika aku menikah, maka aku akan dituntut untuk punya anak. Itulah yang paling kutakutkan. Aku takut jika anak-anakku kelak menjalani kehidupan sangat pahit seperti ketika aku kecil dulu. Aku takut anak-anakku kelak mengutuk kehidupannya seperti dulu aku mengutuk kehidupanku. Aku pernah menjalani masa kecil yang amat pahit, aku pernah mengalami kehidupan yang sangat sengsara... karenanya aku selalu ketakutan membayangkan anak-anakku juga mengalami hidup semacam itu. Trauma akibat kemiskinan begitu merusak mentalku hingga luka-luka yang ditimbulkannya masih membekas dalam hidupku, meski kini aku telah hidup berkecukupan. Oh, hell, pernahkah masyarakat kita merenungkan hal itu?”
Karena sama-sama tumbuh dalam kemiskinan, saya memahami maksud Firman sepenuhnya. Semua yang diucapkan Firman malam itu seperti refleksi cermin jiwa saya—ketakutan akibat luka yang diguratkan masa kecil yang pahit, sebentuk trauma yang tidak dipahami orang-orang yang tidak pernah mengalami kemelaratan.
Sama seperti Firman, saya juga takut punya anak—bukan karena tidak mencintai anak-anak, tetapi justru karena sangat mencintai anak-anak. Meski hidup saya sekarang mungkin tidak bisa dibilang miskin, tetapi trauma akibat kemiskinan menjadikan saya sering khawatir membayangkan jika anak-anak saya kelak menjalani kehidupan pahit seperti yang dulu pernah saya alami.
Sialnya, masyarakat kita tidak pernah berpikir sejauh itu. Bukannya mencoba memahami atau memaklumi orang-orang yang sengaja menjauh dari perkawinan, mereka justru memprovokasi agar orang-orang cepat kawin, seolah perkawinan akan menyelesaikan segala masalah. Faktanya, perkawinan sering kali justru menjadi sumber masalah.
Jika seseorang baru menikah beberapa bulan atau setahun menyatakan bahwa menikah itu indah, terus terang saya tidak akan terpengaruh. Semua pengantin baru juga begitu—karena masih dalam suasana bulan madu. Tunggu sampai beberapa tahun—setidaknya tiga atau lima tahun—agar penilaian benar-benar objektif, untuk melihat secara jujur apakah perkawinan memang benar-benar indah, atau sebaliknya. Dari situlah kemudian kita akan tahu apakah seseorang bahagia dalam perkawinannya atau tidak. Sangat mudah mengetahui hal itu.
Jika orang bahagia dalam perkawinannya, mereka akan tenteram, karena merasa damai dengan diri sendiri bersama pasangannya. Orang-orang semacam itu tidak punya keinginan untuk mengusik orang lain. Bisa dibilang, mereka sudah asyik dengan kehidupannya sendiri. Perkara orang lain mau menikah atau tidak, mereka tidak terlalu peduli.
Sebaliknya, orang yang tidak bahagia dalam perkawinannya juga sangat mudah dilihat. Orang semacam itu biasanya berusaha tampak lebih baik dibanding orang lain, khususnya yang belum menikah. Karena tidak bahagia, mereka pun tidak merasa damai dengan diri sendiri. Akibatnya, mereka berkecenderungan mengusik orang lain, dan cara umum yang biasa mereka tunjukkan adalah sok bertanya, “Kapan kawin?”
Kalian paham rahasia yang tersembunyi di balik pertanyaan terkutuk itu? Mereka yang suka nyinyir bertanya “kapan kawin?” sebenarnya orang-orang yang tidak bahagia dalam kehidupannya. Melalui pertanyaan “kapan kawin?”, mereka merasa dirinya lebih baik dan lebih tinggi dibanding orang lain, khususnya yang belum menikah. Perasaan semacam itu dibutuhkan, karena mereka tidak bahagia dalam perkawinannya. Fakta bahwa di sekeliling kita ada banyak orang sok hebat yang bertanya “kapan kawin?”, dengan jelas menunjukkan betapa banyaknya orang yang tidak bahagia dalam perkawinan mereka.
Pernah, saya mendapati Firman dinasihati seseorang yang “bijak”, yang menyatakan bahwa orang tidak perlu khawatir menikah, karena rezeki pasti lancar, karena perkawinan akan mendatangkan kebahagiaan, pendeknya orang bisa kaya dan bahagia jika menikah.
Menjawab nasihat itu, Firman menyatakan, “Jika memang seperti itu kenyataannya, kenapa orangtuaku miskin dan sangat melarat, hingga aku harus menjalani hidup yang sangat susah? Mereka menikah dan menjalani hidup dengan baik—orangtuaku bahkan sangat salih—tapi kenapa mereka miskin dan sangat kekurangan, hingga aku menjalani masa kecil yang sangat pahit, sengsara, dan menyakitkan?”
Mendapat “serangan frontal” semacam itu, si “orang bijak” mencoba berdalih seperti umumnya orang lain, “Yang dimaksud ‘rezeki’ dalam perkawinan tidak harus berupa uang dan kekayaan...”
Firman, yang dasarnya mudah naik darah, langsung menyahut, “Tolong jangan mengalihkan topik! Tadi dengan jelas kau menyatakan bahwa menikah bisa membuat orang bahagia, kaya, dan berkecukupan. Jawab saja pertanyaanku, sebagaimana dasar dalilmu, mengapa orangtuaku sangat miskin dan berkekurangan, hingga aku menjalani masa kecil sangat suram? Jika yang menimpa orangtuaku dinilai kasuistis, lalu bagaimana dengan jutaan orang lain yang juga menikah tapi hidupnya sangat melarat dan kekurangan? Jika memang menikah bisa menjadikan orang berkecukupan, bahkan kaya dan bahagia, mengapa ada jutaan anak telantar di jalan-jalan, mengapa ada jutaan orang kelaparan, mengapa ada jutaan pasangan yang sangat miskin dan terbelit utang?”
Si “orang bijak” bungkam, tak bisa menjawab—tak pernah bisa menjawab.
....
....
Saya menulis catatan ini tidak bermaksud untuk “menakut-nakuti” kalian atau meminta kalian agar tidak menikah. Tidak—bukan itu yang saya maksudkan. Tujuan saya menulis catatan ini adalah untuk mengimbangi banyaknya orang yang nyaris tak pernah berhenti menyuruh-nyuruh kalian agar cepat menikah, dengan segala iming-iming yang terdengar seperti angin surga.
Sebenarnya, tidak masalah jika orang menasihati atau mengimbau agar orang-orang cepat menikah. Itu nasihat yang baik. Tapi sampaikan nasihat atau imbauan itu secara adil. Maksudnya, jangan hanya mengatakan yang indah-indahnya saja, tapi jelaskan pula risiko, tanggung jawab, dan konsekuensinya. Jangan hanya mengatakan bahwa menikah akan membuatmu kaya, bahagia, dan bla-bla-bla. Jelaskan pula bahwa menikah memiliki berbagai tantangan, beragam masalah, dan setumpuk konsekuensi serta tanggung jawab yang harus disiapkan secara matang.
Menyuruh orang-orang lain agar melakukan sesuatu tanpa menjelaskan risiko yang bisa timbul, sama halnya dengan penipuan massal. Kau menyuruh orang masuk ke lubang gelap, tanpa menjelaskan bahwa di lubang itu bisa jadi ada ular berbisa yang siap menggigitmu. Itu sangat riskan dan berbahaya—sesat sekaligus menyesatkan. Yang akan menjadi korban adalah orang-orang yang tidak tahu. Karena tergiur iming-iming, mereka melakukan nasihat itu tanpa menyadari risiko yang bisa timbul.
Sekali lagi, saya tidak bermaksud menentang perkawinan atau melarang orang menikah. Perkawinan adalah hak setiap orang, menikah adalah soal pilihan. Kalau kalian memang telah memiliki pasangan, dan telah menyiapkan modal kesiapan—lahir dan batin—serta siap menanggung risiko dan memikul tanggung jawab bersama, dan kalian telah memutuskan untuk menikah, menghadapi semuanya dengan penuh tekad bersama, maka menikahlah. Itu pilihan kalian, dan kalian tentu berhak melakukannya.
Tetapi, jangan menikah hanya karena tergiur iming-iming orang bermulut nyinyir. Jangan menikah hanya karena tergiur janji-janji yang terdengar indah. Jangan menikah karena desakan atau rayuan orang lain. Bagaimana pun, kalianlah yang akan menjalani—bukan orang-orang itu. Jika perkawinan kalian memburuk dan penuh kesedihan, kalianlah yang akan merasakan, bukan orang-orang itu. Karenanya, menikahlah dengan sepenuh kesadaran, yakni kesadaran diri sendiri—kesadaran yang dilandasi kedewasaan dan tanggung jawab.
Karena perkawinan bukan cuma urusan selangkangan. Karena perkawinan bukan sekadar peluk cium di kala malam. Karena perkawinan menyimpan rahasia gelap yang tak pernah dikatakan.