Baca berita seputar politik tuh mula-mula asyik,
lama-lama terasa lucu, kemudian ironis,
akhirnya bosan karena muak.
—@noffret
lama-lama terasa lucu, kemudian ironis,
akhirnya bosan karena muak.
—@noffret
Sering saya ditanya teman—di dunia nyata maupun di dunia maya—kenapa tidak pernah menulis tentang politik. Selama bertahun-tahun ngeblog, memang bisa dibilang saya nyaris tidak pernah menulis soal politik. Bahkan ketika isu politik sedang ramai-ramainya—seperti pas pemilu kemarin—saya lebih suka menulis hal-hal lain yang tidak bersangkut paut dengan politik.
Sebenarnya, saya malas ngomongin politik bukan karena tidak adanya minat, melainkan lebih karena frustasi. Saya frustasi menyaksikan pemerintah dan pejabat-pejabat negeri ini yang... well, kalian tahu yang saya maksudkan. Perasaan saya mungkin bisa diibaratkan seperti orangtua yang “sudah tidak mau ngurusin anaknya lagi” karena si anak sangat nakal, seenaknya, dan tidak bisa diomongi. Jadi, daripada cuma makan hati, saya lebih suka tidak ngomongin sama sekali.
Di rumah saya ada dokumentasi yang cukup lengkap menyangkut perjalanan bangsa ini, sejak pra-reformasi, turunnya Soeharto, naiknya Habibie, kepemimpinan Gus Dur, lalu Megawati, sampai masa SBY. Melalui dokumentasi itu, saya bisa menelusuri perjalanan dan karir politik siapa pun—yang naik dan yang turun, yang bersinar dan yang tenggelam, yang dikenang dan yang dilupakan. Melalui dokumentasi itu pula, saya bisa melihat bahwa politik adalah salah satu hal yang paling brutal menghancurkan idealisme dan nilai-nilai baik seseorang.
Bertahun-tahun lalu, ada mahasiswa yang sangat hebat. Pada masa reformasi, dia adalah bintang yang bersinar. Profil, kiprah, dan wawancaranya dimuat banyak koran, tabloid, majalah, juga televisi. Sebagaimana banyak orang lain, saya ikut mengaguminya. Dia anak muda cerdas dan cemerlang, mahasiswa idealis, salah satu sosok yang menonjol dalam demonstrasi menurunkan Soeharto dan rezimnya.
Lalu Soeharto lengser, dan Indonesia memasuki zaman reformasi. Anak muda yang cemerlang itu pun aktif dalam politik, memperoleh jabatan, hingga menjadi bagian pemerintah. Ketika dia telah masuk dalam sistem politik, idealismenya hilang, kecemerlangannya runtuh, dan kabar terakhir yang saya baca menyebutkan dia didakwa korupsi, serta dijatuhi hukuman penjara beberapa tahun plus denda ratusan juta.
Yang mengalami ironi semacam itu tidak hanya satu dua—tapi lebih dari satu dua. Mereka berawal sebagai mahasiswa idealis, aktif di bidang sosial, lalu membangun karir di politik, masuk dalam sistem pemerintah, dan ending-nya... didakwa korupsi.
Selama menyaksikan ironi semacam itu, saya pun seperti melihat lingkaran setan. Orang-orang baik yang semula ada di luar politik kemudian berubah menjadi pejabat-pejabat korup ketika mulai masuk ke dalam politik. Orang-orang yang semula memperjuangkan nasib rakyat kemudian berubah menjadi monster-monster yang mengurusi perut dan kepentingannya sendiri ketika telah menjadi politisi.
Memang ada orang-orang baik yang masih menjadi orang baik ketika mereka masuk politik. Tapi jumlahnya sangat sedikit. Sebegitu sedikit, hingga kita—khususnya saya—merasa pesimis bahkan apatis. Karenanya, dalam rasa frustasi, saya pun sempat berpikir bahwa politik adalah iblis paling keji yang menghancurkan mentalitas manusia, hingga mereka kehilangan nilai-nilai terpuji. Politik itu sakit, pikir saya, dan siapa pun yang masuk politik harus bersiap tertular penyakitnya.
Kisah klise dalam politik berjudul “ingin mengubah sistem”. Ada orang-orang baik yang masuk politik dengan alasan ingin mengubah sistem. Masyarakat pun mendukungnya, berharap dia benar-benar dapat mengubah sistem yang telah bobrok. Tetapi, kemudian, ketika orang-orang baik itu telah masuk dalam sistem politik, yang terjadi bukannya mengubah sistem yang telah ada, tapi justru merekalah yang berubah. Jika semula bermaksud memperbaiki sistem yang korup, tapi yang terjadi justru mereka yang berubah korup.
Sekarang, setiap kali membaca berita mengenai pejabat yang didakwa korupsi, cobalah telusuri kisah dan perjalanan hidupnya, dan kemungkinan besar kalian akan terkejut. Orang-orang yang sekarang disebut koruptor itu dulunya kebanyakan mahasiswa-mahasiswa idealis, yang sangat lantang menentang korupsi. Mereka kemudian aktif dalam politik dengan misi mengubah sistem yang mereka anggap rusak. Tetapi sistem yang mereka hadapi terlalu kuat. Alih-alih dapat mengubah sistem, justru sistem itulah yang mengubah mereka.
Ehmm....
Kampus tempat saya kuliah dulu termasuk kampus yang maju dalam bidang kemahasiswaan. Perguruan tinggi kami menganut sistem student government—pemerintahan dari mahasiswa, oleh mahasiswa, untuk mahasiswa. Karenanya, bisa dibilang, seluruh urusan kemahasiswaan sama sekali tidak direcoki oleh rektorat. Melalui sistem student government, mahasiswa belajar politik secara langsung, melalui praktik, karena ada unit-unit kemasyarakatan (UKM), badan eksekutif beserta menteri-menterinya (BEM), dan lembaga legislatif yang merancang undang-undang pemerintahan (DLM).
“Karir politik” saya di kampus dimulai dari UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa). Kemudian, saat naik semester, saya dimasukkan ke DLM (Dewan Legislatif Mahasiswa), dan bekerja dengan anggota DLM lain merancang undang-undang. Masing-masing UKM bertanggung jawab kepada BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa), sementara BEM bertanggung jawab kepada DLM. Lalu DLM bertanggung jawab kepada siapa?
DLM tidak bertanggung jawab kepada siapa pun. Kenapa? Jawabannya sepele—karena DLM tidak mengurusi uang!
Pihak yang paling banyak mengurusi uang kemahasiswaan di kampus adalah BEM. Ketika DLM periode saya telah selesai menunaikan tugas, saya dimasukkan ke BEM, menjadi salah satu menteri. Pada saat itulah kemudian saya tahu banyaknya uang yang ada di tangan BEM. Pada zaman saya saja, uang yang ada di bawah kendali BEM lebih dari 100 juta. Itu jumlah yang luar biasa bagi bocah-bocah bernama mahasiswa.
Dan jika sekumpulan bocah diberi kekuasaan untuk mengendalikan uang dalam jumlah sangat besar, kira-kira apa yang terjadi? Benar, tepat seperti yang ada di kepala kalian.
Jadi, banyak bocah di negeri ini yang telah belajar tentang “politik” sejak di kampusnya. Sayangnya, juga banyak bocah di negeri ini yang telah belajar menjadi “politisi” sejak di kampusnya. Dan ketika menjadi salah satu “politisi” di kampus itulah, saya menyadari bahwa sistem politik yang dilembagakan terlalu kuat untuk diubah. Karenanya, meski tujuan awal beberapa orang yang masuk politik adalah untuk mengubah sistem, tapi yang terjadi justru sistem itulah yang mengubah mereka.
Tidak jauh beda dengan negeri ini, sistem pemilihan presiden di kampus saya menggunakan pemilu—setiap mahasiswa di kampus memilih satu dari beberapa calon presiden, dan calon yang paling banyak mendapatkan suara akan menduduki kursi kepresidenan. Kemudian, presiden yang terpilih akan merekrut sejumlah mahasiswa untuk duduk di kabinetnya. Dan tidak jauh beda dengan negeri ini, kampanye calon presiden di kampus saya juga melibatkan uang tidak sedikit, dan terkadang juga menggunakan intrik politik.
Pada akhir masa kuliah, saya sempat kepikiran untuk bersaing dengan beberapa mahasiswa lain memperebutkan kursi Presiden BEM. Dalam bayangan yang lugu, saya akan mampu mengubah sistem jika menduduki posisi puncak, sebagai presiden. Tetapi, kemudian saya menyadari, jika saya mengubah sistem yang telah ada hingga benar-benar bersih, lalu siapa yang mau menjadi menteri? Siapa yang mau membantu saya dalam pemerintahan? Siapa yang mau bekerja keras menjalankan undang-undang yang telah ditetapkan DLM?
Untungnya, rencana konyol menjadi presiden itu tak tercapai—saya keburu drop out dari kampus, karena mata kuliah saya sudah habis.
Kini, ketika menyaksikan berbagai drama politik negeri ini, saya terbayang pada aktivitas politik di kampus dulu. Saya bisa membayangkan apa yang terjadi di pemerintahan, seperti apa pola pikir para pejabat dan politisi, juga bagaimana mereka menjalankan amanat jabatannya. Memang benar masih ada orang-orang bersih di pemerintahan, masih ada pejabat-pejabat yang jujur, masih ada politisi-politisi yang memelihara sifat terpuji. Tetapi mereka semua menghadapi sistem yang sama. Dan selama sistem yang ada terlalu kuat, bisa dibilang mereka tidak akan terlalu berdaya.
Dalam pola pikir yang sederhana, orang yang telah memiliki gaji besar seharusnya tidak korupsi. Tapi banyak dari mereka yang korupsi. Kenapa? Pertama karena mental yang korup, dan kedua karena pengaruh sistem yang korup. Orang jujur yang masuk ke dalam sistem yang korup hanya punya dua kemungkinan—ikut korup, atau menjadi pahlawan tapi dipersona-non-gratakan. Sayangnya, jumlah pahlawan selalu sedikit. Sebegitu sedikit, hingga mereka kesulitan mengubah sistem.
Karena pemikiran semacam itulah, saya malas ngomongin politik, sama malasnya mikir politik. Cuma sia-sia, pikir saya saat frustasi.
Bagaimana pun, selama sistemnya masih bobrok, hasilnya akan sama bobrok. Untuk bisa mengubah sistem yang bobrok, dibutuhkan banyak orang baik yang ada dalam sistem, yang sama sekali tidak terpengaruh oleh sistem, kemudian berhasil menduduki pos-pos penting dalam sistem, sehingga mereka akhirnya bisa mengubah sistem. Yang jadi masalah, orang baik sering kali sulit untuk bisa masuk sistem, apalagi sampai menguasai sistem.
Terdengar memusingkan? Memang! Itulah kenapa saya lebih suka tidak ngomongin politik, daripada pusing dan jengkel sendiri. Politik itu sakit, dan sakitnya sangat menular. Kita yang jauh dari politik mungkin tidak atau belum tertular penyakitnya, sehingga masih bisa memandang dan menilai secara objektif. Tetapi begitu telah berdekatan, apalagi sampai masuk ke dalamnya, selalu ada kemungkinan kita akan tertular penyakitnya, hingga sama-sama sakit seperti yang lain.
Hari ini, sebagaimana di tahun-tahun lalu, ada banyak orang baik yang menyuarakan hal-hal baik demi politik dan pemerintahan yang lebih baik. Marilah kita dukung mereka, sambil berharap, dan berdoa, semoga orang-orang baik itu bisa masuk ke dalam sistem pemerintahan dan tetap menjadi orang-orang baik, agar bisa menjalankan praktik politik secara baik, memimpin dengan baik, menjalankan amanat rakyat dengan baik, demi membawa negeri ini menjadi bangsa yang lebih baik.
Dan ketika itu terjadi, semoga saya masih hidup, agar bisa menulis catatan berjudul “Politik itu Baik”.