***
Kenyataannya, Siemens C35 adalah ponsel berlayar monokrom 1,5 inci, dengan keypad karet lentur, hanya bisa digunakan untuk menelepon dan berkirim SMS, serta audio/suaranya belum polifonik. Oh, well, bahkan istilah polifonik pun sekarang sudah terdengar kuno, karena rata-rata ponsel zaman sekarang sudah stereo. Tetapi itulah ponsel yang “terbaru, tercanggih, dengan fitur paling lengkap, bahkan mahal.”
Jika Siemens C35 telah dianggap ponsel paling hebat di zaman itu, kalian tentu bisa membayangkan ponsel macam apa di zaman itu yang “keluaran lama, tidak canggih, yang fiturnya tidak lengkap, dan murah.” Tidak perlu saya jelaskan, karena penjelasannya sangat tidak menarik.
Singkat cerita, saya setuju membeli ponsel Siemens C35 yang ditawarkan Om Wijaya. Tapi ternyata urusannya belum selesai. Untuk bisa mengoperasikan ponsel itu, dibutuhkan nomor ponsel (SIM/kartu perdana), sebagaimana nomor telepon rumah. Waktu itu, hanya ada dua pilihan kartu perdana—keluaran Excelcomindo yang disebut ProXL, dan keluaran Indosat yang disebut Mentari.
Coba tebak berapa harga kartu perdana waktu itu—tahun 1999.
Kalian yang sekarang biasa membeli kartu perdana seharga 5 ribu perak, mungkin terkejut kalau mendengar kartu perdana di masa itu harganya mencapai sejuta. FYI, kartu perdana Mentari waktu itu dijual seharga Rp. 1.100.000 (di atas satu juta), sementara kartu perdana ProXL dijual seharga Rp. 800.000. Tambahan informasi, pulsa isi ulang waktu itu rata-rata juga masih “mahal”, antara Rp. 200-250 ribu, dengan masa aktif relatif singkat.
Nah, setelah saya setuju membeli ponsel serta nomor perdana yang akan saya gunakan, Om Wijaya memanggil putrinya, dan memintanya untuk mengambilkan minuman. Putri Om Wijaya datang menyuguhkan dua botol Coca Cola dingin, dan saya meminumnya sambil mendengarkan Om Wijaya menerangkan secara detail mengenai cara mengoperasikan ponsel yang “canggih dan hebat” itu.
Sekitar setengah jam saya duduk di sana, menanyakan yang ingin saya tanyakan, dan Om Wijaya dengan sabar menjelaskannya. Setelah saya merasa puas dan bermaksud pulang untuk membawa ponsel baru itu, Om Wijaya memberikan nomor ponsel pribadinya, sembari mengatakan, “Kalau sewaktu-waktu butuh tanya-tanya lagi seputar ponsel yang baru dibeli, silakan hubungi nomor saya.”
Kami bersalaman, lalu saya pamit.
Kini, saat menulis catatan ini, saya masih bisa membayangkan semua kejadian bertahun-tahun itu, sejelas saya membayangkan peristiwa yang baru terjadi kemarin. Sejujurnya, dalam ingatan saya, peristiwa itu seperti belum lama terjadi. Tetapi, jika merujuk pada kalender, kenyataannya telah terjadi lima belas tahun yang lalu. Begitu cepat waktu berjalan, dan begitu lambat kita menyadari.
Ponsel Siemens C35 yang saya beli waktu itu cukup lama di tangan saya, sampai kemudian muncul ponsel-ponsel yang jauh lebih canggih, dan saya menggantikannya dengan ponsel lain, berganti-ganti, sampai hari ini.
Ponsel zaman sekarang rata-rata disebut “smartphone” atau ponsel pintar—dengan layar sentuh yang sangat jernih berkualitas HD, dengan layar berukuran lebar, dilengkapi beragam fitur yang nyaris bisa melakukan apa pun. Tidak hanya untuk menelepon dan berkirim SMS, ponsel zaman sekarang bisa digunakan untuk mendengarkan musik dengan suara stereo, menonton film, mengakses internet, chatting, memotret dan membuat foto, merekam video, melihat peta dan lokasi, mentransfer data antarponsel—sebut lainnya.
Bandingkan itu dengan Siemens C35 yang dulu pernah saya miliki. Meski disebut ponsel “terbaru, tercanggih, dengan fitur paling lengkap”, tapi kenyataannya ponsel itu hanya bisa digunakan untuk menelepon dan berkirim SMS. Jangankan untuk menonton film atau lainnya, bahkan pengiriman SMS pun dibatasi 160 karakter, karena waktu itu belum dikenal penggunaan memori. Kalau ingin menulis SMS panjang lebar, kita harus mengirim SMS berkali-kali. Omong-omong, tarif telepon dan SMS waktu itu relatif mahal, dan tidak ada program diskon atau promosi gratisan!
Sekarang, “benturkan” pengalaman saya di masa lampau berkaitan dengan ponsel tersebut, dengan urusan ponsel di masa sekarang. Dulu, membeli ponsel nyaris bisa dikatakan seperti melamar anak orang. Duduk di ruang privasi, bercakap-cakap secara pribadi, bahkan sampai disuguhi minuman. Sekarang, membeli ponsel tak jauh beda dengan membeli sandal jepit. Cukup datang, lihat-lihat, coba sebentar, lalu bayar.
Peradaban berubah, kebudayaan berubah, tetapi yang paling cepat berubah adalah teknologi, yang merupakan bagian penting ilmu pengetahuan. Dan, percaya atau tidak, ilmu pengetahuan secara global mengalami peningkatan 200 persen per tahun. Bisa kita bayangkan implikasinya?
Di masa sekarang, yang disebut “hebat”, “canggih”, atau semacamnya, tidak lagi butuh waktu lama untuk menjadi “kuno” dan “ketinggalan zaman”. Jika di masa lalu yang hebat mungkin mampu bertahan lama dan tetap dianggap hebat, di masa sekarang yang hebat bisa menjadi kuno dalam hitungan tahun, bulan, atau bahkan hari. Apa pun atau siapa pun yang hebat hari ini bisa tampak konyol tahun depan, bulan depan, minggu depan, atau bahkan besok!
Di masa lalu, orang membutuhkan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu untuk tahu kejadian hari ini. Di masa sekarang, orang dapat mengetahui apa pun yang terjadi hari ini pada hari ini juga, bahkan dalam setiap detiknya. Apa yang terjadi detik ini dapat kita ketahui detik ini. Peristiwa yang terjadi di Antartika atau jauh di pelosok Karibia, bisa kita ketahui dari dalam kamar kita.
Ilmu pengetahuan berkembang 200 persen setiap tahun, dan kenyataan itu tidak hanya mengubah wajah dunia, tetapi juga mempengaruhi laju peradaban manusia. Bahkan meski kita telah belajar dengan sangat tekun sekali pun, langkah kita masih tertatih di hadapan laju ilmu pengetahuan yang terus berlari cepat, sangat cepat, dan semakin cepat. Saya ulangi; Bahkan meski kita telah belajar dengan sangat tekun sekali pun, langkah kita masih tertatih di hadapan ilmu pengetahuan yang terus berlari cepat, sangat cepat, dan semakin cepat.
Bayangkan jika kita malas belajar.
Dulu, lompatan ponsel kuno menuju ponsel modern membutuhkan waktu puluhan tahun. Kini, lompatan ponsel modern ke ponsel pintar hanya butuh waktu beberapa tahun. Bayangkan lompatan berikutnya. Makin cepat, makin cepat, dan makin cepat, karena pertumbuhan ilmu pengetahuan meningkat 200 persen setiap tahun. Begitu pula yang terjadi pada banyak bidang lain. Kita mungkin tidak menyadari, tetapi itulah yang terjadi, sedang terjadi, dan terus terjadi.
Sekarang bayangkan jika hari ini saya masih membanggakan ponsel kuno yang saya beli pada 1999, dan menggembar-gemborkannya sebagai ponsel yang sangat canggih dan hebat. Bisa jadi, karena tidak meng-update pengetahuan, saya tidak menyadari bahwa teknologi ponsel telah sangat maju dan modern, dan saya masih berkutat dengan kebanggaan masa lalu. Apa yang terjadi? Jelas, dunia akan tertawa.
Begitu pula dengan segala yang kita pikir kita miliki—pengetahuan kita, wawasan, pengalaman, perspektif, bahkan keyakinan kita. Segalanya berubah. Pengetahuan kita bisa jadi sudah ketinggalan zaman, wawasan kita sudah perlu di-upgrade, pengalaman kita membutuhkan banyak update, perspektif kita mungkin sudah kuno, sementara keyakinan kita perlu banyak revisi.
Segalanya berubah, dan perubahan adalah roda zaman. Jika kita tidak mengikutinya, atau bahkan tidak mau mengakuinya, maka kita akan terlindas dan ditinggalkan.
Ironisnya, ada banyak orang yang telah tertinggal oleh laju zaman tapi masih merasa dan menganggap dirinya paling hebat, paling segalanya, tanpa menyadari kalau mereka sebenarnya sudah sangat kuno dan ketinggalan zaman. Itu tak jauh beda dengan Hercules yang masih merasa paling hebat hanya dengan cawat dan gada, padahal pertempuran di zaman sekarang menggunakan satelit dan otak.
Orang-orang “kuno” semacam itu biasanya memiliki sifat khas—tinggi hati, merasa paling hebat sendiri, jumawa tapi sok rendah hati, mudah merendahkan orang lain, dan merasa tidak ada yang menandingi. Kuno!
Yang hebat di masa lalu bisa jadi kuno hari ini—jadi tidak usah sok! Sebagaimana ponsel yang hebat dan canggih sekian tahun lalu telah menjadi kuno hari ini.
Peradaban berubah, wajah dunia berubah, pengetahuan berubah, dan perubahan itu makin hari makin cepat. Kenyataan itu bukan berarti kita harus berlari pontang-panting demi bisa terus mengejar laju perubahan, karena upaya semacam itu hanya akan membawa kita pada kedangkalan. Cepatnya laju perubahan yang terjadi adalah pengingat bahwa kita perlu banyak belajar untuk terus memperbaiki diri, dan tidak perlu terlalu membanggakan apalagi mengagungkan diri. Karena yang kita anggap hebat bisa jadi telah kuno, yang kita anggap benar ternyata telah terbukti keliru.
Bocah di kampung kita mungkin sangat jumawa karena bisa menghafal satu juz Al-Qur’an, karena dia tidak tahu di luar sana ada bocah lain yang telah menghafal 30 juz. Tetangga kita mungkin tinggi hati karena punya 3 gelar akademis, karena dia tidak tahu ada orang lain di luar sana yang sebaya dengannya, yang memiliki 12 gelar akademis. Teman kita mungkin sudah merasa paling pintar karena telah membaca seratus buku, karena dia tidak tahu ada orang lain yang telah membaca ribuan buku.
Ilustrasi mudah seperti itu bisa jadi juga menimpa kita, tanpa kita sadari. Hanya karena sedikit prestasi, kita sudah sok dan angkuh serta merasa paling hebat sendiri, padahal dunia tidak sebatas yang kita ketahui.
Di hadapan perubahan yang melaju sedemikian cepat, segala yang kita tahu dan kita banggakan sering kali hanya setitik debu dalam angin yang berkelebat. Dalam kesadaran semacam itu, ada nasihat lama yang masih relevan untuk diingat, “Tuntutlah ilmu, dari buaian hingga ke liang lahat.”
Jika Siemens C35 telah dianggap ponsel paling hebat di zaman itu, kalian tentu bisa membayangkan ponsel macam apa di zaman itu yang “keluaran lama, tidak canggih, yang fiturnya tidak lengkap, dan murah.” Tidak perlu saya jelaskan, karena penjelasannya sangat tidak menarik.
Singkat cerita, saya setuju membeli ponsel Siemens C35 yang ditawarkan Om Wijaya. Tapi ternyata urusannya belum selesai. Untuk bisa mengoperasikan ponsel itu, dibutuhkan nomor ponsel (SIM/kartu perdana), sebagaimana nomor telepon rumah. Waktu itu, hanya ada dua pilihan kartu perdana—keluaran Excelcomindo yang disebut ProXL, dan keluaran Indosat yang disebut Mentari.
Coba tebak berapa harga kartu perdana waktu itu—tahun 1999.
Kalian yang sekarang biasa membeli kartu perdana seharga 5 ribu perak, mungkin terkejut kalau mendengar kartu perdana di masa itu harganya mencapai sejuta. FYI, kartu perdana Mentari waktu itu dijual seharga Rp. 1.100.000 (di atas satu juta), sementara kartu perdana ProXL dijual seharga Rp. 800.000. Tambahan informasi, pulsa isi ulang waktu itu rata-rata juga masih “mahal”, antara Rp. 200-250 ribu, dengan masa aktif relatif singkat.
Nah, setelah saya setuju membeli ponsel serta nomor perdana yang akan saya gunakan, Om Wijaya memanggil putrinya, dan memintanya untuk mengambilkan minuman. Putri Om Wijaya datang menyuguhkan dua botol Coca Cola dingin, dan saya meminumnya sambil mendengarkan Om Wijaya menerangkan secara detail mengenai cara mengoperasikan ponsel yang “canggih dan hebat” itu.
Sekitar setengah jam saya duduk di sana, menanyakan yang ingin saya tanyakan, dan Om Wijaya dengan sabar menjelaskannya. Setelah saya merasa puas dan bermaksud pulang untuk membawa ponsel baru itu, Om Wijaya memberikan nomor ponsel pribadinya, sembari mengatakan, “Kalau sewaktu-waktu butuh tanya-tanya lagi seputar ponsel yang baru dibeli, silakan hubungi nomor saya.”
Kami bersalaman, lalu saya pamit.
Kini, saat menulis catatan ini, saya masih bisa membayangkan semua kejadian bertahun-tahun itu, sejelas saya membayangkan peristiwa yang baru terjadi kemarin. Sejujurnya, dalam ingatan saya, peristiwa itu seperti belum lama terjadi. Tetapi, jika merujuk pada kalender, kenyataannya telah terjadi lima belas tahun yang lalu. Begitu cepat waktu berjalan, dan begitu lambat kita menyadari.
Ponsel Siemens C35 yang saya beli waktu itu cukup lama di tangan saya, sampai kemudian muncul ponsel-ponsel yang jauh lebih canggih, dan saya menggantikannya dengan ponsel lain, berganti-ganti, sampai hari ini.
Ponsel zaman sekarang rata-rata disebut “smartphone” atau ponsel pintar—dengan layar sentuh yang sangat jernih berkualitas HD, dengan layar berukuran lebar, dilengkapi beragam fitur yang nyaris bisa melakukan apa pun. Tidak hanya untuk menelepon dan berkirim SMS, ponsel zaman sekarang bisa digunakan untuk mendengarkan musik dengan suara stereo, menonton film, mengakses internet, chatting, memotret dan membuat foto, merekam video, melihat peta dan lokasi, mentransfer data antarponsel—sebut lainnya.
Bandingkan itu dengan Siemens C35 yang dulu pernah saya miliki. Meski disebut ponsel “terbaru, tercanggih, dengan fitur paling lengkap”, tapi kenyataannya ponsel itu hanya bisa digunakan untuk menelepon dan berkirim SMS. Jangankan untuk menonton film atau lainnya, bahkan pengiriman SMS pun dibatasi 160 karakter, karena waktu itu belum dikenal penggunaan memori. Kalau ingin menulis SMS panjang lebar, kita harus mengirim SMS berkali-kali. Omong-omong, tarif telepon dan SMS waktu itu relatif mahal, dan tidak ada program diskon atau promosi gratisan!
Sekarang, “benturkan” pengalaman saya di masa lampau berkaitan dengan ponsel tersebut, dengan urusan ponsel di masa sekarang. Dulu, membeli ponsel nyaris bisa dikatakan seperti melamar anak orang. Duduk di ruang privasi, bercakap-cakap secara pribadi, bahkan sampai disuguhi minuman. Sekarang, membeli ponsel tak jauh beda dengan membeli sandal jepit. Cukup datang, lihat-lihat, coba sebentar, lalu bayar.
Peradaban berubah, kebudayaan berubah, tetapi yang paling cepat berubah adalah teknologi, yang merupakan bagian penting ilmu pengetahuan. Dan, percaya atau tidak, ilmu pengetahuan secara global mengalami peningkatan 200 persen per tahun. Bisa kita bayangkan implikasinya?
Di masa sekarang, yang disebut “hebat”, “canggih”, atau semacamnya, tidak lagi butuh waktu lama untuk menjadi “kuno” dan “ketinggalan zaman”. Jika di masa lalu yang hebat mungkin mampu bertahan lama dan tetap dianggap hebat, di masa sekarang yang hebat bisa menjadi kuno dalam hitungan tahun, bulan, atau bahkan hari. Apa pun atau siapa pun yang hebat hari ini bisa tampak konyol tahun depan, bulan depan, minggu depan, atau bahkan besok!
Di masa lalu, orang membutuhkan waktu berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu untuk tahu kejadian hari ini. Di masa sekarang, orang dapat mengetahui apa pun yang terjadi hari ini pada hari ini juga, bahkan dalam setiap detiknya. Apa yang terjadi detik ini dapat kita ketahui detik ini. Peristiwa yang terjadi di Antartika atau jauh di pelosok Karibia, bisa kita ketahui dari dalam kamar kita.
Ilmu pengetahuan berkembang 200 persen setiap tahun, dan kenyataan itu tidak hanya mengubah wajah dunia, tetapi juga mempengaruhi laju peradaban manusia. Bahkan meski kita telah belajar dengan sangat tekun sekali pun, langkah kita masih tertatih di hadapan laju ilmu pengetahuan yang terus berlari cepat, sangat cepat, dan semakin cepat. Saya ulangi; Bahkan meski kita telah belajar dengan sangat tekun sekali pun, langkah kita masih tertatih di hadapan ilmu pengetahuan yang terus berlari cepat, sangat cepat, dan semakin cepat.
Bayangkan jika kita malas belajar.
Dulu, lompatan ponsel kuno menuju ponsel modern membutuhkan waktu puluhan tahun. Kini, lompatan ponsel modern ke ponsel pintar hanya butuh waktu beberapa tahun. Bayangkan lompatan berikutnya. Makin cepat, makin cepat, dan makin cepat, karena pertumbuhan ilmu pengetahuan meningkat 200 persen setiap tahun. Begitu pula yang terjadi pada banyak bidang lain. Kita mungkin tidak menyadari, tetapi itulah yang terjadi, sedang terjadi, dan terus terjadi.
Sekarang bayangkan jika hari ini saya masih membanggakan ponsel kuno yang saya beli pada 1999, dan menggembar-gemborkannya sebagai ponsel yang sangat canggih dan hebat. Bisa jadi, karena tidak meng-update pengetahuan, saya tidak menyadari bahwa teknologi ponsel telah sangat maju dan modern, dan saya masih berkutat dengan kebanggaan masa lalu. Apa yang terjadi? Jelas, dunia akan tertawa.
Begitu pula dengan segala yang kita pikir kita miliki—pengetahuan kita, wawasan, pengalaman, perspektif, bahkan keyakinan kita. Segalanya berubah. Pengetahuan kita bisa jadi sudah ketinggalan zaman, wawasan kita sudah perlu di-upgrade, pengalaman kita membutuhkan banyak update, perspektif kita mungkin sudah kuno, sementara keyakinan kita perlu banyak revisi.
Segalanya berubah, dan perubahan adalah roda zaman. Jika kita tidak mengikutinya, atau bahkan tidak mau mengakuinya, maka kita akan terlindas dan ditinggalkan.
Ironisnya, ada banyak orang yang telah tertinggal oleh laju zaman tapi masih merasa dan menganggap dirinya paling hebat, paling segalanya, tanpa menyadari kalau mereka sebenarnya sudah sangat kuno dan ketinggalan zaman. Itu tak jauh beda dengan Hercules yang masih merasa paling hebat hanya dengan cawat dan gada, padahal pertempuran di zaman sekarang menggunakan satelit dan otak.
Orang-orang “kuno” semacam itu biasanya memiliki sifat khas—tinggi hati, merasa paling hebat sendiri, jumawa tapi sok rendah hati, mudah merendahkan orang lain, dan merasa tidak ada yang menandingi. Kuno!
Yang hebat di masa lalu bisa jadi kuno hari ini—jadi tidak usah sok! Sebagaimana ponsel yang hebat dan canggih sekian tahun lalu telah menjadi kuno hari ini.
Peradaban berubah, wajah dunia berubah, pengetahuan berubah, dan perubahan itu makin hari makin cepat. Kenyataan itu bukan berarti kita harus berlari pontang-panting demi bisa terus mengejar laju perubahan, karena upaya semacam itu hanya akan membawa kita pada kedangkalan. Cepatnya laju perubahan yang terjadi adalah pengingat bahwa kita perlu banyak belajar untuk terus memperbaiki diri, dan tidak perlu terlalu membanggakan apalagi mengagungkan diri. Karena yang kita anggap hebat bisa jadi telah kuno, yang kita anggap benar ternyata telah terbukti keliru.
Bocah di kampung kita mungkin sangat jumawa karena bisa menghafal satu juz Al-Qur’an, karena dia tidak tahu di luar sana ada bocah lain yang telah menghafal 30 juz. Tetangga kita mungkin tinggi hati karena punya 3 gelar akademis, karena dia tidak tahu ada orang lain di luar sana yang sebaya dengannya, yang memiliki 12 gelar akademis. Teman kita mungkin sudah merasa paling pintar karena telah membaca seratus buku, karena dia tidak tahu ada orang lain yang telah membaca ribuan buku.
Ilustrasi mudah seperti itu bisa jadi juga menimpa kita, tanpa kita sadari. Hanya karena sedikit prestasi, kita sudah sok dan angkuh serta merasa paling hebat sendiri, padahal dunia tidak sebatas yang kita ketahui.
Di hadapan perubahan yang melaju sedemikian cepat, segala yang kita tahu dan kita banggakan sering kali hanya setitik debu dalam angin yang berkelebat. Dalam kesadaran semacam itu, ada nasihat lama yang masih relevan untuk diingat, “Tuntutlah ilmu, dari buaian hingga ke liang lahat.”