Mungkin, dunia akan jauh lebih baik
dan hidup lebih mudah dijalani,
kalau saja semua hal bisa kita anggap biasa.
—@noffret
dan hidup lebih mudah dijalani,
kalau saja semua hal bisa kita anggap biasa.
—@noffret
Empat puluh hari rasanya cepat sekali. Dalam bayangan, baru kemarin kami melepas Iskandar pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji, dan sekarang dia sudah pulang. Seperti umumnya orang lain yang telah sah menunaikan ibadah haji, Iskandar pun dipanggil Haji. Tapi dia menolak. Dan, karena itulah, saya menulis catatan ini.
Iskandar adalah teman kami—cowok lajang yang biasa nyangkruk bareng kami kalau pas tidak ada kesibukan. Dibanding teman-teman yang lain, Iskandar termasuk paling salih. Jadi, kami tidak terlalu terkejut ketika beberapa tahun lalu dia menyatakan keinginannya untuk menunaikan ibadah haji. Waktu itu, dia sempat menawari, siapa tahu ada di antara kami yang tertarik menemaninya ke Mekkah. Tetapi, tampaknya, kami tergolong orang-orang yang belum mendapat hidayah.
Tahun ini, kami melepas kepergian Iskandar ke Mekkah, mendoakan keselamatannya, dan menitip doa agar kami bisa sesalih dia. Lalu empat puluh hari berlalu, dan tahu-tahu kami mendapat kabar Iskandar telah pulang.
Maka kami pun berkunjung ke rumahnya, untuk ikut bersukacita atas kepulangannya dari ibadah haji. Waktu kami datang, rumahnya cukup ramai—banyak orang lain yang juga datang berkunjung, kemungkinan sanak kerabatnya. Kami pun beramah-tamah di ruang tamunya yang digelari karpet, dan menikmati hidangan air zam-zam, kismis Mekkah, plus kurma Madinah. Iskandar masih sama seperti dulu. Tapi kami semua tahu, sekarang dia telah menjadi haji. Mungkin namanya akan menjadi Haji Iskandar.
Karena kesadaran tentang hal itu, beberapa tamu di sana pun memanggilnya “Haji”—saya sempat mendengar seseorang memanggilnya “Mas Kaji” yang artinya “Mas Haji”. Di luar dugaan semua orang, Iskandar keberatan dipanggil begitu. Dia tidak mau dipanggil “Haji”, “Pak Haji”, atau semacamnya. “Aku ingin kalian memanggilku seperti biasa,” ujar Iskandar pada kami semua. “Tidak perlu ditambahi sebutan ‘Haji’ segala macam.”
Lontaran itu pun kemudian disambut beragam komentar. Beberapa orang menyatakan bahwa umumnya orang yang telah menunaikan ibadah haji akan dipanggil “Haji” sebagai penghormatan. Itu bahkan telah menjadi hal lazim—kita mengenal “Pak Haji” atau “Bu Haji”, dan orang Jawa juga telah akrab dengan panggilan “Mas Kaji” atau “Mbak Kaji” untuk menyebut lajang (atau orang muda) yang telah menunaikan ibadah haji. Tetapi Iskandar tidak mau dipanggil begitu. Jadi, kami pun heran.
“Kalau aku menjelaskan hal ini,” ujar Iskandar dengan santun, “kalian mau mendengarkan?”
Seperti yang saya sebut tadi, Iskandar adalah lelaki salih. Dia tidak hanya hebat secara intelektual, tetapi juga sangat spiritual. Dia akrab dengan Al-Qur’an, Sahih Bukhari Muslim, Tafsir Jalalain, Ihya’ Ulumuddin, Mukhtasor Hidayatul Hiyari, Al-Qaul al-Mukhtar fi Hukmil Isti’anah bil Kuffar, Fatkhul Mu’in, Ghayatul Bayan, Mukhtasor Al Muzanni, Tafsir Ibnu Katsir, Al Usul al-Ilmiyah lida’wati as-Salafiyah—sebut lainnya. Jadi, ketika dia menyatakan ingin berbicara, kami pun mendengarkannya.
“Ibadah haji adalah ajaran agama,” kata Iskandar perlahan-lahan, “tetapi sebutan ‘Pak Haji’ atau semacamnya bukan ajaran agama. Lebih tepat, mungkin, sebutan semacam itu hanyalah produk budaya. Agama memang mengajarkan kita menunaikan ibadah haji, kalau mampu. Tetapi, sejauh yang kita tahu, agama tidak mengajarkan untuk memanggil ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Haji’ pada orang yang telah beribadah haji.”
Setelah menyeruput air zam-zam di gelasnya, Iskandar melanjutkan, “Abu Bakar As-Shiddiq telah menunaikan ibadah haji berkali-kali, bahkan bersama Rasulullah, tapi tarih Islam tidak menyebutnya Haji Abu Bakar. Begitu pula Umar bin Khattab, Usman bin Affan, atau Ali bin Abi Thalib. Tarih Islam menyebut mereka dengan namanya, dan kita pun tidak pernah menyebut mereka Haji Umar, Haji Usman, atau Haji Ali. Artinya, sebutan ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Haji’ yang kita kenal selama ini hanyalah bentuk penghormatan yang lahir dari budaya kita. Karena itu, sepertinya tidak berdosa jika ada yang menolak dipanggil ‘Pak Haji’ atau semacamnya.”
“Sampeyan benar, Mas Kaji, eh, Mas Is,” sahut seorang lelaki berwajah teduh. “Sebutan ‘Pak Haji’ atau semacamnya memang lebih merupakan produk budaya. Namun itu budaya yang positif, karena itulah kita melanggengkannya. Kita menyebut ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Haji’ pada orang-orang yang telah menunaikan ibadah haji, karena kita menyadari bahwa ibadah haji adalah ibadah berat, atau bahkan paling berat, di antara rukun Islam. Berbeda dengan ibadah lainnya, ibadah haji memerlukan banyak modal—dari modal biaya, waktu, fisik, dan lainnya—sehingga kita pun merasa perlu menghormati orang-orang yang telah beribadah haji dengan sebutan ‘Haji’ pada namanya.”
Iskandar mengangguk sopan, kemudian berkata dengan sikap yang sama sopan, “Sepertinya itu tidak adil. Berat atau ringan adalah hal relatif. Aku tidak menganggap ibadah haji adalah hal berat. Aku biasa ke Singapura, Paris, Amsterdam, Tokyo, Mesir, bahkan Jerman atau Prancis. Kalau sekarang ke Mekkah, kupikir biasa saja, sama sekali tidak berat. Kalau mau membuat perbandingan, aku malah menganggap ibadah puasa paling berat. Ketika puasa, aku harus menghadapi aneka makanan dan minuman di rumah, yang setiap saat menggoda mata. Itu jauh lebih berat daripada pergi haji ke Mekkah. Dan kalau aku yang tinggal di rumah adem menganggap puasa ibadah berat, cobalah pikirkan bagaimana beratnya ibadah puasa yang dijalani para buruh di pabrik yang pengap, atau tukang-tukang becak di jalanan yang panas menyengat. Dibandingkan ibadah puasa mereka, ibadah hajiku tidak ada apa-apanya.”
“Masing-masing ibadah memiliki takaran beratnya sendiri,” lanjut Iskandar. “Orang-orang kaya mungkin menganggap puasa adalah hal berat, sementara orang-orang miskin yang biasa kelaparan mungkin menganggap puasa adalah hal biasa. Orang-orang miskin mungkin menganggap ibadah haji adalah hal berat, sementara orang-orang kaya yang biasa keluyuran ke luar negeri menganggap ibadah haji adalah hal biasa. Begitu pula shalat, zakat, dan lainnya—bisa dianggap berat bagi sebagian orang, dan dianggap biasa atau ringan bagi sebagian lainnya. Karenanya, sungguh tidak adil jika hanya haji yang dianggap ibadah berat, hingga begitu diistimewakan, sementara ibadah yang lain dianggap hal biasa. Omong-omong, itu kurmanya sambil dimakan, dong.”
Orang-orang mengunyah kurma. Saya mengambil segenggam kismis.
“Yang kukhawatirkan,” ujar Iskandar sambil menjumput kismis, “sebutan ‘Pak Haji’ atau semacamnya pada akhirnya hanya menjadi status sosial atau bahkan simbol kemakmuran—pengagungan terhadap orang-orang berharta. Sistem sosial kita menganggap hanya orang-orang kaya yang bisa menunaikan ibadah haji—karena butuh biaya besar—dan kemudian sebutan ‘Pak Haji’ atau semacamnya menjadi semacam legitimasi agama terhadap perbedaan atau bahkan pengultusan kasta. Akibatnya, bisa jadi orang-orang mengalami pergeseran motivasi dalam menunaikan haji—tidak semata bertujuan ibadah, tapi juga berharap namanya ditambahi sebutan ‘Haji’. Akhirnya, pergeseran motivasi mencetuskan pergeseran nilai. Haji tidak lagi menjadi tujuan ibadah, tapi juga menjadi pengejaran terhadap status, simbol, pengagungan diri.”
Sementara Iskandar mengunyah kismis, kami terdiam. Mungkin, beberapa orang di sana mulai mengingat-ingat beberapa kenalan atau tetangganya yang marah jika tidak dipanggil ‘Pak Haji’ atau ‘Bu Haji’ padahal mereka telah pergi haji ke Mekkah. Saya pun teringat pada orang-orang semacam itu. Ada lelaki yang kehilangan keramahannya hanya karena tidak dipanggil ‘Pak Haji’, juga ada wanita yang kehilangan senyumnya hanya karena tidak dipanggil ‘Bu Haji’. Bagi orang-orang semacam itu, sebutan ‘Haji’ tidak lagi merupakan penghormatan orang lain, melainkan simbol dan status untuk dimiliki. Sebuah pergeseran nilai, meminjam ucapan Iskandar.
“Tentu saja kita berhak memanggil atau menyebut orang lain dengan sebutan ‘Pak Haji’, ‘Bu Haji’, atau semacamnya—kalau orang yang kita panggil dengan sebutan itu memang tidak keberatan. Seperti yang disebut tadi, itu bentuk penghormatan terhadap orang lain. Itu hak masing-masing orang—yang menyebut atau pun yang disebut. Tetapi, jika ada orang yang keberatan dipanggil dengan sebutan ‘Pak Haji’ atau semacamnya, selayaknya kita juga menghormati permintaannya. Dalam hal ini, aku keberatan dipanggil dengan sebutan semacam itu, meski telah menunaikan ibadah haji. Karenanya, aku ingin dipanggil dengan cara biasa seperti kalian memanggilku selama ini, tanpa embel-embel ‘Haji’ atau semacamnya.”
Percakapan terus berlanjut, diselingi mengunyah kismis dan kurma, diiringi tawa dan canda. Sebenarnya, masih banyak petuah “Haji Iskandar” yang layak saya tulis—kebanyakan berhubungan dengan fiqih sosial—tapi sepertinya tidak terlalu berkaitan dengan konteks utama catatan ini, yaitu haji.
Satu per satu tamu di sana berpamitan untuk pulang, hingga tiba giliran saya dan teman-teman yang tadi datang bersama. Saat kami akan pulang, Mbak Fauzia—kakak perempuan Iskandar—keluar dari ruang dalam sambil membawakan “oleh-oleh haji” yang kemudian dibagikan kepada kami. Sekadar catatan, Mbak Fauzia adalah salah satu mbakyu favorit saya di dunia. Dia sangat ramah dan murah senyum. Setiap kali melihatnya, hati saya tenteram, dan dunia terasa baik-baik saja. Saya percaya, surga ada di bawah telapak kakinya.
Saat menerima bungkusan oleh-oleh haji dari Mbak Fauzia, kami bercakap-cakap sesaat. Sebenarnya saya ingin bercakap-cakap dengannya selamanya, tapi tentu tidak mungkin. Lalu saya pamitan pada Iskandar, mengucapkan terima kasih untuk oleh-oleh dan doanya, kemudian berkata, “Aku mendapat pencerahan dari penjelasanmu tadi, mengenai ibadah haji dalam konteks sosial dan budaya kita. Kamu tidak keberatan kalau aku menulisnya di blog, untuk dibaca dan direnungkan orang lain?”
Iskandar mengangguk. “Tentu saja aku senang kalau kamu mau menuliskannya.”
Maka saya pun menulis catatan ini.