Kalau hidup kita berantakan, bukan berarti kita berhak
merusak dan mengacaukan hidup orang lain.
—@noffret
merusak dan mengacaukan hidup orang lain.
—@noffret
Suatu malam, menjelang pukul 24:00, saya berkendara sendirian sepulang dari rumah teman. Jalanan cukup sepi, karena memang bukan jalan utama, juga karena sudah larut malam. Tiba-tiba, dari arah belakang, sebuah mobil Jazz melaju dengan kecepatan tinggi. Sebenarnya tidak masalah, karena waktu itu jalanan sudah sepi, hingga ia bisa ngebut seenak udelnya. Tapi rupanya mobil itu sedang menyongsong malapetaka.
Sekitar seratus meter di depan ada perempatan lampu merah. Meski sudah larut, lampu lalu lintas di perempatan masih difungsikan. Ketika mobil Jazz itu sampai di perempatan, lampu merah menyala. Tapi tampaknya si pengemudi tidak peduli. Mobil itu masih terus melaju dengan kecepatan tinggi, tanpa usaha pengereman sedikit pun—saya tidak melihat lampu rem belakangnya menyala. Mungkin, pengemudinya berpikir waktu itu sudah larut malam, dan jalanan sudah sepi, hingga ia merasa bebas menerobos lampu merah.
Akibat yang terjadi sungguh mengerikan.
Tepat ketika mobil Jazz itu menerobos zebra cross, sebuah mobil Blazer melaju dari arah kiri, yang waktu itu lampunya sedang hijau. Tepat ketika Blazer sampai di tengah perempatan, Jazz yang sedang ngebut itu pun menghantamnya dengan sangat keras. Seketika terdengar bunyi logam berbenturan, dan dua mobil itu langsung terpental berdempetan, membentur sebuah toko di dekat perempatan, hingga dinding depan toko hancur berantakan.
Adegan itu sekilas tampak seperti film action yang biasa saya tonton. Tapi itu kejadian nyata, dan saya benar-benar ngeri, karena tahu para pengemudi kedua mobil tidak sedang berakting.
Ketika saya dan orang-orang di sana mendekati lokasi kecelakaan, kami menyaksikan orang-orang di dalam mobil tampak berlumuran darah, sementara kondisi mobil tak kalah mengerikan. Bagian tengah Blazer yang dihantam Jazz tampak ringsek ke dalam, menjepit penumpang di dalamnya. Sementara bagian depan Jazz hancur, dan sopirnya tampak pingsan—atau tewas—dengan darah membasahi kepala.
Beberapa menit setelah kecelakaan, polisi mulai datang diikuti ambulans, dan upaya mengeluarkan para korban dari mobil tampak sangat merepotkan. Karena benturan yang terjadi antara dua mobil sangat keras, pintu mobil sulit dibuka akibat mekanismenya rusak. Beberapa orang berusaha membuka pintu dengan paksa, dan upaya itu butuh waktu cukup lama, hingga akhirnya korban-korban dalam mobil bisa dikeluarkan.
Saya bergidik ngeri ketika menyaksikan orang-orang itu digotong ke ambulans. Ada dua orang dari dalam Jazz, dan ada empat orang dari dalam Blazer. Semuanya bisa dibilang tidak ada yang “enak dilihat”. Tubuh mereka luka-luka, dengan darah di mana-mana, dan mungkin ada di antara mereka yang telah tewas.
Ketika saya kemudian melaju pulang, pemandangan yang baru saya saksikan tak juga hilang dari kepala. Mimpi apa orang-orang itu hingga sampai mengalami kecelakaan mengerikan seperti tadi? Mungkin tidak penting mereka mimpi apa sebelum kecelakaan. Yang lebih penting adalah melihat betapa mengerikan akibat yang bisa terjadi hanya karena kita tidak menaati peraturan.
Seperti mobil Jazz tadi. Dia menerobos lampu merah, karena mungkin berpikir waktu itu jalanan sudah sepi, hingga ia bebas melanggar aturan lalu lintas. Siapa pun yang bisa mengendarai mobil tentunya paham bahwa lampu merah artinya harus berhenti. Tapi ia tidak berhenti—apa pun alasannya. Dan pelanggaran terhadap aturan yang ia lakukan tidak saja membahayakan dirinya sendiri, tapi juga orang lain. Hanya karena tidak mau bersabar menunggu lampu merah, orang-orang lain terkena akibatnya.
Sejak menyaksikan kejadian itu, saya pun bersumpah pada diri sendiri untuk selalu berhenti di perempatan jika lampu merah menyala, tak peduli waktu itu sedang sepi sekali pun, tak peduli di sana tidak ada polisi sekali pun. Jauh lebih baik bersabar beberapa menit selama lampu merah menyala, daripada nekat melanggar aturan dan bisa berakibat bencana.
Ehmm....
Beberapa hari sebelum menulis catatan ini, saya membaca berita kecelakaan yang tak kalah tragis. Kali ini melibatkan kereta api dan odong-odong. Peristiwanya terjadi di Weleri, Kendal, yang diawali sebuah kereta api yang akan lewat.
Beberapa menit sebelum kereta api lewat, semua penjaga palang pintu lintasan rel akan diberitahu. Mereka pun kemudian bersiap menutup pintu rel yang memotong jalan raya, sehingga para pengendara dari kedua sisi jalan harus berhenti dan menunggu sampai kereta lewat. Hal itu pula yang terjadi di Weleri. Mustakfirin, penjaga palang pintu lintasan rel di sana, telah menutup pintu di kanan-kiri rel begitu kereta akan melintas. Itu prosedur rutin yang biasa dijalankannya.
Ketika palang pintu telah menutup, beberapa saat kemudian kereta api akan melintas lewat. Para pengendara di kedua sisi jalan sudah berhenti. Tapi rupanya ada orang yang tak sabar. Mungkin karena kereta tidak juga muncul, dua orang yang berboncengan motor di sana nekat menaikkan palang pintu yang menghalangi, lalu menerobos rel.
Langkah nekat itu kemudian diikuti odong-odong yang ada di belakangnya. Melihat dua orang tadi bisa menerobos dengan selamat, sopir odong-odong mungkin berpikir tak ada salahnya mengikuti mereka. Lalu dia pun membawa odong-odongnya menerobos rel, dan... kereta api tepat sampai di sana.
Akibatnya tentu sudah bisa dibayangkan. Begitu kereta api yang melaju kencang itu menabrak odong-odong, hasilnya adalah bencana. Seketika odong-odong terlempar, dan orang-orang di dalamnya menjadi korban. Ada sekitar 30 orang yang menumpang odong-odong itu, sebagian terluka parah, sementara dua orang dinyatakan tewas—seorang nenek, dan seorang balita.
Salah satu korban yang menderita parah bernama Kafrah, berusia 58 tahun. Dia termasuk penumpang odong-odong yang harus menjalani perawatan di rumah sakit. Akibat kecelakaan itu, tangan kirinya mengalami patah tulang, sementara kaki kirinya harus diamputasi. Biaya yang sudah dikeluarkan untuk perawatan mencapai 16 juta, padahal dia masih harus menginap di rumah sakit setidaknya sebulan lagi.
Polisi menetapkan Mustakfirin, penjaga lintasan rel kerata api, sebagai tersangka. Ia terancam Pasal 359 KUHP, dengan hukuman di atas 7 tahun. Banyak orang menganggap penahanan terhadap Mustakfirin sebagai ketidakadilan, karena dia telah menjalankan tugasnya dengan benar. Terlepas apakah Mustakfirin memang layak dijadikan tersangka atau tidak, sekali lagi kita menyaksikan betapa mengerikan efek yang ditimbulkan akibat melanggar peraturan.
Hanya karena tidak sabar menunggu kereta api yang akan lewat, orang-orang tak bersalah menjadi korban. Padahal, jika dikalkulasi dan dinalar dengan akal sehat, seberapa ruginya kita kehilangan waktu beberapa menit sampai kereta api lewat? Beberapa menit itu pasti tidak akan ada harganya jika dibandingkan dengan keselamatan kita.
Tetapi begitulah ironisnya kebanyakan manusia. Kita sering menghabiskan banyak waktu untuk hal-hal tak berguna, seperti menonton acara televisi yang tak bermanfaat, dan kita tidak menyadari bahwa itu pemborosan waktu sia-sia. Tetapi begitu diminta menunggu beberapa menit saja di perempatan lalu lintas atau di lintasan rel kereta api, kita tidak sabar.
Padahal, selama-lamanya waktu lampu merah di perempatan menyala, atau selama-lamanya pintu lintasan rel kereta api menutup, durasinya jauh lebih singkat dibanding waktu yang kita habiskan di depan televisi, atau dibanding pemborosan waktu lain yang biasa kita lakukan sehari-hari.
Manusia memang sering kali ironis. Untuk hal-hal tidak bermanfaat, kita rela menghabiskan banyak waktu. Untuk hal-hal sia-sia, kita bersedia memboroskan banyak waktu. Padahal waktu yang kita gunakan tidak memberikan hasil apa-apa, selain terbuang percuma. Tetapi begitu diminta meluangkan sedikit waktu demi mematuhi peraturan, kita tidak sabar. Padahal waktu yang kita berikan untuk hal itu berhubungan dengan keselamatan hidup kita dan orang lain.
Mungkin ada baiknya untuk mengingat bahwa lampu merah bukan ditujukan untuk menghambat perjalanan kita, tetapi dimaksudkan untuk menjaga nyawa kita. Mungkin ada baiknya pula untuk mengingat bahwa palang pintu rel kereta api tidak ditujukan untuk menghalangi perjalanan, melainkan untuk menjaga keselamatan. Dan langkah terbaik yang bisa kita lakukan terhadap sang penjaga bukan mengutuknya, melainkan berterima kasih kepada mereka.