Hidup berasal dari pola yang tidak masuk akal.
—Margot Fonteyn
—Margot Fonteyn
Siapa pun yang biasa bekerja dengan komputer dan printer pastilah kenal dengan catrid. Catrid bukan nama orang, dia adalah sebuah tabung kecil—biasanya terbuat dari kemasan plastik—yang berfungsi sebagai tempat tinta, dan terletak di salah satu bagian printer. Jika ditulis dengan benar, maka catrid adalah catridge.
Nah, catrid atau catridge ini adalah alat vital bagi sebuah printer, karena jika catrid tidak ada, maka printer tidak berguna. Artinya, sehebat apa pun sebuah printer, dia tidak bisa mencetak tanpa adanya catrid, karena—seperti yang tadi saya bilang—catrid berfungsi sebagai tangki tempat tinta printer berada. Jika catrid bermasalah, maka printer akan ikut bermasalah, dia tak bisa mencetak lagi.
Karena pekerjaan saya sehari-hari berhubungan dengan aktivitas cetak-mencetak, maka wajarlah kalau saya benar-benar membutuhkan mesin printer. Untuk menunjang kelancaran pekerjaan, saya bahkan menggunakan printer yang lumayan canggih, dan si printer ini dapat dipakai untuk mencetak, scanner, juga bisa dipakai sebagai alat fotokopi. Kata penjualnya dulu, printer ini termasuk 3 in 1.
Tetapi, sekali lagi, secanggih apa pun sebuah printer, tetap saja dia tak bisa lepas dari peran catrid. Sehebat apa pun sebuah printer, dia tetap tak dapat berfungsi baik tanpa catrid di dalamnya.
Nah, yang jadi masalah, catrid yang dari tadi saya sebut-sebut ini harganya mahal sekali. Saking mahalnya, sampai-sampai saya sering berpikir kalau harga catrid sungguh tak masuk akal. Coba bayangkan, sebuah tabung kecil segitu saja, harganya mencapai lima ratus ribu rupiah, atau setengah juta. Saya ulangi, setengah juta!
Okelah, barangkali setengah juta bukan jumlah besar. Tetapi jika uang sejumlah itu hanya untuk beli catrid, rasanya kok tetap saja terasa kemahalan. Saya tidak tahu printer apa yang kaugunakan, dan saya pun tidak tahu berapa harga catrid untuk printermu. Tetapi, sejumlah itulah yang menjadi harga catrid printer saya, dan saya merasa perlu untuk menuliskan catatan ini untuk melampiaskan kedongkolan saya.
Ya, ya, saya lagi dongkol—karena catrid printer saya sedang eror. Jadi, printer yang saya pakai menggunakan dua tabung catrid. Satu untuk tinta hitam, dan satu lagi untuk tinta warna. Dua tabung catrid ini letaknya saling berdampingan di dalam printer. Yang jadi masalah, jika salah satu tabung ini ada yang tidak berfungsi (baca: harus diganti), maka pinter itu akan benar-benar ngadat dan tidak bisa dipakai. Artinya, printer baru akan mau bekerja lagi apabila satu catrid yang tidak beres tadi sudah diganti.
Saya pikir ini tidak adil.
Kemarin, catrid untuk tinta warna di printer saya menunjukkan indikator sudah perlu diganti. Saya tahu hal ini, karena ketika saya akan mencetak, printer mengirimkan pesan ke layar monitor dalam bentuk kotak dialog yang menyatakan bahwa printer tak bisa beroperasi, karena catrid untuk tinta warna perlu diganti.
Lhah, padahal waktu itu saya mau mencetak naskah, dan tentunya hanya menggunakan tinta hitam, tanpa sedikit pun melibatkan tinta warna ataupun catridnya. Tapi printer tidak mau bekerja, tak peduli apakah saya perlu tinta warna atau tidak, yang penting saya harus mengganti dulu catrid tinta warna jika menginginkannya bekerja. Sekali lagi, ini benar-benar tidak adil!
Kalau saja printer itu bisa bicara, saya akan berkata kepadanya, “Hei, pal, aku kan hanya perlu mencetak tulisan yang pakai tinta hitam. Kenapa aku harus mengganti catrid untuk tinta warna?!”
Kalau printer itu bisa bicara, saya pun membayangkan dia akan menjawab, “Jadi begini, sobat, aku memang tahu kau cuma ingin mencetak naskah yang hanya memerlukan tinta hitam. Tapi, bagaimana pun, kau harus mengganti catrid yang tinta warna dulu, agar aku bisa bekerja kembali.”
Dan saya akan berteriak, “Tapi apa hubungannya, coba?! Aku tidak membutuhkan tinta warna sekarang—aku hanya perlu mencetak dengan tinta hitam! Kenapa aku harus mengganti catrid yang tinta warna? It’s okay, aku akan mengganti catrid yang tinta warna—tapi tidak sekarang! Sekarang aku perlu mencetak naskah ini secepatnya, dan tolong bekerjalah, printer sialan!”
Printer itu masih tenang, dan berkata dengan ketenangan yang sama, “Maafkan aku, sobat. Bukannya aku tidak mau memenuhi keinginanmu. Sungguh, suatu kehormatan bagiku membantumu mencetak naskah-naskahmu yang kelak akan dibaca banyak orang ketika telah menjadi buku. Percayalah, aku senang membantumu. Tetapi, ini peraturan dari pabrik yang telah menciptakanku. Bagaimana pun, dua catrid dalam diriku harus dalam keadaan sama-sama beres, jika kau ingin menggunakanku.”
“Tapi, printer…” saya memotong tak sabar.
“Listen, dengarkan aku,” sahut printer dengan suara yang tenang dan mekanis, tapi terdengar tak bisa dibantah. “Aku tahu apa yang akan kaukakatan. Kau hanya memerlukan catrid tinta hitam, dan sama sekali tidak memerlukan catrid tinta warna, untuk saat ini. Look, aku memahami apa yang kaurasakan. Tapi cobalah pahami posisiku. Aku tidak bisa bekerja, jika kedua atau salah satu catrid dalam keadaan tidak beres—tak peduli catrid mana yang tidak beres. Yang jelas, aku baru bisa bekerja kembali jika kedua catrid dalam diriku beres semua. Jadi, kalau kau menginginkanku bekerja sekarang, tolonglah ganti catrid yang tidak beres terlebih dulu—tak peduli apakah catrid itu kauperlukan atau tidak.”
Jadi saya pun terdiam—itu ucapan yang tidak bisa dibantah. Dan seperti yang tadi saya bilang, ini benar-benar tidak adil! Bagaimana bisa dibilang adil, coba? Saya harus membeli sesuatu untuk hal yang jelas-jelas tidak saya butuhkan! Saya harus membeli catrid tinta warna, hanya untuk tujuan agar printer dapat bekerja, padahal yang saya perlukan cuma mencetak naskah yang seratus persen HANYA menggunakan catrid tinta hitam!
Ketika seseorang berada dalam posisi seperti ini, rasanya kok wajar kalau dia merasa telah diperlakukan tidak adil. Kalau kau dipaksa untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak ingin kaulakukan, tentunya wajar kalau kau merasa telah diperlakukan tidak adil. Jadi, saya telah diperlakukan tidak adil oleh printer saya. Atau, lebih tepat lagi, oleh pabrik pembuat printer saya!
Oke, oke, saya menyadari bahwa ketika membeli printer itu, saya pun telah memahami cara kerjanya. Saya telah membaca buku manualnya, dan di buku manual tersebut sudah dijelaskan bahwa kedua catrid harus dalam keadaan beres jika menginginkan printer dapat bekerja—tak peduli catrid mana yang diperlukan dalam bekerja. Si penjual pun sudah meyakinkan saya, bahwa printer itu tergolong printer high end, jadi saya tidak perlu meragukan kehebatannya.
Oh ya, printer yang saya pakai itu memang tidak perlu diragukan kehebatannya. Dia dapat bekerja dengan cepat sekaligus sempurna—kualifikasi yang benar-benar memenuhi standar kerja saya. Tetapi catridnya…! Catridnya itu yang benar-benar mencekik leher! Setiap kali perlu ganti satu catrid, saya harus mengeluarkan uang setengah juta! Jika kebetulan dua catrid sekaligus yang eror dan perlu diganti, saya harus menyiapkan uang satu juta!
Satu juta hanya untuk membeli catrid? Omigod, sepertinya ini tidak masuk akal!
Dan kenyataan yang tidak masuk akal semacam itulah yang kemarin saya alami. Jadi, kemarin malam, saya perlu mencetak naskah yang baru saya selesaikan. Maka saya pun menghidupkan printer, menyiapkan kertas, dan membayangkan sesaat lagi printer hebat itu akan segera memuntahkan tumpukan kertas yang telah tercetak tulisan saya di atasnya.
Tapi ternyata saya salah duga. Beberapa detik setelah hidup, printer itu mengirimkan “tanda bahaya” ke monitor, dan mengabarkan bahwa catrid tinta warna perlu diganti—dan dia tidak bisa bekerja sekarang.
Saya harus mengakui, bahwa ini bukan pertama kalinya saya harus mengganti catrid printer. Jika dihitung-hitung, ini sudah kelima kalinya sejak saya menggunakan printer yang “hebat” itu. Dan setiap kali saya “dipaksa” untuk mengganti catrid—tak peduli yang hitam ataupun yang warna—selalu saja saya merasa ini tidak adil. Harganya itu, lho! Masak sih harga catrid saja kok sampai setengah juta…???
Saya bisa memaklumi jika ponsel atau gadget semacamnya berharga mahal, karena ponsel atau gadget melibatkan proses pembuatan yang rumit dan bahan-bahan yang juga mahal. Tapi catrid…? Jika dilihat secara kasatmata, catrid itu kan hanya dibuat dari plastik, plus sedikit magnet dan semacamnya di bagian pinggir, plus sedikit tinta di dalamnya. Di mana letak mahalnya? Apa yang menjadikannya mahal, coba?
Bahkan, menurut teman saya, plastik yang dipakai untuk membuat catrid itu bisa saja terbuat dari bekas ember rusak, atau plastik bekas botol minuman yang didaur ulang. Toh hanya untuk tabung tinta ini. Yeah, teman saya mungkin saja keliru. Tapi semahal-mahalnya plastik untuk membuat catrid, masak sih harganya sampai setengah juta? Ponsel saja ada yang harganya cuma dua ratusan ribu, kan?
Tapi, semahal apa pun, setidak masuk akal apa pun, bagaimana pun juga sekarang saya harus membeli catrid baru—karena saya perlu mencetak naskah saya! Maka, besoknya, siang-siang, saya pun berangkat ke toko komputer langganan buat beli catrid. Padahal, kalau mau menuruti kehendak hati, saya tidak ingin keluar rumah sedikit pun. Siang hari itu panas sekali.
Jadi begitulah. Dengan perasaan teraniaya, saya pergi ke toko komputer yang jaraknya cukup jauh dari rumah, dan saya harus kembali merasa teraniaya. Toko komputer itu tutup!
Hebat sekali, pikir saya. Sudah jauh-jauh dari rumah, sudah rela menarik uang cukup banyak dari ATM, sudah rela berpanas-panas, sudah rela memendam kedongkolan karena catrid, dan sekarang toko yang saya tuju ternyata tutup. Apa yang lebih hebat dari ini, coba…?
Saya mendekati tukang parkir yang mangkal di sana, dan dengan sedikit dongkol saya bertanya, “Bang, kenapa nih, kok tutup tokonya?”
Si tukang parkir memandang saya sambil tersenyum, kemudian mengucapkan kata-kata yang benar-benar tidak saya duga. “Situ pasti bukan orang Indonesia, ya?”
“Hah…?” Saya terkesima. “Emang, apa hubungannya?”
“Yah, ini kan tanggal merah,” ujar si tukang parkir. “Maksud saya, toko ini tutup, karena ini kan tanggal 17 Agustus, hari kemerdekaan Indonesia.”
Hebat, pikir saya. Hanya gara-gara catrid, saya sampai lupa kalau negeri saya sedang berulang tahun merayakan kemerdekaannya. Sepertinya, sepanjang berhubungan dengan catrid, saya bukan warga negara yang baik.
Selamat ulang tahun, negeriku. Meski perayaan 17-an di kampung-kampung kelihatannya semakin sepi dari tahun ke tahun, namun semoga Indonesia menjadi bangsa yang semakin baik. Dan, omong-omong, tolong turunkan harga catrid!