Kamis, 12 Agustus 2010

Diponegoro, Jiwa nan Merdeka

Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa,
tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa merdeka.
Soekarno

Percayalah takdir akan melahirkan masa depan yang baik.
Percayalah kemerdekaan akan menciptakan hal-hal positif jangka panjang.
Ayn Rand


Jauh-jauh hari sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya dari tangan penjajah, Pangeran Diponegoro telah menjadi sesosok manusia yang merdeka. Di tengah hiruk-pikuk peperangan dan keadaan yang menyusahkan, Diponegoro hidup dengan sepenuh kemerdekaan—suatu rasa kemerdekaan yang hanya dapat dipahami, dan dimiliki, oleh orang yang mengetahui arti kemerdekaan sesungguhnya.

Suatu kemerdekaan yang sejati, dan hakiki.

Sebagai pejuang, Diponegoro adalah pejuang yang sulit ditangkap, apalagi ditundukkan dan dikalahkan. Segala macam cara telah dilakukan Belanda untuk dapat mengalahkannya, tetapi Diponegoro beserta pasukannya yang militan selalu lolos dari lubang jarum, seolah bumi selalu memberikan tempat perlindungan bagi mereka.

Hingga kemudian, Belanda menggunakan taktik licik yang menjadi ciri khasnya—menjebak Pangeran Diponegoro dengan cara yang sangat tidak ksatria. Belanda mengirimkan undangan pada Diponegoro, yang isinya permintaan berunding untuk menghentikan peperangan di antara mereka.

Ketika mendapatkan undangan itu, Diponegoro menanggapinya dengan hati bersih. Dengan itikad baik ia memenuhi undangan itu. Dengan itikad baik pula ia duduk di salah satu kursi di ruang kantor yang telah disediakan untuknya, tempat ia akan berunding dengan para pejabat Belanda. Tetapi Diponegoro dikhianati.

Ketika Diponegoro telah duduk dan bersiap untuk berunding, seorang pejabat Belanda mengambil pistol dan menempelkannya ke pelipis Diponegoro. Kemudian, dengan suara dingin, Belanda itu berkata, “Kau kira dengan keris dan tombakmu itu kau bisa mengalahkan senjata-senjata modern kami? Kau kira dengan bambu runcingmu yang kuno itu kau bisa mengalahkan tank-tank pasukan kami…?”

Tak perlu dikatakan bagaimana murkanya Diponegoro menghadapi pengkhianatan itu. Dengan mata yang merah membara, Diponegoro menjawab dengan suara yang sama dinginnya, “Kau tidak paham, kan?” kata Diponegoro dengan suara menahan amarah. “Aku ini pejuang! Sebagai pejuang, tugasku adalah berjuang. Soal kalah atau menang, itu bukan urusanku, karena tugasku adalah berjuang!”

“Aku adalah pejuang! Sebagai pejuang, tugasku adalah berjuang. Soal kalah atau menang, itu bukan urusanku, karena tugasku adalah berjuang!”

Kata-kata yang diucapkan Pangeran Diponegoro itu seharusnya dicetak di baliho-baliho, di poster-poster, di papan-papan besar, dan ditancapkan serta dikibarkan di seluruh wilayah Indonesia. Kata-kata yang diucapkan Pangeran Diponegoro itu seharusnya ditempelkan di setiap kelas sekolah, di ruang-ruang kuliah, di kantor-kantor mana pun, bahkan seharusnya juga tertempel di setiap dinding kamar anak-anak muda di Indonesia.

Itu adalah kata-kata yang keluar dari bibir seorang pejuang sejati, manusia sejati, sosok seorang yang benar-benar memahami arti kemerdekaan yang hakiki. Tidak ada pretensi, tidak ada ekspektasi—yang ada hanyalah semangat dan ketulusan dalam menjalankan tugas hidup yang telah dipilihnya, tugas hidup yang telah dibebankan alam semesta ke pundaknya.

Benar bahwa perjuangan melawan penjajahan berarti mengharapkan kemenangan dan kemerdekaan. Benar bahwa para pejuang dan para pahlawan menginginkan kebebasan di atas tanah bumi yang merdeka. Tetapi tidak ada kebebasan sebuah bangsa sebelum setiap pejuang memerdekakan dirinya. Tidak ada kemerdekaan atas sebuah negara sebelum ada kebebasan dalam hati manusia yang tinggal di dalamnya.

Diponegoro telah memerdekakan dirinya sendiri sebelum dia berjuang memerdekakan bangsanya. Diponegoro telah membebaskan dirinya sendiri sebelum dia berperang membebaskan tanah pertiwi yang dicintainya. Ketika seorang manusia telah merdeka dan terbebas dari segala belenggu kemanusiaannya, maka ia pun menjadi ringan melangkah dalam membebaskan segala sesuatu di luar dirinya—termasuk bangsa dan tanah buminya.

“Aku adalah pejuang,” kata Diponegoro. “Sebagai pejuang, tugasku adalah berjuang. Soal kalah atau menang, itu bukan urusanku, karena tugasku adalah berjuang!”

Itu adalah kata-kata penuh visi yang menggemakan spirit kemerdekaan dan kebebasan yang jernih—puncak kesadaran atas kebebasan yang dapat diraih manusia.

Dan visi Diponegoro adalah spirit yang seharusnya menjadi napas bagi denyut hidup bangsa ini. Sebagai pejuang, visi Diponegoro adalah berjuang—dan bukannya menang semata-mata. Karena dia meletakkan visi yang tepat atas perjuangannya, maka perjuangannya pun mendatangkan keberhasilan. Ketika visi yang benar diletakkan di atas pekerjaan yang benar, maka langit dan bumi akan menyaksikan sebuah keberhasilan.

Pesan Diponegoro begitu sederhana. Letakkan visi yang benar—yang mulia—atas apa pun yang kita lakukan, maka pekerjaan yang kita lakukan pun akan mendatangkan keberhasilan serta kemuliaan yang sama. Di sinilah esensi kemerdekaan yang hakiki. Ketika siapa pun sampai pada pemahaman seperti ini, ia akan terbebas dari segala belenggu hidup.

Visi, visi, visi—visi yang benar. Dan segalanya akan mengikuti.

Lakukanlah tugas kita—perjuangan kita—dengan sebaik-baiknya, maka apa pun yang kita lakukan dan kita kerjakan akan mendatangkan hasil yang sama. Sederhana, begitu sederhana.

Jika masing-masing orang mau meletakkan visi yang tepat dan benar sebagaimana Diponegoro meletakkan visinya atas perjuangan yang dilakukannya, maka masing-masing kita pun akan sampai pada tahap kebebasan diri. Jika masing-masing dari kita telah mampu meraih kebebasan diri, maka negeri yang kita cintai ini pun akan sampai pada tahap kemerdekaan yang sejati.

Tidak ada kemerdekaan tanpa kebebasan. Tidak ada kebebasan tanpa visi yang benar.

 
;