Waktu: 21:27 WIB
Lokasi: Restoran “D”
Di sudut restoran yang hening, mereka duduk berhadapan, dipisahkan sebuah meja bundar dengan dua lilin redup di atasnya. Pelayan telah mengambil sisa-sisa makan, dan kini dua orang itu tengah saling menatap, mesra, dan si perempuan sedikit salah tingkah.
“Aku tahu,” kata si laki-laki perlahan, “aku tahu tak layak menyatakan hal itu kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu.”
Si perempuan mengangguk. Tampak binar mata yang sulit disembunyikan di lingkar wajahnya.
“Dia pria yang beruntung,” sambung si laki-laki.
“Begitu pun wanita yang kelak akan kautemukan,” sahut si perempuan.
Si laki-laki menggeleng perlahan, dan tersenyum. Ia menyesap sisa minuman di gelasnya, meletakkannya kembali di atas meja, kemudian menatap perempuan di hadapannya. Dia seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi kemudian seseorang berkata, “Lupakan saja.”
Waktu: 17:16 WIB
Lokasi: Tempat parkir swalayan “M”
Mereka berdiri di dekat mobil yang satu pintunya telah terbuka. Si laki-laki telah bersiap masuk ke dalam mobil, tetapi si perempuan tampak ingin pergi. Si laki-laki berkata dengan suara yang tertahan, “Listen, kita bisa membicarakan semua ini dengan kepala dingin—dengan baik-baik.”
“Tidak akan pernah baik jika denganmu!” jawab si perempuan dengan berteriak, membuat orang-orang di tempat parkir itu menoleh ke arah mereka.
“Kau telah bersikap tidak adil,” ujar si laki-laki, masih dengan suara yang tertahan.
“Aku…? Tidak adil…?” jerit si perempuan lagi. “Kau menuduhku tidak adil…?!”
“Ya,” jawab si laki-laki. “Kau telah bersikap tidak adil—pada dirimu sendiri.”
Perempuan itu terdiam, seperti merasa baru ditampar. Pipinya memerah, dan dia tiba-tiba teringat perlu mengganti bedaknya yang mungkin telah menguap. Angin senja menghembus anak-anak rambutnya, dan dia kini mendapati dirinya berdiri, terpaku, di hadapan laki-laki yang selama ini dicintainya—yang terlalu dicintainya.
Perempuan itu membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu yang sekarang harus dikatakannya. Tetapi mulutnya kembali terkatup saat seseorang berkata, “Lupakan saja.”
Waktu: 11.22 WIB
Lokasi: Auditorium Kampus “P”
Ruangan itu terasa hening, meski sembilan ratus orang berkumpul di sana, duduk di kursinya masing-masing. Di bagian depan, ada satu orang pembicara yang berdiri menghadapi sembilan ratus orang itu. Mereka sedang mendiskusikan salah satu pernyataan Nietsczhe yang paling tidak terkenal, tetapi paling menggelisahkan pikiran.
“Yang paling aneh di antara semuanya itu, Saudara-saudara,” ujar sang pembicara yang sejak tadi memukau ruangan konferensi, “adalah kenyataan bahwa orang-orang besar yang kita kenali hari ini adalah orang-orang yang menjalani hidup dengan pernyataan itu. Kita bisa melihatnya di berbagai spektrum—film, musik, sejarah, filsafat, literatur, apa pun. Selalu saja begitu. Ketika seseorang muncul dari sana, dan kemudian kita telusuri sejarahnya, entah mengapa, kita akan selalu terbentur pada fakta satu itu. Coba kita lihat Rumi, Gibran, Iqbal, atau Nietsczhe sendiri…”
Seseorang yang duduk di bangku hadirin nyeletuk, “Juga James Bond.”
Si pembicara, entah mengapa, tertawa terbahak-bahak. “Ya, ya,” katanya sambil masih tertawa. “Juga James Bond. Atau, kalau kalian ingin contoh yang lebih populer lagi, lihatlah tokoh-tokoh superhero yang tak pernah mati itu. Superman, Spiderman, Batman, bocah-bocah X-Men—semuanya sama. Apakah ini tidak ajaib…?”
Seseorang yang duduk di bangku hadirin mengacungkan jarinya. “Tapi, Sir, maafkan saya. Bukankah Gibran menjalin hubungan cinta dengan Mary Hasskel, juga dengan May Ziadah…?”
Si pembicara tersenyum dengan bijaksana. “Kau benar, Nak. Begitu pula Spiderman idolamu itu. Dia menjalin hubungan cinta dengan… siapa?”
“Mary, Sir—Mary Jane Watson.”
“Hebat sekali kau masih mengingat namanya, Nak. Nah, begitu pula dengan Spiderman, kan? Atau, seperti yang tadi sudah saya sebutkan, juga dengan Superman, Batman, dan lainnya. Mereka juga sama. Pertanyaannya, apakah kau sudah membaca latar sejarah mereka?”
Orang yang bertanya tadi tersenyum penuh gairah—ia seperti baru melihat sesuatu yang selama ini tak pernah dilihatnya. Ia sudah akan berkata dengan penuh semangat, tetapi kemudian seseorang berkata, “Lupakan saja.”
Waktu: 14:32 WIB
Lokasi: Tak bisa disebutkan
Perempuan itu menangis sesenggrukan, sementara kekasihnya berdiri di hadapannya dengan muka kebingungan. Ya Tuhan, pikir si laki-laki, kenapa perempuan harus selalu menangis seperti ini?
“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi!” jerit si perempuan. “Aku tidak bisa…!”
“Oke, oke,” sahut si laki-laki dengan serba salah. “Tolong hentikan tangismu. Orang-orang melihat ke arah kita semua, dan mereka bisa saja berpikir aku telah menjahatimu…”
“Kau memang telah menjahatiku…!!!” jerit si perempuan, kali ini dengan suara yang lebih keras—dan orang-orang di tempat itu pun seketika memalingkan muka ke arah mereka. “Kau telah menjahatiku…!”
“Hei, coba dengar,” kata si laki-laki dengan suara tertahan, menahan emosinya sendiri. “Kau yang memutuskanku—tapi sekarang kau yang menangis. Dan kau berkata aku menjahatimu, padahal kaulah yang memutuskanku…”
“Itulah masalahnya…!” sembur si perempuan dengan suara yang sangat keras. “Aku merasa tak sanggup memutuskan hubungan denganmu—itulah kejahatanmu! Aku terlalu cinta kepadamu, terlalu jatuh cinta kepadamu…!”
Si laki-laki menatap perempuan di hadapannya, ada sesuatu yang harus dikatakannya. Sekarang, atau tidak sama sekali. Dia sudah menguatkan tekadnya untuk menyatakan hal itu, tetapi kemudian seseorang berkata, “Lupakan saja.”
Waktu: 15:11 WIB
Lokasi: Komplek pemakaman
Jasad itu perlahan-lahan dimasukkan ke liang lahat, dan orang-orang berdiri terpaku di sekelilingnya. Seorang yang mereka kenali kini pergi, selamanya, dan mereka semua merasa kehilangan.
Ada bergurat-gurat kenangan yang kini menari-nari di sekeliling orang-orang itu. Dan kenangan demi kenangan itu terus menari-nari seiring tanah yang kini menutupi liang kubur—seiring nisan yang ditancapkan.
Satu per satu dari mereka pergi meninggalkan makam, meninggalkan jasad seseorang yang kini tak lagi bersama mereka—atau bersama mereka selamanya. Kuntum-kuntum kamboja berguguran, sebagian jatuh di atas gundukan tanah makam. Kelopaknya tampak putih, bersama titik air sisa hujan semalam.
Seseorang yang berdiri di sana memungut salah satu kamboja yang jatuh, menatapnya, kemudian terpekur. Ia menengadah ke atas. Dan melihat langit seperti baru dibersihkan.
Empat belas kilometer dari tempat itu, seseorang yang lain berkata, “Lupakan saja.”
Waktu: 23:00 WIB
Lokasi: Di sebuah kamar
Dia berbaring sendirian di atas springbed di kamarnya yang telah redup, sementara satu sisi telinganya masih mendengarkan suara lembut dari seberang sana—suara seseorang yang amat dirindukannya.
“Sudah malam, Honey,” suara laki-laki itu terdengar, “sudah saatnya kau tidur sekarang.”
“Tapi aku masih kangen,” sahut si perempuan. “Jam berapa di sana?”
Laki-laki di seberang sana memperdengarkan suara tawa kecil, kemudian menjawab, “Coba tebak…?”
“Masih sore, ya? Atau jangan-jangan masih siang…?”
“Keliru.”
“Oh ya? Jadi di sana juga sudah malam…?”
“Keliru lagi.”
“Jadi, jam berapa di sana?”
“Tidak ada jam.”
“Sori…?”
“Ya, Honey, di sini tidak ada jam—tidak ada waktu. Karena setiap detik yang kurasakan di sini selalu terisi olehmu. Dan setiap kali aku mengingatmu, aku merasa waktu jadi abadi.”
Si perempuan tersenyum di dekat ponselnya. “Kau manis sekali. Aku sudah siap tidur sekarang. Kau mau menyatakan sesuatu sebelum aku tidur?”
“I love you.”
Sekarang perempuan itu telah mendapatkan bekal untuk mimpi indahnya malam ini. Dengan senyum yang masih tersungging di bibir, dia letakkan ponselnya di dekat tempatnya berbaring, kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Ucapan cinta itu akan bertahan malam ini—juga untuk selama-lamanya.
Perempuan itu mulai memejamkan matanya untuk tidur, tapi kemudian ponsel di dekatnya berdering kembali. Mungkin dia masih ingin mengatakan sesuatu, pikirnya sambil tersenyum. Didekatkannya ponsel itu ke telinganya, dan ia menyapa dengan suara mesra, “Halo, Sayang…?”
Tetapi suara di seberang sana bukan lagi lelaki yang dikenalnya. Yang terdengar adalah suara asing. Dan seseorang yang asing itu berkata, “Lupakan saja.”
Lokasi: Restoran “D”
Di sudut restoran yang hening, mereka duduk berhadapan, dipisahkan sebuah meja bundar dengan dua lilin redup di atasnya. Pelayan telah mengambil sisa-sisa makan, dan kini dua orang itu tengah saling menatap, mesra, dan si perempuan sedikit salah tingkah.
“Aku tahu,” kata si laki-laki perlahan, “aku tahu tak layak menyatakan hal itu kepadamu. Aku hanya ingin kau tahu.”
Si perempuan mengangguk. Tampak binar mata yang sulit disembunyikan di lingkar wajahnya.
“Dia pria yang beruntung,” sambung si laki-laki.
“Begitu pun wanita yang kelak akan kautemukan,” sahut si perempuan.
Si laki-laki menggeleng perlahan, dan tersenyum. Ia menyesap sisa minuman di gelasnya, meletakkannya kembali di atas meja, kemudian menatap perempuan di hadapannya. Dia seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi kemudian seseorang berkata, “Lupakan saja.”
Waktu: 17:16 WIB
Lokasi: Tempat parkir swalayan “M”
Mereka berdiri di dekat mobil yang satu pintunya telah terbuka. Si laki-laki telah bersiap masuk ke dalam mobil, tetapi si perempuan tampak ingin pergi. Si laki-laki berkata dengan suara yang tertahan, “Listen, kita bisa membicarakan semua ini dengan kepala dingin—dengan baik-baik.”
“Tidak akan pernah baik jika denganmu!” jawab si perempuan dengan berteriak, membuat orang-orang di tempat parkir itu menoleh ke arah mereka.
“Kau telah bersikap tidak adil,” ujar si laki-laki, masih dengan suara yang tertahan.
“Aku…? Tidak adil…?” jerit si perempuan lagi. “Kau menuduhku tidak adil…?!”
“Ya,” jawab si laki-laki. “Kau telah bersikap tidak adil—pada dirimu sendiri.”
Perempuan itu terdiam, seperti merasa baru ditampar. Pipinya memerah, dan dia tiba-tiba teringat perlu mengganti bedaknya yang mungkin telah menguap. Angin senja menghembus anak-anak rambutnya, dan dia kini mendapati dirinya berdiri, terpaku, di hadapan laki-laki yang selama ini dicintainya—yang terlalu dicintainya.
Perempuan itu membuka mulutnya, ingin mengatakan sesuatu yang sekarang harus dikatakannya. Tetapi mulutnya kembali terkatup saat seseorang berkata, “Lupakan saja.”
Waktu: 11.22 WIB
Lokasi: Auditorium Kampus “P”
Ruangan itu terasa hening, meski sembilan ratus orang berkumpul di sana, duduk di kursinya masing-masing. Di bagian depan, ada satu orang pembicara yang berdiri menghadapi sembilan ratus orang itu. Mereka sedang mendiskusikan salah satu pernyataan Nietsczhe yang paling tidak terkenal, tetapi paling menggelisahkan pikiran.
“Yang paling aneh di antara semuanya itu, Saudara-saudara,” ujar sang pembicara yang sejak tadi memukau ruangan konferensi, “adalah kenyataan bahwa orang-orang besar yang kita kenali hari ini adalah orang-orang yang menjalani hidup dengan pernyataan itu. Kita bisa melihatnya di berbagai spektrum—film, musik, sejarah, filsafat, literatur, apa pun. Selalu saja begitu. Ketika seseorang muncul dari sana, dan kemudian kita telusuri sejarahnya, entah mengapa, kita akan selalu terbentur pada fakta satu itu. Coba kita lihat Rumi, Gibran, Iqbal, atau Nietsczhe sendiri…”
Seseorang yang duduk di bangku hadirin nyeletuk, “Juga James Bond.”
Si pembicara, entah mengapa, tertawa terbahak-bahak. “Ya, ya,” katanya sambil masih tertawa. “Juga James Bond. Atau, kalau kalian ingin contoh yang lebih populer lagi, lihatlah tokoh-tokoh superhero yang tak pernah mati itu. Superman, Spiderman, Batman, bocah-bocah X-Men—semuanya sama. Apakah ini tidak ajaib…?”
Seseorang yang duduk di bangku hadirin mengacungkan jarinya. “Tapi, Sir, maafkan saya. Bukankah Gibran menjalin hubungan cinta dengan Mary Hasskel, juga dengan May Ziadah…?”
Si pembicara tersenyum dengan bijaksana. “Kau benar, Nak. Begitu pula Spiderman idolamu itu. Dia menjalin hubungan cinta dengan… siapa?”
“Mary, Sir—Mary Jane Watson.”
“Hebat sekali kau masih mengingat namanya, Nak. Nah, begitu pula dengan Spiderman, kan? Atau, seperti yang tadi sudah saya sebutkan, juga dengan Superman, Batman, dan lainnya. Mereka juga sama. Pertanyaannya, apakah kau sudah membaca latar sejarah mereka?”
Orang yang bertanya tadi tersenyum penuh gairah—ia seperti baru melihat sesuatu yang selama ini tak pernah dilihatnya. Ia sudah akan berkata dengan penuh semangat, tetapi kemudian seseorang berkata, “Lupakan saja.”
Waktu: 14:32 WIB
Lokasi: Tak bisa disebutkan
Perempuan itu menangis sesenggrukan, sementara kekasihnya berdiri di hadapannya dengan muka kebingungan. Ya Tuhan, pikir si laki-laki, kenapa perempuan harus selalu menangis seperti ini?
“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini lagi!” jerit si perempuan. “Aku tidak bisa…!”
“Oke, oke,” sahut si laki-laki dengan serba salah. “Tolong hentikan tangismu. Orang-orang melihat ke arah kita semua, dan mereka bisa saja berpikir aku telah menjahatimu…”
“Kau memang telah menjahatiku…!!!” jerit si perempuan, kali ini dengan suara yang lebih keras—dan orang-orang di tempat itu pun seketika memalingkan muka ke arah mereka. “Kau telah menjahatiku…!”
“Hei, coba dengar,” kata si laki-laki dengan suara tertahan, menahan emosinya sendiri. “Kau yang memutuskanku—tapi sekarang kau yang menangis. Dan kau berkata aku menjahatimu, padahal kaulah yang memutuskanku…”
“Itulah masalahnya…!” sembur si perempuan dengan suara yang sangat keras. “Aku merasa tak sanggup memutuskan hubungan denganmu—itulah kejahatanmu! Aku terlalu cinta kepadamu, terlalu jatuh cinta kepadamu…!”
Si laki-laki menatap perempuan di hadapannya, ada sesuatu yang harus dikatakannya. Sekarang, atau tidak sama sekali. Dia sudah menguatkan tekadnya untuk menyatakan hal itu, tetapi kemudian seseorang berkata, “Lupakan saja.”
Waktu: 15:11 WIB
Lokasi: Komplek pemakaman
Jasad itu perlahan-lahan dimasukkan ke liang lahat, dan orang-orang berdiri terpaku di sekelilingnya. Seorang yang mereka kenali kini pergi, selamanya, dan mereka semua merasa kehilangan.
Ada bergurat-gurat kenangan yang kini menari-nari di sekeliling orang-orang itu. Dan kenangan demi kenangan itu terus menari-nari seiring tanah yang kini menutupi liang kubur—seiring nisan yang ditancapkan.
Satu per satu dari mereka pergi meninggalkan makam, meninggalkan jasad seseorang yang kini tak lagi bersama mereka—atau bersama mereka selamanya. Kuntum-kuntum kamboja berguguran, sebagian jatuh di atas gundukan tanah makam. Kelopaknya tampak putih, bersama titik air sisa hujan semalam.
Seseorang yang berdiri di sana memungut salah satu kamboja yang jatuh, menatapnya, kemudian terpekur. Ia menengadah ke atas. Dan melihat langit seperti baru dibersihkan.
Empat belas kilometer dari tempat itu, seseorang yang lain berkata, “Lupakan saja.”
Waktu: 23:00 WIB
Lokasi: Di sebuah kamar
Dia berbaring sendirian di atas springbed di kamarnya yang telah redup, sementara satu sisi telinganya masih mendengarkan suara lembut dari seberang sana—suara seseorang yang amat dirindukannya.
“Sudah malam, Honey,” suara laki-laki itu terdengar, “sudah saatnya kau tidur sekarang.”
“Tapi aku masih kangen,” sahut si perempuan. “Jam berapa di sana?”
Laki-laki di seberang sana memperdengarkan suara tawa kecil, kemudian menjawab, “Coba tebak…?”
“Masih sore, ya? Atau jangan-jangan masih siang…?”
“Keliru.”
“Oh ya? Jadi di sana juga sudah malam…?”
“Keliru lagi.”
“Jadi, jam berapa di sana?”
“Tidak ada jam.”
“Sori…?”
“Ya, Honey, di sini tidak ada jam—tidak ada waktu. Karena setiap detik yang kurasakan di sini selalu terisi olehmu. Dan setiap kali aku mengingatmu, aku merasa waktu jadi abadi.”
Si perempuan tersenyum di dekat ponselnya. “Kau manis sekali. Aku sudah siap tidur sekarang. Kau mau menyatakan sesuatu sebelum aku tidur?”
“I love you.”
Sekarang perempuan itu telah mendapatkan bekal untuk mimpi indahnya malam ini. Dengan senyum yang masih tersungging di bibir, dia letakkan ponselnya di dekat tempatnya berbaring, kemudian menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Ucapan cinta itu akan bertahan malam ini—juga untuk selama-lamanya.
Perempuan itu mulai memejamkan matanya untuk tidur, tapi kemudian ponsel di dekatnya berdering kembali. Mungkin dia masih ingin mengatakan sesuatu, pikirnya sambil tersenyum. Didekatkannya ponsel itu ke telinganya, dan ia menyapa dengan suara mesra, “Halo, Sayang…?”
Tetapi suara di seberang sana bukan lagi lelaki yang dikenalnya. Yang terdengar adalah suara asing. Dan seseorang yang asing itu berkata, “Lupakan saja.”