Minggu, 01 Agustus 2010

Eminem yang Malang

Untuk anak-anak yang terluka, dimana pun kalian berada,
semoga Tuhan menggantikannya dengan cinta, kapan pun waktunya.

Langit menyaksikan setiap tetes air mata kalian,
dan tanah bumi ini tak akan kering sebelum tangis berubah menjadi senyuman.
Alam semesta mendengar jerit rintih kalian, dan suara-suara kecil bisu kalian
terdengar olehnya bagai lolong serigala pada rembulan.

Setiap helai rambut kalian memiliki hak untuk dibelai, setiap sudut hati kalian
memiliki hak untuk disentuh, setiap panca indera kalian memiliki hak
untuk melihat dan mendengar cinta. Dan selamanya pintu surga akan tertutup
sebelum setiap hak milik kalian diberikan.

Semoga setiap sakit yang kalian derita tergantikan oleh kasih,
luka hati yang menganga tertutup oleh senyum di akhirnya.

(Hoeda Manis, Lacrymossa)


Setiap kali mendengar nama Eminem, apa yang biasanya langsung muncul dalam kepala kita? Kebanyakan orang langsung membayangkan sesosok cowok freak yang hobi menyemburkan sumpah-serapah, bahkan kebencian, melalui lagu-lagunya. Bukan hanya itu, Eminem bahkan tidak segan untuk menyatakan kebenciannya terhadap seseorang dalam wawancara-wawancaranya. Dia sepertinya tak pernah peduli kalau ucapan atau lirik-lirik lagunya akan menyakiti orang lain.

Karena kebiasaannya yang buruk semacam itu, banyak media yang memandang minor terhadap Eminem. Mereka sering bertanya-tanya (melalui headline) baik di majalah ataupun koran, “Ada apa denganmu, Em?”

Ada apa dengan Eminem? Sebagian media yang “bijak” menilai Eminem hanya sebagai anak muda yang badung, nakal, yang kelakuan buruknya pasti akan “sembuh” sendiri seiring kedewasaannya. Tetapi media-media yang “kurang bijak” langsung menuduh Eminem dengan sederet caci-maki yang tidak kalah panasnya dari caci-maki yang biasa disemburkan Eminem.

Eminem, yang nama aslinya Marshal Bruce Mathers III, sesungguhnya adalah korban dari orangtua yang terlalu otoriter. Dia mengakui semenjak kecil telah terbiasa dengan kekangan dan sederet peraturan keras yang ditetapkan orangtuanya, khususnya oleh ayahnya. Sebegitu keras dan ketatnya peraturan yang ditetapkan orangtuanya, sampai-sampai Eminem menganggap rumahnya sebagai penjara—hingga dia merasa amat benci jika harus berada di rumah.

Kenyataan semacam itu telah dialami Eminem semenjak kecil. Lebih dari itu, yang membuat Eminem semakin membenci keluarganya, adalah karena orangtuanya kerap kali menjadikan Eminem sebagai “kambing hitam” keluarga. Jika ada masalah dalam keluarga, Eminemlah yang dituduh. Jika ada suatu kekeliruan, Eminem pula yang akan menjadi “badut korban”.

Eminem adalah tempat sampah, tempat orangtua dan keluarganya biasa melemparkan sindiran, caci-maki, sikap merendahkan, dan ucapan kasar menyakitkan—sebuah jiwa kecil yang harus menanggung kesakitan atas sesuatu yang tak dipahaminya.

Eminem merasa dirinya selalu jadi bahan olok-olok, cemoohan, bahkan timbunan kesalahan setiap kali terjadi apa-apa yang keliru dalam keluarganya. Jadi lengkaplah sudah kebenciannya terhadap keluarganya, khususnya kepada orangtuanya. Dia membenci perilaku orangtuanya yang terlalu keras, dan dia pun makin membenci jika harus berkumpul dengan anggota keluarganya.

Jika ada orang yang menjadi korban “masa kecil kurang bahagia”, maka Eminem salah satunya. Semenjak kecil, Eminem lebih sering merasa tertekan daripada keriangan dan kegembiraan. Satu-satunya kesempatan yang terasa menyenangkan bagi Eminem kecil adalah ketika di larut malam, saat keluarganya telah terlelap, dia akan membuka jendela kamarnya—dan keluar berjalan-jalan sendirian di tengah malam.

Setelah puas berjalan-jalan sendirian seperti itu, Eminem pun biasanya kembali ke rumahnya dan kembali masuk ke kamarnya melalui jendela. Kenyataan itu tak pernah diketahui orangtuanya, karena mereka menganggap Eminem hanyalah “si badut bodoh”. Tak perlu disebutkan lagi, Eminem tidak menyukai orangtuanya, dia bahkan sangat membenci ayahnya—karena perbuatan mereka atas dirinya.

Melihat kenyataan masa kecilnya seperti itu, sekarang kita dapat memaklumi—atau setidaknya dapat memahami—perilaku Eminem yang kemudian ditunjukkannya saat remaja dan beranjak dewasa. Suara-suara kebencian atau caci-maki yang biasa disemburkan Eminem, baik lewat lagu maupun dalam wawancara, sesungguhnya adalah desakan dari bawah sadarnya—suatu kondisi kepahitan yang ingin diteriakkannya kepada dunia.

Caci-maki yang disemburkan Eminem tidak lain sesungguhnya jerit permintaan tolong.

Eminem hanyalah korban—ia adalah korban dari kepahitan masa kanak-kanak, korban dari sikap orangtua otoriter yang selalu memaksakan kehendaknya, yang selalu menganggap peraturannya sebagai kebenaran mutlak yang wajib dipatuhi tanpa pertanyaan oleh anaknya. Eminem adalah korban—ia adalah korban dari sikap merendahkan, perilaku yang tak menyenangkan, ucapan menyakitkan, yang biasa ditunjukkan orang lain atas dirinya.

Karenanya, ketika media massa sedunia bertanya-tanya, “Ada apa denganmu, Em?” seharusnya mereka dapat menemukan jawabannya kalau saja tidak memandang sinis terlebih dulu terhadap Eminem. Hanya saja, kebanyakan kita sering kali terlalu buru-buru menjatuhkan vonis—termasuk pula pada Eminem.

Tidak, Eminem bukanlah sosok freak yang senang mengumbar kebencian melalui kata-kata—ia hanyalah korban kemalangan yang ingin menyatakan kepada dunia bahwa jiwanya terluka. Caci-maki yang disemburkannya tidak lain sesungguhnya jerit permintaan tolong yang merana.

 
;