….
….
“Menurutmu, kenapa mereka tertawa-tawa gembira?”
“Karena menyaksikan orang baru yang ikut terjebak seperti mereka.”
“Ironi yang jahat.”
“Really? Kenapa dari dulu tidak ada yang mengingatkan? Kenapa dari dulu tidak ada yang cukup baik hati menyatakan, ‘Hei, jangan ikuti kami. Menjauhlah, yang kalian lihat tidak seperti tampaknya. Pergilah, ini jebakan!’ Tidak ada yang berkata seperti itu. Alih-alih mengingatkan, mereka justru merayu-rayu orang lain agar ikut masuk ke dalam jebakan.”
“Oh, kamu mengingatkanku pada kisah iblis yang mencari kawan sebanyak-banyaknya, agar punya banyak teman di neraka.”
“Hahahaha… Ironi yang jahat!”
“Oh, tolong, jangan meledek begitu.”
“Oke, jadi, kenapa mereka tertawa-tawa gembira?”
“Hahaha… Sebenarnya sih ini hanya soal ketidaktahuan…”
“Oh ya, ketidaktahuan yang bergabung dengan keingintahuan—kita sudah membahasnya jutaan kali. Tetapi kenapa kenyataan semacam ini tak pernah berubah? See, makin hari semakin banyak. Mereka melihat, menyaksikan, tapi tak pernah belajar.”
“Apa lagi yang harus kita perbuat? Kita tidak bisa teriak-teriak seperti yang kamu maksud. Kalau pun kita melakukannya, belum tentu ada yang percaya. Jangan lupa, kita belum pernah masuk ke sana. Jadi apa pun yang kita katakan, orang tidak akan terlalu menghiraukan, karena mereka pikir semua ini hanya opini subjektif.”
“Tak ada yang lebih mengerikan dibanding ini…”
“Agree. Mau es krim?”
“Ya.”
“Salad?”
“Uh, sejak kapan orang makan es krim dengan salad?”
“Hahaha… Jadi, ayo kita gembira. Yeah, pura-pura tak tahu saja.”
….
….
“Es krimnya enak.”
“Oh, jangan mulai.”
“Tidak—es krimnya benar-benar enak. Lembut. Aku bisa menghabiskan satu gelas lagi, meski nanti harus minum pil sakit kepala sesampai di rumah.”
“Sakit kepalamu belum sembuh?”
“Uh, sepertinya tidak akan sembuh.”
“Hei, kenapa kamu tidak pernah terpikir, hal itu dapat disembuhkan dengan obat yang tepat?”
“Dan obat yang tepat itu…?”
“Ikut masuk ke sana.”
“Ironi yang jahat.”
“Tidak—siapa tahu bisa jadi terapi yang bagus?”
“Terapi yang bagus—kedengarannya seperti hipotesis meyakinkan. Jadi, aku berusaha menyembuhkan sakit kepalaku dengan cara menyakiti kepala orang lain? Berharap mendapatkan setitik air dengan menggali sumur dan membendung lautan? Mempertaruhkan hidupku hanya untuk main tebak semangka? Tesis yang genius!”
“Hahaha… senang sekali bisa menyaksikanmu sinis begitu! Mau es krim lagi?”
“Ya, dan salad.”
“Sejak kapan orang makan es krim dengan salad?”
“Sejak sekarang.”
“Hahahaha…!!!”
….
….
Di bagian lain, orang-orang berbisik, “Kenapa dua orang itu tampak tertawa-tawa begitu?”
“Apa anehnya? Di tempat dan acara seperti ini, semua orang tertawa gembira.”
….
….
Dan detik terus berdetak—ada yang menunggunya. Pada batasnya. Mawar putih berjatuhan. Kesegaran dihempas badai angin dan hujan. Tanah-tanah taman diterjang prahara. Dan langit menangis…
….
“Menurutmu, kenapa mereka tertawa-tawa gembira?”
“Karena menyaksikan orang baru yang ikut terjebak seperti mereka.”
“Ironi yang jahat.”
“Really? Kenapa dari dulu tidak ada yang mengingatkan? Kenapa dari dulu tidak ada yang cukup baik hati menyatakan, ‘Hei, jangan ikuti kami. Menjauhlah, yang kalian lihat tidak seperti tampaknya. Pergilah, ini jebakan!’ Tidak ada yang berkata seperti itu. Alih-alih mengingatkan, mereka justru merayu-rayu orang lain agar ikut masuk ke dalam jebakan.”
“Oh, kamu mengingatkanku pada kisah iblis yang mencari kawan sebanyak-banyaknya, agar punya banyak teman di neraka.”
“Hahahaha… Ironi yang jahat!”
“Oh, tolong, jangan meledek begitu.”
“Oke, jadi, kenapa mereka tertawa-tawa gembira?”
“Hahaha… Sebenarnya sih ini hanya soal ketidaktahuan…”
“Oh ya, ketidaktahuan yang bergabung dengan keingintahuan—kita sudah membahasnya jutaan kali. Tetapi kenapa kenyataan semacam ini tak pernah berubah? See, makin hari semakin banyak. Mereka melihat, menyaksikan, tapi tak pernah belajar.”
“Apa lagi yang harus kita perbuat? Kita tidak bisa teriak-teriak seperti yang kamu maksud. Kalau pun kita melakukannya, belum tentu ada yang percaya. Jangan lupa, kita belum pernah masuk ke sana. Jadi apa pun yang kita katakan, orang tidak akan terlalu menghiraukan, karena mereka pikir semua ini hanya opini subjektif.”
“Tak ada yang lebih mengerikan dibanding ini…”
“Agree. Mau es krim?”
“Ya.”
“Salad?”
“Uh, sejak kapan orang makan es krim dengan salad?”
“Hahaha… Jadi, ayo kita gembira. Yeah, pura-pura tak tahu saja.”
….
….
“Es krimnya enak.”
“Oh, jangan mulai.”
“Tidak—es krimnya benar-benar enak. Lembut. Aku bisa menghabiskan satu gelas lagi, meski nanti harus minum pil sakit kepala sesampai di rumah.”
“Sakit kepalamu belum sembuh?”
“Uh, sepertinya tidak akan sembuh.”
“Hei, kenapa kamu tidak pernah terpikir, hal itu dapat disembuhkan dengan obat yang tepat?”
“Dan obat yang tepat itu…?”
“Ikut masuk ke sana.”
“Ironi yang jahat.”
“Tidak—siapa tahu bisa jadi terapi yang bagus?”
“Terapi yang bagus—kedengarannya seperti hipotesis meyakinkan. Jadi, aku berusaha menyembuhkan sakit kepalaku dengan cara menyakiti kepala orang lain? Berharap mendapatkan setitik air dengan menggali sumur dan membendung lautan? Mempertaruhkan hidupku hanya untuk main tebak semangka? Tesis yang genius!”
“Hahaha… senang sekali bisa menyaksikanmu sinis begitu! Mau es krim lagi?”
“Ya, dan salad.”
“Sejak kapan orang makan es krim dengan salad?”
“Sejak sekarang.”
“Hahahaha…!!!”
….
….
Di bagian lain, orang-orang berbisik, “Kenapa dua orang itu tampak tertawa-tawa begitu?”
“Apa anehnya? Di tempat dan acara seperti ini, semua orang tertawa gembira.”
….
….
Dan detik terus berdetak—ada yang menunggunya. Pada batasnya. Mawar putih berjatuhan. Kesegaran dihempas badai angin dan hujan. Tanah-tanah taman diterjang prahara. Dan langit menangis…