Jumat, 27 Agustus 2010

Teman Saya Tidak Puasa

Integritas adalah berbuat hal yang benar
walaupun tak ada orang yang melihatnya.
—Anonymous


Bagi kebanyakan orang, tidur siang pada bulan puasa pasti merupakan hal biasa. Bahkan, bagi yang tidak bekerja, atau bekerja di rumah, tidur siang di bulan puasa jadi semacam kewajiban. Rasanya hari cepat menjadi sore ketika diisi dengan tidur. Begitu bangun tidur pada sore hari, waktu pun terasa cepat berjalan, hingga tiba-tiba datang saat berbuka karena maghrib sudah menjelang.

Bagi saya, tidur siang tidak hanya saya lakukan pada waktu bulan puasa saja. Di hari-hari biasa pun, saya lebih banyak tidur siang daripada tidur malam hari. Saya lebih suka bekerja di malam hari—hingga subuh atau pagi—dan kemudian tidur pada siang harinya. Karena kebiasaan ini sudah diketahui teman-teman saya, mereka pun biasanya dolan ke rumah pada malam hari, atau selepas dhuhur, karena tidak ingin mengganggu istirahat saya.

Nah, pada bulan puasa kemarin, suatu hari—tepatnya jam sepuluh pagi—ponsel di dekat saya berdering membangunkan saya dari tidur. Seorang teman menelepon. Kita sebut saja si X. Waktu telepon itu saya terima, X berkata dengan canggung, “Sori, aku pasti membangunkanmu, ya. Hmm, aku lagi di rumah tetanggamu sekarang. Aku boleh mampir ke rumahmu?”

Saya tahu si X ini orang sibuk, dan tinggal di tempat yang tergolong jauh dari komplek saya tinggal, jadi tidak bisa setiap saat dia dolan ke rumah saya. Karenanya, saya pun memaklumi ketika dia kemudian ingin mampir karena kebetulan dari rumah tetangga saya. Jadi, saya pun menyambut dengan senang hati, “Datanglah, aku tunggu.”

Saya bangkit dari tempat tidur, lalu mencuci muka. Beberapa menit kemudian si X benar-benar datang.

“Sori, aku pasti menyita waktu tidurmu,” ujarnya dengan muka bersalah, saat saya membukakan pintu untuknya. Lalu kami pun duduk di ruang tamu, dan dia bercerita mengenai keperluannya datang ke tempat tetangga saya.

Jadi, si X ditugaskan oleh tempatnya bekerja untuk menemui tetangga saya, berkaitan dengan urusan pekerjaan. Nah, tetangga saya ini rupanya sedang pergi, tapi dia sudah menjanjikan lewat telepon untuk segera pulang, untuk menemui X. Karena X merasa tetangga saya masih cukup lama pulangnya, maka dia memutuskan untuk mampir ke tempat saya, sambil menunggu kedatangan orang itu.

“Nggak enak terlalu lama di rumahnya,” ujar X menjelaskan. “Di rumah hanya ada istrinya. Rasanya nggak sopan kalau aku berlama-lama di sana.”

Saya memang mengenal X sebagai cowok yang salih. Dalam arti dia memang selalu berusaha menjalani hidup dengan bersih dan lurus—bahkan untuk hal-hal yang bagi orang lain mungkin masih dapat dianggap “wajar”. X adalah sosok manusia yang benar-benar memiliki integritas, dan siapa pun yang mengenalnya pasti akan sepakat dengan hal itu.

Jika ada orang yang bisa diberi suatu amanat dan dia benar-benar menjaganya dengan sepenuh kejujuran, maka X adalah salah satunya. Jika ada orang yang bisa diberi tugas dan kemudian mengerjakannya dengan penuh tanggung jawab, maka X akan menjadi salah satu kandidat. Orang selalu suka kepada X, karena dia manusia yang benar-benar bermoral—orang Indonesia yang benar-benar mengamalkan Pancasila.

Saya pun suka kepada X, bukan hanya sebagai kawan, tetapi juga sebagai sesama manusia. Jika suatu rahasia dipercayakan kepada X, maka para malaikat akan menyaksikan rahasia itu tetap menjadi rahasia. Siapa pun akan senang berkawan dan bersahabat dengan orang semacam X. Dia tidak pernah melanggar janji, tidak pernah mengkhianati kepercayaan, dan selalu berupaya menjalani hidup dengan lurus dan penuh kejujuran. Orang yang bersih, itulah dia.

Sambil kami bercakap-cakap waktu itu, X bertanya, “Sori, di dapurmu ada minuman sekarang?”

“Uh…” saya menjawab dengan bingung. “Kamu tahu, ini…”

“Ya, ya,” dia menyela dengan senyum yang empatik, “aku tahu mungkin kamu belum bikin teh sekarang, karena kamu mungkin puasa. Tapi, jujur, aku nggak puasa, dan aku perlu minum karena haus sekali. Ada air putih?”

“Ada,” jawab saya akhirnya. “Di dapur juga ada air panas dalam termos—kalau kamu ingin bikin kopi.”

Teman-teman saya biasa membuat minuman sendiri di dapur rumah saya, khususnya kalau kebetulan saya lagi malas melayani tamu. Karenanya, X pun dengan santai pergi ke dapur, dan tak lama kemudian tercium aroma kopi capuccino saat dia kembali ke ruang depan, dengan membawa gelas yang mengepulkan asap halus.

Menyaksikan orang menikmati kopi capuccino selagi kau masih berpuasa, pastilah merupakan godaan yang besar—dan itulah yang saya rasakan waktu itu. X sepertinya tahu perasaan saya, dan dia pun berkata, “Aku pasti tampak seperti iblis, ya?”

Saya tidak bisa menahan tawa.

Setelah menikmati kopinya, X kembali berujar, “Yeah, aku memang nggak puasa—jarang. Biasanya, kalau lagi bulan puasa kayak gini, aku hanya puasa beberapa hari. Biasanya pas awal bulan dan akhir bulan.”

Dia kembali menghirup kopinya, lalu melanjutkan, “Mungkin ini terdengar seperti apologi. Tapi, secara lahir aku memang nggak puasa, meski secara batin aku tetap berpuasa.”

“Apa maksudnya, pal?” tanya saya dengan idiot. “Kalau kamu makan dan minum selagi orang lain berpuasa, tetap saja kamu nggak puasa, kan?”

“Ya, secara lahir.” X menjawab. “Tubuhku memang tetap mengonsumsi segala sesuatu yang diharamkan selama puasa—aku tetap makan dan minum. Tapi secara batin, aku benar-benar menjaga hati dan pikiranku dari hal-hal yang diharamkan—baik selama puasa ataupun di luar bulan puasa. Setiap kali ada pikiran yang jelek, aku selalu berusaha menghilangkannya. Setiap kali muncul prasangka yang nggak baik, aku berupaya mengenyahkannya. Setiap kali muncul kesempatan untuk berbuat sesuatu yang buruk, aku selalu menjaga agar nggak melakukannya. Dan, kamu tahu, sejujurnya itu lebih berat bagiku dibanding hanya sekadar menahan keinginan makan dan minum.”

Saya berkata dengan bingung, “Kamu aneh…”

“Sama sekali nggak aneh, menurutku,” jawab X. “Ini sama wajarnya dengan orang-orang lain yang tubuhnya berpuasa—tetapi hati dan pikirannya tetap makan dan minum.”

Kalau saja orang yang mengatakan kalimat itu adalah orang yang biasa nge-drug atau biasa berbuat maksiat, saya pasti akan menertawakannya. Kalau saja yang mengucapkan kata-kata itu adalah orang yang saya tahu brengsek, saya pasti akan menjawab dengan penuh ketidakpercayaan. Tetapi, kali ini, yang menyatakan kata-kata “bijak” itu si X, orang yang jelas-jelas saya tahu menjalani hidupnya dengan lurus, dengan baik, dengan sepenuh kejujuran dan integritas. Apa yang dia katakan adalah memang apa yang dia lakukan. Dia adalah salah satu orang “paling bersih” yang saya kenal.

Karenanya, ketika dia dengan tanpa dosa menghirup kopi di depan saya, dan kemudian mengeluarkan “fatwa” semacam itu, saya tak berani membantahnya. Bahkan, tiba-tiba, saya seperti dipaksa untuk menengok diri sendiri, dan saya mendapati sepertinya saya tidak lebih baik dari X, meski waktu itu saya berpuasa sementara dia tidak.

Sebagai muslim, saya berpuasa, karena memang bulan puasa—dan puasa memang merupakan kewajiban. Tetapi, jika saya mau jujur kepada diri sendiri, hanya tubuh saya yang berpuasa—tetapi hati dan pikiran saya kadang-kadang tidak. Saya masih mudah berprasangka jelek kepada orang lain, mudah marah oleh hal-hal kecil, mudah meledak dan mencaci-maki karena kesal oleh sesuatu, tidak sabaran, juga masih saja menyimpan hal-hal buruk—baik dalam hati maupun dalam pikiran—meski di siang hari saya tetap kelaparan dan kehausan.

Dan, tiba-tiba saya juga menyadari, bahwa X memang benar—bahwa menahan lapar psikis itu jauh lebih berat dibanding menahan lapar fisik. Menahan haus dahaga pikiran itu jauh lebih sulit dibanding menahan haus dahaga karena kepanasan.

Siang itu, saat duduk di hadapannya, saya merasa mendapat pelajaran baru tentang arti puasa sesungguhnya. Dan saat menyaksikannya menghirup kopi di depan saya yang sedang berpuasa, entah mengapa, saya merasa tidak lebih baik dibanding dirinya.

 
;