Ah, ya, bagian itu memang yang paling menggoda… dan menggairahkan.
—Maria Ozawa, dalam majalah Apple (Japan Edition)
Satu dekade yang lalu, wacana seksualitas dunia dihebohkan oleh sesuatu yang disebut G-Spot, yang konon merupakan puncak kenikmatan dan penemuan paling dahsyat menyangkut seksualitas manusia, dan titik balik yang mengubah cara kita bercinta. G-Spot adalah sebuah zona di dalam vagina yang memiliki tingkat kepekaan seks luar biasa, sehingga seorang wanita dapat “terbang” ke tujuh lapis langit jika zona tersebut mendapat sentuhan yang tepat.
Orang yang pertama kali menemukan keberadaan zona tersebut adalah dokter sekaligus pakar seksualitas bernama Dr. Grafenberg, sehingga zona atau titik itu pun disebut G-Spot, yang merupakan singkatan atas namanya—Grafenberg Spot. Wacana G-Spot melengkapi wacana multi-orgasme, yang sebelumnya menjadi “wacana paling panas” seputar “gelinjang di ranjang cinta”.
Atas ribut-ribut soal G-Spot itu pula, tiga pakar seks dunia, Alice Kahn, Beverly Whipple, dan John D. Perry, mengupas tuntas soal G-Spot tersebut dalam buku karya mereka, berjudul “The G-Spot and Other Recent Discoveries about Human Sexuality”. (Kalau kepalamu tidak ingin pusing campur pening, sebaiknya jangan baca buku ini. :D)
Tetapi ribut-ribut tentang G-Spot ataupun multi-orgasme, dalam pandangan saya, tidak lebih dari wacana ala mahasiswa idealis. Artinya, wacana itu hebat dalam konsep, tetapi tidak mudah diaplikasikan—bisa karena kurangnya pengetahuan, situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan, ataupun karena hal lainnya. G-Spot ataupun multi-orgasme, mungkin hanya dapat dipraktikkan oleh orang-orang yang memang “punya banyak waktu” untuk urusan seks.
Giacomo Casanova adalah playboy paling terkenal sepanjang sejarah, karena bisa mengencani 2.415 wanita. Sementara pemain basket Amerika, Wilt Chamberlain, mengakui sendiri telah “tidur” dengan 20.000 wanita. Bintang bokep terkenal, Ron Jeremy, telah berhubungan seks dengan 4.000-an wanita. Sementara Hugh Hefner, bos sekaligus pendiri perusahaan Playboy, telah—menggunakan istilahnya sendiri—“bercinta” dengan ratusan wanita dari berbagai usia.
Contoh-contoh di atas dapat digolongkan sebagai “orang yang memiliki banyak waktu untuk urusan seks”, dan tidak menutup kemungkinan orang-orang semacam itu telah mampu mempraktikkan apa yang disebut multi-orgasme ataupun menemukan zona misterius dalam tubuh wanita yang disebut G-Spot. Tetapi mereka bukan kasus umum, dalam arti kebanyakan orang tidak memiliki waktu sebanyak mereka untuk urusan seks semata.
Dalam kultur umum, seks memiliki batasan-batasan tertentu, khususnya dalam batasan waktu dan tempat, pengetahuan dan pengalaman, bahkan batasan adab serta agama. Pada kasus tertentu, bahkan seks dibatasi dengan kemampuan melakukannya. Di dalam batasan-batasan itulah, wacana sekaligus pengetahuan seksualitas kebanyakan orang pun hanya “dari itu ke itu”. Mintalah seseorang untuk menyebutkan bagian apa saja yang menarik dalam seks, maka kita dapat meramalkan jawabannya.
Tetapi itu hal yang wajar, dan tidak masalah, karena hubungan seks (memang) tidak membutuhkan banyak intelektualitas atau pengetahuan—ia lebih membutuhkan banyak pengertian. Dan, tentu saja, kenikmatan serta kepuasan bersama. Tak peduli sehebat apa pun pengetahuan seseorang tentang G-Spot ataupun multi-orgasme, pengetahuan itu sia-sia jika hubungan seks hanya memberikan kenikmatan untuk satu pihak.
Selain untuk tujuan berketurunan, kita tahu bahwa hubungan seks juga dilakukan untuk rekreasi, membangun keintiman, dan merasakan kenikmatan. Itulah kenapa hubungan seks dikonotasikan sebagai “bercinta” atau making love. Dalam konteks itu, benda kecil-mungil-misterius yang disebut klitoris memiliki peran penting—dan karena hal itu pula yang sekarang membuat saya pusing.
Lanjut ke sini.