Kamis, 15 Desember 2011

Rembulan Luka

Untuk Shirley Ardell Mason

Di sini sungai mengalir, langit membisu, dan gunung memuntahkan amarahnya. Di sini hati berdetak, rahasia tersingkap, dan kegelapan adalah leret cahaya. Pada kesunyian hidup, luka dan amarah tak terkatakan.

Aku bersimpuh di makammu sekarang, membayangkanmu, merenungkan perjalanan hidup yang harus kautempuh, hari-hari yang kaulewati, malam-malam penuh tangis dan kebingungan, hingga ajal menjemputmu, melepaskanmu dari semua derita, derita, derita...

Pertama kali mendengar kisah tentangmu, bertahun-tahun lalu, aku tahu kapan pun waktunya akan menziarahi makammu. Dan kini aku di sini, menatap tempat peristirahatan terakhirmu yang dilupakan, dengan setangkai anyelir, dengan hati yang berduka, dengan catatan kesedihan yang membayang di cakrawala.

Hidup adalah angin di antara rahang dan taring serigala, itu yang selalu kubayangkan. Seseorang menarikmu dari kesunyian yang nyaman, dan kau kemudian dilahirkan. Tanpa kauminta, tanpa kauinginkan. Kau lahir ke dunia asing yang tak kaupahami, tempat tangan-tangan lembut seharusnya menyentuhmu dengan kasih. Tapi kadang tangan-tangan lembut itu tidak kautemukan, dan kau justru menemukan tangan-tangan penuh api.

Bayi-bayi yang menangis karena dipaksa keluar dari kehidupan mereka yang lembut dan nyaman, untuk kemudian disakiti, dilukai, di sebuah dunia asing penuh amarah dan kemurkaan, tempat luka dan darah menjadi bagian dari peradaban.

Di tengah keramaian dan kebisingan dunia asing itu, kau tercampakkan, dilupakan, hingga terasing seperti rembulan di langit, sendirian menangisi hidup, menanggung luka yang tidak kaupahami. Dunia yang tidak kauinginkan telah mencampakkanmu, kehidupan yang tidak kauharapkan telah menyakitimu. Dan luka-luka itu begitu dalam, menggoreskan darah yang membutuhkan tahun-tahun panjang untuk mengering.

Pada luka, pada kerinduan, kau terasing.

Tidak ada yang memahamimu, bahkan orang yang telah menarikmu dari rahim keheningan, untuk kemudian melemparkanmu dalam dunia penuh kemurkaan. Bagi peradaban manusia kasatmata ini, kau adalah kutukan, dan mereka tak pernah sekali pun merenungkan bahwa merekalah yang menyebabkanmu lahir dalam keberadaan.

Dan kau tumbuh, besar, untuk kemudian menjadi manusia seutuhnya. Tetapi alam semesta tahu, kau tidak utuh. Ada bagian dalam dirimu yang terluka, berdarah dan bernanah, menjadi bukti yang terpahat abadi atas kejahatan dan kegelapan yang dapat terjadi dalam dunia manusia. Lalu dunia berteriak dengan angkuh, “Jadilah dirimu sendiri!

Dan kau menjawabnya dengan tangis, “Diriku yang mana?”

Oh, well, dirimu yang mana, karena kau memiliki enam belas diri yang terpecah menjadi serpihan-serpihan luka. Kata-kata itu menjadi kutukan bagimu, tetapi dunia tak pernah dapat memahamimu. Kau meradang, terasing, menangis sendirian di kegelapan langit, seperti rembulan luka.

....
....

Betapa panjangnya tahun. Kau merasakan panjang tahun di antara kebingungan, jeritan-jeritan dalam sunyi, dan kau berganti. Alam semesta menangisimu, tetapi peradaban manusia mencampakkanmu, dan menganggapmu kutukan, tanpa pernah menyadari bahwa mereka sendirilah yang melahirkan kutukan itu. Hidup adalah angin di antara rahang dan taring serigala.

Bagiku, hidup adalah jalan panjang menyatukan rahasia untuk menjemput takdir. Bagimu, hidup adalah jeritan panjang menyatukan dirimu yang terpecah dalam kemarahan. Selalu ada dasar neraka di balik kegelapan yang bisu, api membara yang terkunci dalam ketertindasan. Api itu menyala dalam dirimu, tanpa seorang pun tahu, dan api itu menciptakan badai siksa tak terkatakan.

Kau yang pertama, tetapi bukan yang terakhir. Bertahun-tahun setelah kematianmu, dunia yang tua ini masih terus melahirkan bayi-bayi lain untuk disakiti, untuk dilukai, untuk dicampakkan dan dilupakan. Mereka menangisi semua yang kautangisi, merindukan semua yang kaurindukan. Bayi-bayi yang sama, anak-anak yang sama, luka-luka dan derita yang sama.

Aku menyatakan ini tidak untuk mengganggu istirahatmu, aku menyatakannya untuk menunjukkan kepada dunia bahwa peradaban umat manusia belum juga belajar dari sejarahnya sendiri. Mereka masih menilai diri paling benar, paling tinggi, paling mulia, sehingga merasa dapat melakukan apa pun, termasuk merusak kemurniannya sendiri.

Kemarin aku menapaktilasi langkahmu, saat kau masih hidup, tempat kau menatap dunia yang tak kaupahami. Di bawah langit yang sama, aku membayangkan kau pernah melangkah di sana, mengunjungi sahabat terbaikmu, untuk kemudian menyatukan serpihan-serpihan yang terserak di dalam dirimu. Lalu kau mengutuh, seutuh ketika pertama kali lahir, dan kau hidup, sehidup seharusnya kelahiranmu.

Kini kau telah pergi, kembali pada kesunyian dan keabadian tempatmu dulu berasal, namun nama dan kisahmu telah menjadi bagian sejarah peradaban manusia, meski mereka berusaha menghapusnya, menyangkalnya, melupakannya.

Alam semesta tidak akan pernah melupakanmu, dan ia akan menjadi saksi tentang kapan dunia sampai pada titik kesadaran untuk mulai belajar, untuk tidak lagi merenggut bayi-bayi tak berdosa dari kedamaian mereka, hanya untuk dilukai dan dicampakkan.

Selamat beristirahat, Shirley. Kau layak mendapatkan waktu istirahatmu, setelah perjuangan panjang penuh luka yang telah kaujalani, dan pertempuran dalam sunyi yang telah kaumenangkan. Semoga waktu istirahat itu cukup untuk menghapus semua luka pada rembulan di hatimu.

 
;