Minggu, 25 Desember 2011

Satu Wanita, Tiga Lelaki

Mungkin misi mereka yang mencintai umat manusia adalah untuk membuat
orang menertawakan kebenaran, untuk membuat kebenaran tertawa,
sebab satu-satunya kebenaran terletak dalam belajar membebaskan diri kita
dari kegandrungan gila-gilaan kepada kebenaran.
Umberto Eco


Tiga orang lelaki memiliki impian yang sama—menemukan seorang wanita yang namanya telah lama mereka dengar sejak masa kanak-kanak. Hanya saja, ketiganya memiliki definisi berbeda tentang nama wanita itu, berdasarkan yang mereka dengar dan pahami dari leluhurnya.

Lelaki pertama berasal dari Utara, dan sejak kecil mendengar leluhurnya menyatakan, “Nak, hidupmu akan lebih berarti setelah kau menemukan seorang wanita bernama Naja.”

Lelaki kedua lahir di daerah Barat, dan dia sudah hafal dengan pesan serta wasiat para leluhurnya yang cerdas, yang menyatakan pentingnya menemukan seorang wanita bernama Najia.

Sementara lelaki ketiga tinggal di daerah Timur, dan dia selalu mengingat-ingat salah satu misi hidupnya, yakni menemukan seorang wanita yang selalu didengungkan para leluhurnya, bernama Najana.

Masing-masing lelaki dari tiga belahan bumi itu mendengar tentang wanita yang sama, tetapi mereka mendengar nama yang berbeda. Hanya satu hal yang sama mereka ketahui, yakni bahwa wanita bernama Naja atau Najia atau Najana itu ada di daerah Selatan.

Jadi ketiga lelaki yang tidak saling tahu dan tidak saling kenal itu pun pergi meninggalkan tanah kelahirannya, dan menuju ke Selatan demi misi hidupnya.

Seiring perjalanan waktu, ketiga lelaki yang asing satu sama lain itu pun berjumpa di perbatasan daerah Selatan. Mereka saling berkenalan, dan akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan bersama setelah mengetahui misi mereka sama. Hanya saja, sesuatu yang masih mengganjal dalam benak dan hati mereka adalah nama si wanita.

“Jadi, kau juga ingin menemukan Naja?” sapa lelaki dari Utara pada dua teman asingnya.

“Naja? Bukankah namanya Najia?” sahut lelaki dari Barat.

Lelaki dari Timur menyatakan, “Setahuku namanya bukan Naja ataupun Najia, tetapi Najana. Itulah yang dikatakan leluhurku sejak zaman dulu.”

Perbincangan itu berhenti sampai di situ, tetapi ketiganya masih menyimpan rasa penasaran dan ketidakpuasan di hatinya masing-masing. Bertiga mereka melangkah pergi, mencari wanita misterius itu, dan jarak mereka pun semakin dekat dengan tempat yang telah disebutkan leluhur mereka atas keberadaan wanita yang mereka cari.

Tiba-tiba lelaki dari Utara nyeletuk, “Uh, mungkin leluhur kalian keliru menyebut namanya. Setahuku, yang benar, nama wanita itu Naja.”

“Bagaimana bisa?” sahut lelaki dari Barat. “Leluhurku adalah orang-orang cerdas—mereka tidak mungkin keliru. Validitas sebuah nama bagi kami setara dengan validitas sebuah takaran timbangan. Tak ada selisih lebih dan kurang. Jadi leluhurku tak mungkin salah. Nama wanita itu pastilah Najia.”

“Tunggu dulu,” ujar lelaki dari Timur sambil menatap lelaki dari Barat. “Kau boleh mengklaim kecerdasan leluhurmu. Tapi kalian hanyalah rumah tanpa isi jika tanpa leluhurku. Di tempat kamilah kearifan dan kebijaksanaan ditaburkan dan dituai. Jika validitas sebuah nama bagi kalian setara dengan takaran timbangan, maka bagi kami validitas sebuah nama setara dengan ukuran atom dalam molekul. Karenanya, leluhurku pasti tidak salah menyebut nama wanita itu, bahwa dia benar-benar bernama Najana.”

Melihat percakapan itu sepertinya akan mengarah pada perdebatan, lelaki dari Utara menengahi. “Maaf, ini salahku—akulah yang pertama kali meragukan kesahihan pesan leluhur kalian. Sekarang, kupikir, jangan-jangan wanita yang kita cari ini mungkin bukan wanita yang sama? Maksudku, mungkin memang ada tiga wanita yang memiliki tiga nama berbeda…”

“Tidak!” tukas lelaki dari Barat dengan tegas. “Jika merujuk pada ciri-ciri yang kita miliki—sebagaimana yang dipesankan leluhur kita—wanita yang kita cari memang wanita yang sama. Maksudku, hanya ada satu wanita yang sama-sama kita tuju. Tetapi, well, aku tidak tahu mengapa kita bisa berbeda dalam penyebutan namanya.”

“Aku sepakat denganmu,” ucap lelaki dari Timur. “Wanita yang kita cari dan kita tuju memang wanita yang sama—berdasarkan semua ciri yang telah kita ketahui. Tetapi aku juga tidak paham mengapa nama yang kita miliki berbeda-beda.”

Lelaki dari Utara terdiam, dan menimbang-nimbang. Hanya ada dua kemungkinan, pikirnya. Kemungkinan pertama, wanita yang mereka cari adalah wanita yang berbeda—atau kemungkinan kedua, nama-nama yang dibawa lelaki dari Barat dan Timur itu keliru. Lelaki dari Utara yakin seyakin-yakinnya kalau nama wanita itu Naja, sebagaimana yang disebutkan leluhurnya, dan ia tahu leluhurnya tidak akan salah.

Di tengah kebingungan ketiga lelaki itu, tiba-tiba mereka melihat sesosok wanita melangkah dengan anggun, seorang diri, ke arah mereka. Ketiga lelaki itu menyaksikan senyumnya yang merekah—dan, mereka sama-sama tahu bahwa itulah wanita yang mereka cari, bahwa itulah wanita yang telah membuat mereka rela menempuh perjalanan jauh demi untuk melihat dan menemuinya.

“Wanita itulah si Naja,” kata lelaki dari Utara dengan penuh takzim.

“Tidak,” sahut lelaki dari Barat, “itulah wanita bernama Najia yang dikatakan leluhurku.”

Lelaki dari Timur berkata, “Tak peduli apa pun kata kalian, bagiku dialah Najana, wanita yang telah membuatku sampai di tempat ini. Dia bukan Naja atau Najia, dia Najana.”

Ketiga lelaki itu masih akan terus berdebat mempersoalkan nama si wanita, tetapi ketiganya segera bungkam begitu si wanita sampai di hadapan mereka. Biarlah wanita itu sendiri yang akan menyebutkan namanya, pikir ketiga lelaki itu, dan setelah itu akan terlihat siapa yang benar dan siapa yang salah.

“Aku tahu kalian mencari-cariku,” sapa wanita itu dengan senyumnya yang cemerlang. “Selamat datang di Tempatku.”

Dengan antusias, lelaki dari Barat berkata, “Jadi, benarkah namamu Najia?”

“Kau pasti Naja,” ujar lelaki dari Utara pada si wanita, “benar, kan?”

Dan lelaki dari Timur segera menyatakan pendapatnya, “Apa pun yang dikatakan dua temanku ini, kita tahu mereka keliru. Kau pasti Najana, wanita yang selama ini dipesankan oleh leluhurku.”

Wanita itu menggelengkan kepalanya dengan senyum penuh kasih. “Tidak, tidak. Kalian sama-sama benar. Ada orang yang menyebut namaku Naja, Najia, juga Najana. Akulah yang selama ini kalian cari, dan kalian telah menemukanku—tak peduli dengan apa pun namaku dikenal oleh kalian.”

....
....

Seharusnya, kenyataan itu patut disyukuri oleh ketiga lelaki itu—karena mereka telah menemukan sesuatu yang mereka cari selama ini. Wanita inilah yang telah membuat mereka menempuh perjalanan jauh, demi untuk menemukannya—dan sekarang mereka telah menemukannya.

Tetapi, ketiga lelaki itu justru tidak puas. Ada yang salah di sini, pikir mereka. Tidak mungkin satu wanita memiliki tiga nama yang berbeda. Lebih dari itu, mereka sama-sama lebih mempercayai apa yang dikatakan leluhur mereka dibanding apa yang dikatakan wanita asing itu. Jika wanita itu memang memiliki tiga nama yang berbeda, maka mestinya leluhur mereka telah menyatakan fakta itu. Jadi wanita ini pasti penipu.

Kemudian… entah bagaimana awalnya, ketiga lelaki itu mencabut pedangnya, dan membunuh wanita itu. Mayat wanita itu pun terkapar di tanah, sementara darahnya berceceran di atas bumi.

Setelah itu, ketiga lelaki tadi melanjutkan perjalanannya, demi tujuan menemukan wanita yang dipesankan leluhur mereka. Dan, tanpa mereka tahu, wanita yang mereka cari-cari itu kini telah terbujur kaku dengan darah berceceran di belakang langkah-langkah mereka....

 
;