Minggu, 25 Desember 2011

Akulah Sang Kebenaran

Tak ada manusia yang paling kutakutkan selain mereka yang
mereguk kebenaran dengan tergesa-gesa. Kebenaran yang tak ditimbang-
timbang. Kebenaran beku. Kebenaran yang hanya rindu bentuk rindu rupa,
dan karena itu sangat mengerikan. Aku takut dengan itu.
Jalaluddin Rumi


Kepala itu tertebas dari tubuhnya, dan darah memuncrat ke udara. Tetapi, sebelum jatuh ke tanah, kepala itu tertawa, menertawakan orang-orang yang telah menebas lehernya hingga terpisah dengan tubuhnya.

Syeh Siti Jenar atau Syeh Lemah Abang dipancung karena menganggap dirinya representasi Tuhan, bahwa Tuhan ada di dalam dirinya, bahwa dirinya adalah Tuhan. Namun dia bukanlah satu-satunya orang yang mengalami tragedi semacam itu. Al-Hallaj juga dipancung karena menyatakan dirinya Sang Kebenaran, ketika dia berteriak, “Ana al-Khaq…!”

Dan sama seperti Syeh Lemah Abang, kepala Al-Hallaj pun berputar di udara, kemudian menertawakan para pemancungnya.

“Kebenaran” yang dinyatakan Al-Hallaj maupun Syeh Lemah Abang bukanlah kebenaran personal yang menggunakan huruf ‘k’, melainkan kebenaran mutlak (absolut truth) yang menggunakan huruf ‘K’. Dan karena klaim atas kebenaran mutlak itulah kepala mereka dipenggal dari tubuhnya.

Tetapi, kalau kebenaran yang diklaim Al-Hallaj maupun Syeh Lemah Abang dianggap sebagai kesalahan, lalu kebenaran siapakah yang bisa dianggap sebagai benar?

Apakah para pemancung kepala mereka bisa dianggap benar dan mewakili kebenaran mutlak sehingga merasa punya hak untuk menyatakan bahwa itu benar dan ini salah? Apakah orang-orang yang menyatakan bahwa orang lain salah mewakili atas kebenaran yang dibenarkan? Dan di atas semuanya itu, kebenaran siapakah yang berhak menyatakan bahwa kebenarannya adalah benar, sementara kebenaran orang lain adalah salah...?

Terlepas dari perspektif teologi ataupun logika teosofi, saya lebih memilih untuk memahami apa yang dilakukan Al-Hallaj ataupun Syeh Lemah Abang dengan perspektif psikologi, bahwa apa yang mereka lakukan sesungguhnya adalah bentuk sindiran keras terhadap ego manusia.

Ketika kepala mereka berputar dan tertawa, sementara darah memuncrat ke udara, sesungguhnya mereka tengah menertawakan ulah kita, bahwa kalau kau memenggal kepalaku karena aku menyatakan kebenaran yang menurutku benar, maka kau pun tak jauh beda denganku.

Al-Hallaj ataupun Syeh Lemah Abang adalah martir bagi besarnya ego manusia atas klaim kebenaran.

Kita begitu rapuh dalam meyakini kebenaran, dan kemudian menghancurkan siapa pun yang mencoba menggoyang keyakinan kita atas kebenaran yang kita yakini. Kita tak yakin atas kebenaran kita sendiri, sehingga begitu ketakutan ketika ada orang lain yang menyatakan kebenarannya. Kita mengklaim bahwa kitalah satu-satunya pemilik sah atas kebenaran yang mutlak, sehingga mudah menudingkan jari kepada orang lain dan menganggap siapa pun yang tak sama dengan kita adalah salah.

Kita begitu meyakini bahwa surga hanya milik kita, sehingga siapa pun yang berbeda dengan kita beralamat di neraka. Kita terlalu tinggi hati sehingga tak bisa menerima kebenaran lain tanpa sempat menyangsikan apakah kebenaran yang kita yakini sudah benar. Kita mudah memenggal leher orang lain hanya karena mereka meyakini kebenarannya sendiri.

Lalu apa bedanya kita dengan Al-Hallaj dan Syeh Lemah Abang...?

Kalau kita memenggal kepala mereka dengan alasan karena mereka menganggap dirinya sebagai kebenaran dan kita tersinggung dan marah karenanya, sekali lagi, apa bedanya kita dengan mereka...??? Bukankah kita juga menganggap diri sebagai kebenaran, bahkan kebenaran yang mutlak, sehingga merasa punya hak untuk memenggal kepala mereka...???

Manusia sering kali naif ketika berhadapan dengan kebenaran, dan kenaifan itu sudah menunjukkan bahwa sesungguhnya kita belum tentu benar. Kesombongan apakah yang lebih sombong selain ketika meyakini diri sendiri sebagai benar dan yang lainnya adalah salah? Keangkuhan apakah yang lebih angkuh selain menganggap kebenaran hanya miliknya, dan orang lain salah semua?

Jika Tuhan berteriak bahwa siapa pun yang masih menyimpan kesombongan sebesar biji sawi diharamkan masuk surga, pantaskah mengharapkan surga hanya dengan berbekal kebenaran yang angkuh ini...? Masih layakkah menganggap diri patuh kepada Tuhan dengan memikul kebenaran yang sombong ini...???

Akulah Sang Kebenaran!

Kita meneriakkan mantra itu berulang-ulang ketika menghadapi sesuatu yang berbeda, dan kita takut karenanya. Dan untuk menutupi rasa ketakutan atau bahkan kepengecutan itu, kita pun menggunakan topeng pengakuan kebenaran sebagai tameng atas ulah kita untuk memenggal kepala siapa pun yang kita anggap berbeda dan tak sama dengan kebenaran kita.

Akulah Sang Kebenaran!

Kita menyanyikan lagu indah namun palsu itu, ketika ingin menutupi rasa rendah diri atas kepercayaan kepada kebenaran yang kita yakini sendiri, dan kemudian memilih untuk menebas batang leher siapa pun yang mencoba bersaing dengan diri kita, daripada mencoba berusaha dan belajar untuk bertoleransi.

Akulah Sang Kebenaran!

Kita begitu kukuh bahkan angkuh saat meneriakkannya, namun kemudian di balik kegelapan yang paling gelap di dalam jiwa kita, ada sesuatu yang mengusik-usik yang membuat kita terus-menerus bertanya-tanya kepada diri kita sendiri tentang kebenaran yang kita yakini.

Dan... sementara kita masih juga meragukan kebenaran yang kita pegang dengan teguh, kukuh, bahkan angkuh itu, kita pun terus bergerak memenggal leher siapa pun yang berbeda dengan kebenaran yang kita ragukan sendiri...

Alangkah malangnya kebenaran...!

 
;