Jumat, 09 November 2012

Surga Ada di Bawah Telapak Kaki Penjual Batagor (2)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Nah, yang paling membuat hati saya “teriris” adalah ekspresi si anak perempuan, ketika hal semacam di atas terjadi. Sering kali, setelah selesai makan batagor, saya bertanya pada ibu penjualnya, “Berapa, Bu?”

Lalu ibu itu akan menetapkan harga yang “dibulatkan” seperti biasa. Saya tahu sedang dibohongi, dan rupanya si anak perempuan penjual batagor itu juga tahu ibunya sedang berbuat tidak jujur. Saya hanya diam, dan membayar sejumlah yang diminta. Pada waktu itulah saya sering kali mendapati tatapan mata si anak perempuan yang kelihatannya terluka, namun tak berdaya.

Mungkin—dalam bayangan saya—anak perempuan itu tahu ibunya berbuat curang pada pelanggan. Dan dia tidak menyukai hal itu, namun tak bisa berbuat apa-apa—bisa karena tak berani menegur ibunya, bisa pula karena menyadari keluarga mereka memang membutuhkan tambahan pemasukan. Jadi dia pun diam saja, meski tatapannya jelas memperlihatkan tidak menyetujui perbuatan ibunya.

Itu kisah bertahun-tahun lalu, ketika saya masih sering datang ke warung batagor tersebut. Sampai kemudian, ketika aktivitas saya semakin padat dan makin sibuk, waktu untuk datang ke warung itu pun semakin berkurang. Dan makin hari saya makin jarang datang ke sana. Kalau sedang ingin menikmati batagor, saya pun memilih ke warung-warung yang cukup dekat.

Sampai suatu hari, saya membaca sebuah buku yang mengisahkan kejujuran seorang anak perempuan pada zaman Khalifah Umar bin Khattab. Kisahnya, Umar bin Khattab—yang waktu itu menjabat sebagai Khalifah—sering menyamar dan jalan-jalan di larut malam untuk mengetahui aktivitas rakyatnya.

Suatu malam, ketika sedang jalan-jalan di pinggiran kota, Umar bin Khattab tanpa sengaja mendengar percakapan seorang ibu penjual susu dengan anak perempuannya. Rupanya, ibu penjual susu itu berencana mencampurkan air ke dalam susu yang akan dijualnya, dengan tujuan agar jumlahnya makin banyak, hingga keuntungan yang didapatkan juga bertambah banyak.

Atas kecurangan ibunya tersebut, anak perempuannya menegur, “Ibu, itu tidak jujur, dan merugikan pembeli kita.”

Si ibu menyahut, “Ah, tidak ada yang tahu ini. Para pembeli tidak akan tahu susu ini bercampur air.”

“Mungkin mereka tidak tahu,” jawab si anak perempuan, “tetapi Tuhan tahu!”

Umar bin Khattab mendengar percakapan itu, dan hatinya bergetar. Ia pulang ke rumah, dan bertekad untuk menikahkan putranya dengan anak perempuan penjual susu tadi. Pada waktu itu Umar bin Khattab memiliki seorang putra, bernama Asim. Jika putra tersayangnya harus menikah dengan seorang perempuan, pikirnya, maka anak perempuan yang jujur tadi pastilah calon istri yang tepat.

Maka begitulah. Asim yang taat memenuhi permintaan ayahnya, dan ia menikah dengan gadis itu. Pernikahan itu kemudian melahirkan seorang anak perempuan bernama Laila, yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Kemudian, Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan, lalu melahirkan putra bernama Umar bin Abdul-Aziz... dan selanjutnya adalah sejarah paling memukau di Tanah Arabia.

Ketika dewasa, Umar bin Abdul Aziz menjadi tokoh terbesar pada zamannya. Ia telah menjadi Khalifah pada usia 36 tahun, dan pemerintahannya yang adil menjadikan Tanah Arabia sebagai negeri yang luar biasa kaya.

Di bawah pemerintahannya, tidak ada satu orang pun yang miskin, sehingga penduduk di sana kebingungan membayar zakat karena tidak ada orang yang layak menerimanya. Harta zakat yang menggunung dan berlimpah itu akhirnya digunakan untuk membiayai pernikahan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain, sehingga dapat dikatakan semua fasilitas dan kebutuhan rakyat dapat diperoleh secara gratis.

Selain menjadi pemimpin yang sangat hebat, tokoh besar yang merupakan cicit Umar bin Khattab itu juga sangat arif, penuh ketakwaan kepada Tuhan, jujur, rendah hati, menjalani kehidupan yang sangat sederhana, namun pejuang yang pemberani. Ia dihormati para sahabatnya, disegani para musuhnya, dicintai rakyatnya. Dan orang yang luar biasa itu terlahirkan ke dunia gara-gara Umar bin Khattab mendengar kejujuran seorang anak perempuan penjual susu.

….
….

Ketika membaca kisah itu, entah kenapa angan saya melayang kepada anak perempuan penjual batagor yang dulu biasa saya datangi. Maka, suatu siang ketika kebetulan ada waktu luang, saya pun pergi ke warung batagor tersebut. Tidak, saya tidak bermaksud menikahinya, karena belum tentu juga dia mau sama saya.

Warung batagor itu masih ada, tepat di tempat yang sama, seperti bertahun-tahun lalu. Namun, warung itu sekarang jauh lebih besar, lebih bagus, dan sepertinya juga lebih ramai. Saya pun masuk ke sana, dan memesan batagor seperti dulu.

Sambil menikmati batagor yang “maknyus” seperti bertahun-tahun lalu, saya memperhatikan ibu penjual batagor sekarang sudah tidak ada. Yang terlihat di sana adalah anak perempuannya, dan anak lelakinya, serta dua perempuan lain yang membantu melayani.

Si anak perempuan yang dulu saya lihat masih SMA, sekarang sudah dewasa. Cewek yang dulu terlihat unyu dan berseragam SMA itu sekarang telah menjelma menjadi perempuan matang. Dia pula yang sekarang memasak batagor, dan menyajikannya di piring, lalu dua pembantunya akan mengantarkan kepada pembeli yang menunggu.

Ketika saya masuk ke warung itu, sepertinya dia masih mengenali muka saya. Dan tersenyum. Dalam memorinya, mungkin dia masih ingat saya salah satu pelanggannya bertahun-tahun lalu. Kemudian, ketika saya akan membayar, dia pun mendekati tempat saya dan menjelaskan harganya. Dengan ramah dia menyebutkan harga seporsi batagor, harga sebotol minuman, dan total harga yang harus saya bayar. Saya tahu dia jujur.

Ketika perempuan itu kembali untuk menyerahkan uang kembalian, saya bertanya di mana ibunya. Dengan lirih perempuan itu menjawab, “Ibu sudah meninggal.” Kemudian, dengan suara yang makin lirih, ia berkata, “Mohon dimaafkan jika Ibu punya kesalahan.”

Saya tidak menjawab. Saya tidak mampu menjawab.

Ketika melangkah keluar dari warung batagor itu, sesuatu menghangat di dada saya. Bayangan ibu penjual batagor yang dulu sering saya lihat bertahun-tahun lalu berkelebat dalam angan… dan saya berharap, berdoa, untuk memaafkannya. Mungkin dia bukan penjual yang jujur, tapi Tuhan tahu ia pasti ibu yang baik, karena telah melahirkan anak perempuan yang jujur.

Dan jika memang surga ada di bawah telapak kaki ibu, saya pun yakin ibu penjual batagor memiliki karunia itu.  
 
 
;