Senin, 20 Februari 2023

Anak yang Menuntut Orang Tuanya ke Pengadilan

Seorang anak menuntut orang tuanya ke pengadilan, karena memusnahkan koleksi pornografi milik si anak (meliputi film, majalah, dan barang lainnya). Pengadilan lalu mengabulkan gugatan si anak, dan si orang tua harus membayar denda sekitar Rp629 juta.

Paul, ayah yang memusnahkan koleksi pornografi milik anaknya, menyatakan bahwa perbuatannya memusnahkan koleksi pornografi itu “demi kebaikan si anak”. 

Alasan itu pula yang dikatakan—atau setidaknya dipikirkan/dibayangkan—banyak orang tua lain saat melakukan apa pun pada anak.

“Demi kebaikan anak” mungkin terdengar mulia. Yang jarang kita pikirkan, “demi kebaikan anak” itu dari sudut pandang siapa? Sering kali hanya dari sudut pandang orang tua. Yang jadi masalah, orang tua tidak terjamin pasti benar; sesuatu yang mestinya cukup membuat mereka sadar.

Ada banyak orang tua menganiaya—bahkan sampai menyiksa, mempermalukan, merendahkan—anak, dengan latar dan alasan apa pun, dan alasannya “demi kebaikan anak”. Seolah anaknya tidak bisa diberi tahu secara baik-baik, hingga sampai dianiaya, disiksa, dan dipermalukan.

Terkait berita tadi—orang tua memusnahkan koleksi pornografi anaknya—kita perlu melihat konteks. Pertama, peristiwa itu terjadi di Amerika, negara yang melegalkan pornografi (misal majalah dan film dewasa). Karenanya, kita tidak bisa memakai kacamata warga Indonesia.

Kedua, “anak” yang ada dalam kisah tadi telah dewasa, sehingga telah memiliki hak untuk memilih sekaligus bertanggung jawab atas pilihannya. Karena dia tinggal di Amerika yang melegalkan pornografi, dia pun punya hak—sekaligus tanggung jawab—untuk memiliki/mengoleksinya.

“Tapi mengoleksi hal-hal begituan kan dosa!”

Dosa itu konsep agama, bukan konsep negara. Kalau kau sudah dewasa dan tinggal di Amerika, dan kebetulan juga ateis/agnostik, kau bisa mengoleksi pornografi, dan terbebas dari hukum negara sekaligus terbebas dari urusan dosa.


*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 29 Agustus 2021.

 
;