Lebih banyak dusta yang kita percaya karena dibungkus dengan indah,
dibanding kebenaran yang tampak lusuh.
Di antara banyak hal yang pernah saya baca, salah satu yang sangat mengerikan adalah dokumen yang merekam kasus-kasus kejahatan kemanusiaan pada era Soeharto (Orde Baru). Dokumen itu tidak terlalu tebal, tapi detail-detail di dalamnya sangat mengerikan.
Dokumen itu bukan milik saya, dan tidak beredar secara bebas. Saya mendapatkan dokumen itu dari seseorang—dari tangan ke tangan. Setelah selesai membaca, saya harus mengembalikan dokumen tersebut, karena ada orang lain yang akan membaca. Jadi, saya hanya membaca isi dokumen itu satu kali, tapi isinya terekam dalam ingatan. Saya telah membaca dokumen itu bertahun-tahun lalu—tidak lama setelah Soeharto jatuh—tapi masih bisa mengingatnya.
Seperti yang saya sebut di atas, dokumen itu berisi kasus-kasus kejahatan HAM pada era Soeharto, hingga kejatuhannya. Meliputi kasus GPK dan DOM di Aceh, kasus di Tanjung Priok, kasus kekerasan yang kemudian memecah PDI dan melahirkan PDIP, dan lain-lain menjelang masa reformasi serta jatuhnya Soeharto.
Dokumen itu disusun orang-orang yang melakukan berbagai investigasi dengan langsung turun ke lapangan, termasuk para wartawan. Mereka mengumpulkan data dan banyak fakta dari tempat-tempat peristiwa, mewawancarai para saksi dan orang-orang yang relevan, lalu menuliskannya secara runtut, detail, lengkap dengan foto-foto, bahkan bisa ditelusuri untuk dibuktikan. Dengan kata lain, dokumen itu otentik, meski para penulisnya tidak ada yang menyebutkan nama. Jadi, penyusun dokumen itu anonim.
Sebagian orang yang menyusun dokumen itu para wartawan yang bekerja langsung di lapangan. Karenanya, tulisan dalam dokumen itu pun sangat bagus, selayak reportase profesional.
Pertanyaannya, kenapa para wartawan itu tidak menyerahkan reportasenya ke surat kabar tempat mereka bekerja, agar hasil reportase itu diterbitkan surat kabar dan bisa dibaca banyak orang?
Jawaban untuk pertanyaan itu sangat rumit.
Pada masa lalu, khususnya saat Soeharto berkuasa, berbagai media massa—termasuk surat kabar—memang memberitakan banyak hal yang terjadi, termasuk kasus-kasus kekerasan semacam di Aceh, di Tanjung Priok, dan lain-lain. Tetapi, isi pemberitaan masa itu bisa dibilang “tidak jujur”, karena sumber berita yang diperoleh hanya dari pemerintah. Jadi, waktu itu, pemerintah ngomong apa, maka itulah yang muncul di media massa.
Pemerintah Soeharto sangat represif—mereka akan “menggebuk” media mana pun atau siapa pun yang mencoba main-main. Omong-omong, “gebuk” adalah istilah favorit Soeharto dalam mengancam lawan-lawan politiknya.
Sekadar ilustrasi, pada masa Orde Baru, sebuah majalah bisa menghadapi masalah hanya karena memuat kata “Seret” yang ditujukan kepada seorang pejabat (menteri). Ceritanya, waktu itu seorang menteri disinyalir bermasalah, dan sebuah majalah memuat berita berjudul “Seret Menteri Anu, bla-bla-bla...”
Cuma karena itu, si Menteri Anu mengancam akan menuntut majalah yang bikin judul tersebut. Menurutnya, seorang menteri tidak layak dilekati kata “Seret”, karena berkonotasi negatif dan kasar. Akhir cerita, majalah itu memutuskan untuk meminta maaf. Oh, mereka tentu terpaksa meminta maaf, daripada harus bermasalah dengan menteri zaman Orde Baru.
Jadi, kita bisa membayangkan berita-berita yang beredar di masa itu—khususnya yang berkaitan dengan kebijakan pemerintah—hanyalah omong kosong. Koran-koran di masa itu hanya memuat hal-hal yang dikatakan pemerintah. Jadi, kalau pemerintah ngemeng apa, maka itulah yang muncul di media massa. Para wartawan tidak punya kebebasan dalam menulis berita, khususnya yang terkait dengan kebijakan pemerintah.
Yang jadi masalah, tidak semua kebijakan pemerintah di masa itu baik dan positif. Seperti pemberlakuan DOM di Aceh. Ada banyak kasus kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Aceh selama DOM diberlakukan di sana. Selama bertahun-tahun, masyarakat Aceh hidup dalam kondisi ketakutan, bahkan tertindas, akibat wilayah itu dijejali militer yang didatangkan ke sana.
Indonesia tahu kebijakan DOM di Aceh. Jangankan Indonesia, bahkan dunia internasional pun tahu. Karenanya, media massa di Indonesia pun meliput DOM. Tetapi, seperti yang dinyatakan tadi, berita yang terkait dengan kebijakan pemerintah (termasuk DOM di Aceh) harus sesuai konfirmasi pemerintah. Pemerintah bahkan menjadikan ocehannya sebagai sumber resmi—satu-satunya pihak yang boleh dikutip.
Jadi, itulah yang kemudian muncul di media massa waktu itu. Terkait DOM di Aceh, misalnya, rata-rata media massa Indonesia hanya memberitakannya dengan positif, bahwa kebijakan itu “baik-baik saja”. Karena memang yang dimuat hanya sisi baiknya, yang diperoleh dari ocehan pemerintah. Tapi apakah memang kebijakan pemerintah Orde Baru baik-baik saja seperti yang mereka ocehkan?
Bagaimana pun, pada masa itu, ada banyak orang—termasuk wartawan—yang diam-diam turun langsung ke lapangan untuk mengetahui fakta-fakta sebenarnya. Mereka menggali fakta, mengumpulkan data, melakukan wawancara. Dan mereka mendapati bahwa ternyata ocehan pemerintah hanyalah bualan palsu. Kenyataan yang sebenarnya terjadi jauh berbeda dengan yang mereka dengar selama ini.
Saat melakukan investigasi langsung ke lapangan, orang-orang itu mendapati betapa mengerikan yang telah terjadi. Kejahatan kemanusiaan yang pernah terjadi di sana tidak pernah muncul di media massa, karena memang dihalangi dan ditutupi pemerintah. Saat fakta-fakta mengerikan itu terkumpul, mereka menghadapi dilema.
Di satu sisi, mereka memiliki kewajiban menyerahkan hasil investigasi kepada koran tempat mereka bekerja, agar bisa diterbitkan dan diketahui dunia. Tetapi, di sisi lain, mereka menghadapi ancaman yang mengerikan kalau sampai kenyataan mengerikan itu terungkap.
Di bawah represi Orde Baru, koran-koran bahkan tidak akan berani memuat berita berisi fakta-fakta yang telah terkumpul itu. Karena akhirnya bisa ditebak. Begitu berita itu muncul, media mereka akan mampus. Tidak menutup kemungkinan mereka juga akan ikut mampus. Jadi, umpama para wartawan menyerahkan hasil investigasinya kepada koran tempatnya bekerja, hasilnya juga percuma, karena koran mereka tidak akan berani memuat.
Tetapi kebenaran harus disampaikan, kenyataan harus dikatakan. Mereka menghadapi dilema. Mereka telah menemukan kebenaran, tapi tidak bisa mengatakannya.
Kalau saja dilema semacam itu terjadi di zaman sekarang, solusinya tentu sederhana. Unggah saja di internet, dan biarkan dunia membaca isinya.
Tapi waktu itu internet belum ada di Indonesia. Jadi belum ada blog, belum ada YouTube, belum ada sosial media, belum ada tetek bengek seperti yang kita kenal sekarang. Satu-satunya sarana untuk memuat tulisan di masa itu hanyalah kertas!
Karena kenyataan itulah, mereka lalu menuliskan reportasenya diam-diam, hingga terkumpul menjadi satu dokumen utuh. Dibutuhkan nyali luar biasa untuk melakukan hal itu. Karena, jika dokumen itu sampai bocor, nyawa taruhannya. Karena itu pula, orang (atau orang-orang) yang menyusun dokumen tidak ada yang menuliskan nama. Semuanya anonim. Tetapi, seperti yang disebut di atas, isi dokumen itu otentik.
Melalui dokumen itulah, saya tahu seperti apa sebenarnya kenyataan di Aceh, seperti apa sebenarnya kasus di Tanjung Priok, seperti apa sebenarnya kasus yang terjadi ketika Jakarta terbakar menjelang era reformasi, dan lain-lain. Peristiwa-peristiwa, tokoh-tokoh, hingga rahasia-rahasia. Semuanya jauh berbeda dari yang saya baca di koran-koran. Di dokumen itu, semuanya diungkap secara jelas, gamblang, runtut, detail, dan mengerikan.
Melalui dokumen tersebut, para wartawan yang menulisnya merasa telah “menebus dosa”. Sebagai pencari kebenaran, mereka tidak bisa menyembunyikan kebenaran yang mereka temukan. Mereka memiliki kewajiban untuk mengungkapkan kebenaran itu, agar dunia tahu. Tetapi karena mereka tidak mungkin mengatakan terang-terangan, mereka pun terpaksa melakukannya secara incognito. Mereka tetap menyatakan kebenaran yang mereka tahu, tetapi mereka tidak ingin orang-orang tahu siapa mereka.
Bahkan ketika era reformasi tiba, dan media massa bisa dibilang mendapat kebebasan untuk menulis apa saja, materi-materi dalam dokumen yang pernah saya baca tidak pernah muncul di koran mana pun. Semuanya masih tersembunyi, dan hanya diketahui orang-orang yang pernah membacanya.
Bertahun-tahun kemudian, menggunakan ingatan dalam pikiran, saya mencoba searching di internet, siapa tahu tulisan-tulisan di dokumen itu sekarang telah ada di internet. Sungguh menakjubkan, semua yang ada di dokumen itu tidak ada di internet! Jadi, siapa yang mengatakan internet tahu segalanya?
....
....
Selama berabad-abad, hal-hal semacam itu sebenarnya terus terjadi. Orang-orang menemukan kebenaran, dan memiliki kewajiban moral untuk menyampaikan, tetapi mereka berhadapan dengan sistem yang tidak memungkinkan mereka untuk mengatakan. Ketika itu terjadi, dilema moral pun dimulai.
Di satu sisi, mereka tahu kebenaran yang mereka temukan adalah kebenaran sejati, kenyataan yang sebenarnya, bukan kebenaran yang hanya berdasarkan satu versi. Tetapi, mereka tidak bisa mengatakan terang-terangan, karena kebenaran lain—dari satu versi—telah menjadi mayoritas, menjadi sistem, bahkan tirani.
Karena tidak mungkin melawan terang-terangan, mereka pun hanya menyampaikan kebenaran itu pada komunitasnya sendiri. Untuk menjaga kerahasiaannya, agar kehidupan mereka tidak terusik, mereka pun menggunakan aneka cara dan sarana yang tidak diketahui orang lain. Dari situlah kemudian muncul berbagai simbol, kode-kode, petunjuk-petunjuk samar, kerahasiaan, dan lain-lain, yang tujuannya hanya untuk menunjukkan sekaligus melindungi kebenaran sejati.
Karena mereka pun menyadari, manusia tak pernah bisa menghalangi matahari.