“Segalanya akan lebih mudah setelah ciuman,”
kata Lois Lane kepada Clark Kent.
Semua pasangan superhero memang selalu mbakyu.
Sebagai bocah, saya kerap bertanya-tanya, kenapa sepasang suami istri kerap memanggil satu sama lain dengan kata ganti yang digunakan anak mereka?
Maksud saya begini. Ada pasangan suami istri yang menggunakan panggilan atau kata ganti “Papa-Mama” untuk anak mereka. Jadi, anak mereka memanggil ayah dengan sebutan “Papa”, dan memanggil ibu mereka dengan sebutan “Mama”. Itu panggilan atau sebutan anak pada orangtuanya.
Yang membuat saya bertanya-tanya, kenapa pasangan suami istri tersebut juga saling memanggil satu sama lain dengan kata ganti yang sama? Si istri memanggil suaminya dengan sebutan “Papa”, dan si suami memanggil istrinya dengan sebutan “Mama”.
Biasanya, panggilan semacam itu dimulai setelah sepasang suami istri punya anak. Jadi, ada kemungkinan panggilan semacam itu dimaksudkan untuk mengajari si anak tentang “bagaimana cara memanggil ayah atau ibu mereka”.
Jadi, mungkin, di masa sebelum punya anak, sepasang suami istri saling memanggil nama, atau bisa pula si istri memanggil suaminya dengan sebutan “Bang” (atau panggilan lain), sementara si suami memanggil istrinya “Dik” (atau panggilan lain). Lalu, ketika mulai punya anak, mereka pun mengganti kata panggilan dengan kata ganti yang sama dengan panggilan si anak pada mereka.
Mungkin seperti itu.
Jadi, dalam hal ini, berubahnya panggilan antara suami-istri setelah punya anak adalah bagian dari upaya mengajari si anak tentang cara memanggil orangtua. Entah “Mama-Papa”, “Ayah-Ibu”, “Mami-Papi”, atau lainnya.
Tetapi, kalau saya perhatikan, suami-istri yang telah telanjur saling memanggil dengan kata ganti untuk anak, biasanya “keterusan” menggunakan panggilan yang sama, meski tidak di depan anak mereka. Lebih jauh, saya juga memperhatikan, ada semacam “kecanggungan” antara suami-istri untuk memanggil satu sama lain dengan panggilan yang semula mereka gunakan, dan akhirnya saling menggunakan panggilan “Mama-Papa” atau panggilan lain yang biasa digunakan anak mereka.
Di sebuah rumah makan, saya pernah menyaksikan sepasang pria-wanita yang makan berdua. Saya yakin mereka hanya berdua, tanpa anak atau tanpa siapa pun. Karena, sejak mereka duduk sampai selesai makan, mereka tetap berdua. Tetapi, ketika si wanita sedang membayar di kasir, dan mungkin butuh uang kecil, saya mendengar si wanita berkata pada pasangannya, “Pah, ada uang seribuan?”
Si pria mengecek dompetnya, lalu menjawab, “Tidak ada, Mah.”
Jadi, mungkin, pria dan wanita itu sepasang suami istri, dan mereka sudah punya anak yang biasa memanggil mereka “Papa-Mama”. Karena hal itu pula, mereka pun lalu saling memanggil dengan sebutan yang biasa digunakan anak mereka. Tetapi, karena panggilan itu sudah telanjur sering digunakan, mereka pun akhirnya tetap menggunakan panggilan itu, meski tidak ada anak mereka.
Ketika memikirkan kemungkinan itu, saya jadi senyum-senyum sendiri.
Ada pula pemandangan lain yang pernah saya saksikan, yang juga membuat saya senyum-senyum. Ada sekelompok wanita—ibu-ibu rumah tangga—ngerumpi di depan rumah tetangga. Sepertinya mereka ngerumpi dengan seru, hingga suara-suara mereka terdengar dari depan rumah saya.
Waktu itu, terdengar seorang wanita berkata, “Saya terpaksa nurutin, lah. Karena bapaknya anak-anak minta yang warna hijau.”
Lalu wanita lain mengatakan hal lain entah apa, yang redaksi kalimatnya tak jauh beda dengan itu, serta dengan frase, “bapaknya anak-anak”.
Saya bertanya-tanya sendiri, kenapa mereka tidak menggunakan sebutan atau istilah lain yang lebih enak didengar? Sepertinya, sebutan “suamiku” terdengar lebih ilmiah daripada “bapaknya anak-anak”. Begitu pula, sebutan “istriku” terdengar lebih akademis—dan lebih romantis—daripada “ibunya anak-anak”.
Tetapi, entah kenapa, saya lebih sering menemukan para wanita yang merasa canggung menyebut nama suaminya sendiri, sebagaimana halnya banyak pria yang tampaknya canggung menyebut nama istrinya sendiri.
Well, itu urusan mereka, sih, para suami-istri. Saya yang masih bocah ini tahu apa?
Cuma, gara-gara sering menemui fenomena semacam itu, saya jadi berpikir. Kelak, kalau saya punya seorang kekasih, dan kami telah memutuskan untuk menikah, saya akan mengajaknya bersepakat untuk tetap memanggil satu sama lain dengan nama yang biasa kami gunakan, dan tidak mengubah panggilan tersebut meski kami telah punya anak.
Jadi, umpama kami telah punya anak, dan anak kami memanggil orangtua dengan sebutan “Ayah-Ibu”, misalnya, saya akan tetap memanggil istri dengan panggilan sebagaimana yang biasa saya gunakan, begitu pula istri akan tetap menggunakan panggilan kepada saya sebagaimana yang biasa dia gunakan. Saya tidak akan memanggil istri saya dengan panggilan “Bu”, “Ma” atau semacamnya, sebagaimana istri juga tidak memanggil saya dengan sebutan “Yah”, “Pa”, atau semacamnya.
Karena saya khawatir. Jika kami mulai menggunakan panggilan semacam itu, lama-lama kami akan terbiasa. Dan setelah terbiasa, lama-lama kami akan canggung untuk memanggil satu sama lain dengan panggilan yang “normal”. Jika hal semacam itu sampai terjadi, saya pikir sangat aneh. Wong suami-istri kok saling canggung untuk menyebut nama pasangannya.
Dalam bayangan saya, kelak, kalau punya kekasih atau punya istri, saya akan memanggil dia dengan namanya. Terserah, dia mau memanggil saya bagaimana. Yang jelas, saya akan memanggil dia dengan namanya. Karena saya senang menyebut nama orang yang saya cintai. Jadi saya akan sering menyebut namanya, dan hanya akan memanggil dia dengan namanya.
Saat jatuh cinta pada seorang wanita, saya mencintai segala yang ada pada dirinya, termasuk namanya. Dan saat menyebut namanya, saya merasa senang. Bahkan mendengar namanya disebut orang lain saja, saya berdebar. Jadi, saya akan menyebut namanya, berkali-kali, sesering yang saya bisa, untuk menunjukkan perasaan cinta kepadanya.
Kelak, kalau istri saya bernama Stefani, misalnya, saya akan memanggilnya Stefani, bukan yang lain. Meski—umpama—kami telah punya anak sekali pun, saya akan tetap memanggilnya Stefani, bukan “Bu”, bukan “Ma”, juga bukan yang lain!
Tentu saja kami akan saling memanggil dengan tambahan “Sayang” atau semacamnya. Tetapi, yang jelas, kami TIDAK AKAN PERNAH memanggil dengan sebutan “Papa-Mama” atau “Ayah-Ibu” dan semacamnya.
Misalnya, saat kami bangun tidur di pagi hari, dan saya berkata pada istri, “Selamat pagi, Sayang.” Kedengarannya indah. Bahkan umpama saya berkata, “Selamat pagi, Stefani.” Tetap terdengar indah.
Tapi coba ganti kalimat itu menjadi, “Selamat pagi, Ma.” Kedengarannya kok membingungkan. Itu saya tidur dengan nyokap saya atau bagaimana?
Siang hari, saat saya lapar, dan istri tampak sedang sibuk di dapur, saya akan berkata kepadanya, “Stefani, Sayang, masak apa hari ini?” Kedengarannya indah. Dan akademis.
Tapi coba ganti kalimat itu dengan, “Buk, masak apa hari ini?” Kedengarannya seperti bocah pulang sekolah yang kelaparan, dan bertanya pada ibunya. Sama sekali tidak ilmiah!
Lebih parah lagi ketika malam hari.
Malam hari, saya bisa saja berkata kepada istri, “Stefani, aku ingin ndusel.”
Mungkin terdengar tidak ilmiah, dan tidak akademis. Juga tidak environmental—apa pun artinya.
Tapi cobalah ganti kalimat itu menjadi, “Ma (atau Bu), aku ingin ndusel.”
Kedengarannya lebih tidak ilmiah, dan lebih tidak akademis. Juga lebih tidak environmental—apa pun artinya.
Belum lagi kalau adegan itu dilanjutkan... ah, sudahlah. Makin tidak ilmiah dan makin tidak environmental.
Jadi, sebagai bocah, saya kerap bertanya-tanya, apa kira-kira yang dipikirkan atau dirasakan pasangan suami-istri, ketika mereka telah terbiasa memanggil satu sama lain dengan panggilan yang biasa digunakan anak untuk mereka? Apa yang mereka pikirkan dan rasakan, ketika keduanya telah saling canggung memanggil nama pasangan masing-masing? Atau jangan-jangan mereka tak pernah memikirkan hal itu?
Ada pasangan suami istri yang telah tua—mungkin usianya 60-an—bercakap-cakap di teras rumah. Anak-anak mereka sudah dewasa, dan tinggal di rumah sendiri bersama keluarga masing-masing. Pasangan suami-istri yang telah tua itu kini tinggal berdua di rumah. Tetapi, meski begitu, mereka masih memanggil satu sama lain dengan “Ayah-Ibu”, sebagaimana dulu saat anak-anak mereka masih kecil.
Jadi, ketika mereka mengobrol berdua di teras rumah, sang istri memanggil suaminya dengan sebutan “Yah” (maksudnya “Ayah”), sedangkan si suami menyebut istrinya dengan panggilan “Buk” (maksudnya “Ibu”). Itu salah satu contoh bagaimana suami-istri telah kehilangan kemampuan untuk saling memanggil nama masing-masing pasangan, karena telah terbiasa menggunakan panggilan itu, hingga akhirnya telanjur menggunakannya sampai renta.
Saya tidak ingin mengalami hal semacam itu, karena... well, sepertinya tidak environmental. (Sebenarnya saya tidak tahu environmental itu apa!)
Karena itu pula, jika kelak menikah, saya akan membuat perjanjian dengan istri, agar kami tetap memanggil nama masing-masing, terlepas punya anak atau tidak. Jadi, ketika kami telah menjadi kakek-nenek, dan bercakap-cakap di teras rumah menikmati senja, kami akan bercakap-cakap sambil menyebut nama masing-masing.
Mungkin, kelak, saat kami telah sama-sama renta, saya akan berkata kepadanya, “Aku bersyukur telah hidup bersamamu, Stefani. Puluhan tahun bersamamu adalah pengalaman terbaik yang kualami dalam hidup.”
Mungkin kalimat semacam itu tidak terlalu romantis. Tapi setidaknya masih terdengar ilmiah. Coba ganti kalimat itu menjadi, “Aku bersyukur telah hidup bersamamu, Ma. Puluhan tahun bersama Mama adalah pengalaman terbaik yang kualami dalam hidup.”
Kedengarannya seperti ucapan seorang anak yang berbakti kepada ibunya. Tidak ilmiah! Tidak akademis! Dan tidak enviromental!