Hidup kadang punya selera humor yang aneh. Mendatangkan
senyum dan syukur dengan cara diawali sesal dan kehilangan.
Sudah lama sekali, saya mengumpulkan uang receh. Sebenarnya tidak sengaja mengumpulkan, karena tidak ada niat. Cuma, sejak dulu, tanpa sadar saya menyisihkan uang-uang receh dari dompet, lalu saya kumpulkan di suatu tempat tersendiri. Kadang pas belanja atau beli sesuatu, uang kembalian dalam bentuk receh. Biasanya, sesampai rumah, saya keluarkan uang-uang receh itu dari dompet.
Selama ini pula, saya rutin membeli bawang goreng untuk kebutuhan makan sehari-hari. Bawang goreng itu dikemas dalam stoples berukuran sedang. Biasanya, saat makan, saya menaburi nasi dengan bawang goreng, agar lebih sedap. Ketika kumpulan uang receh di rumah tampak makin banyak, saya terpikir menggunakan stoples bekas bawang goreng untuk mewadahi uang receh yang mblarah-mblarah (tidak terkumpul rapi).
Jadi, sejak itu, saya pun mencuci stoples-stoples bekas bawang goreng, lalu menggunakannya untuk mewadahi uang receh. Ada yang berisi receh 500-an (uang logam 500 rupiah), ada pula yang berisi receh 1.000-an (uang logam 1.000 rupiah). Saya isikan uang receh itu ke dalam stoples-stoples hingga sangat penuh, sampai stoples terasa sangat berat. Setiap kali satu stoples penuh, saya membuka stoples baru. Stoples-stoples itu saya taruh di salah satu rak buku.
Makin hari, receh-receh yang saya miliki semakin banyak, karena selalu ada uang kembalian dari belanja atau beli sesuatu. Seperti sebelumnya, receh-receh itu terus terkumpul, kali ini dalam stoples-stoples bekas bawang goreng. Semula, saya tidak sempat berpikir apa pun terkait uang receh itu. Tidak ada niat menabung, juga tidak ada rencana mengumpulkan. Selama waktu-waktu itu, saya hanya berpikir, “Daripada nyesek-nyesekin dompet!”
Hingga suatu hari, saya mendapati stoples berisi receh-receh itu berjajar sangat banyak di rak buku. Saya tertegun ketika pertama kali menyadari kenyataan itu. Lalu penasaran, kira-kira berapa jumlah semua receh yang telah terkumpul dalam semua stoples? Didorong iseng dan penasaran, saya mengeluarkan semua receh dari stoples, dan menuang semuanya ke dalam ember.
Semalam suntuk saya menghitung, satu per satu, setumpuk demi setumpuk, dan saya takjub. Receh-receh itu rupanya telah mencapai jumlah dua juta rupiah. Tepatnya, dua juta lebih tujuh ribu rupiah! Setelah selesai menghitung semuanya, saya kembalikan receh-receh itu ke dalam stoples-stoples lagi seperti semula, agar kembali rapi. Lalu kembali tertegun. Dua juta, receh semua!
Saya membuat teh hangat, menyulut rokok, lalu berpikir. Receh-receh dalam stoples itu benar-benar persoalan yang perlu saya pikirkan, meski tidak memiliki kaitan dengan nasib umat manusia.
Jadi, malam itu, sambil merasakan jari-jari yang kaku akibat capek menghitung receh, saya duduk dan merokok, memandangi deretan stoples berisi uang receh, dan berpikir. Akan dibawa ke mana receh-receh itu?
Dalam bayangan saya, jika receh-receh itu terus terkumpul, tidak menutup kemungkinan rak-rak buku akan berganti menjadi rak-rak uang receh. Jika itu terjadi, saya khawatir kelak tidak lagi membaca buku, tapi membaca receh. Jadi, saya pikir persoalan receh ini harus segera diantisipasi, agar jumlahnya tidak terus bertambah banyak. Saya harus mulai mengeluarkan receh-receh itu, bagaimana pun caranya.
Sejak itu, setiap kali keluar rumah untuk membeli sesuatu, saya selalu mempersiapkan uang receh di saku. Untuk membayar sesuatu yang nilainya paling seribu atau dua ribu, saya pakai receh. Untuk membayar parkir, saya pakai uang receh. Sejak itu pula, saya bahagia setiap kali melihat pengemis atau peminta-minta, karena menjadi kesempatan untuk memanfaatkan receh yang saya miliki. Itu, jujur saja, sejenis kegembiraan yang tidak pernah saya rasakan sebelumnya—segugus kebahagiaan karena menemukan kesempatan untuk memberi. Meski hanya receh.
Hari demi hari, distribusi receh dalam hidup saya mengalir deras. Kapan pun saya keluar, selalu ada uang receh di saku celana. Untuk beli sesuatu yang remeh, untuk bayar parkir, untuk memberi pengemis, dan lain-lain. Saya pikir, dengan cara itu uang receh di rumah akan segera berkurang, dan lama-lama akan habis.
Ternyata tidak. Dan itulah anehnya!
Meski saya sudah mati-matian mengeluarkan dan menggunakan receh-receh itu setiap hari, kumpulan uang receh itu tidak juga habis. Mungkin memang berkurang, tapi yang jelas tidak pernah habis. Karenanya, meski setiap hari saya mengeluarkannya, setiap hari pula saya mendapatkan receh-receh baru. Selalu ada kesempatan saya membeli sesuatu, lalu mendapat uang kembalian dalam bentuk receh. Dan begitu seterusnya.
Sampai sekitar satu tahun hal itu berlangsung. Terus dikeluarkan, tapi receh di rumah tampaknya tidak juga berkurang. Suatu waktu kadang jumlahnya mulai terkikis—satu atau dua stoples mulai kosong—lalu di waktu lain stoples-stoples kosong itu kembali penuh seperti semula. Jadi, receh-receh itu bisa dibilang tidak pernah berkurang sama sekali. Karena setiap kali dikeluarkan, setiap kali pula akan terkumpul kembali. Setiap kali dikosongkan, setiap kali pula akan terisi kembali.
Pasti menyenangkan kalau kondisi semacam itu terkait uang seratus ribuan, misalnya. Ini receh! Pasti menyenangkan kalau misalnya hari ini saya belanja dan habis sepuluh juta, lalu—sim salabim—sepuluh juta itu datang kembali tanpa saya harus bekerja. Kalau seperti itu yang terjadi, saya tidak akan pusing. Lha ini receh!
Saya frustrasi. Merasa berkejaran dengan receh.
Akhirnya, saya menemukan ide brilian. Suatu hari, saat akan pergi ke tempat kulakan untuk membeli barang-barang kebutuhan sebulan, saya menyiapkan sejumlah receh hingga senilai 100 ribu rupiah. Saya hitung receh-receh itu, dan saya masukkan ke dalam plastik. Di tempat kulakan, saya membayar dengan uang kertas, plus receh senilai 100 ribu rupiah. Saya pikir, dengan cara itu, receh di rumah akan segera habis.
Sejak itu, setiap bulan, saat akan belanja kebutuhan rutin, saya mengambil segepok uang receh hingga sebesar 100 ribu rupiah, mengantunginya dalam plastik, dan menggunakannya untuk membayar. Dari bulan ke bulan, receh-receh itu terus berkurang, dan saya merasa menang. Bagaimana pun, dalam sebulan receh yang saya dapat tidak mencapai 100 ribu. Jadi, kalau terus dikeluarkan 100 ribu per bulan, cepat atau lambat receh-receh itu akan habis.
Akhirnya, receh-receh itu memang habis. Tuntas! Dan saya merasa layak mendapat Nobel.
Stoples-stoples yang semula berjajar penuh uang receh di dalamnya, sekarang kosong. Meninggalkan pemandangan yang hampa. Saya pun menyingkirkan stoples-stoples yang sekarang tak berguna, agar rak buku kembali bersih. Misi saya dalam menghabiskan receh telah selesai.
Hingga suatu hari, dalam kondisi hidup tanpa receh, saya bermaksud keluar dari rumah untuk pergi ke suatu tempat. Baru saja membuka pintu, seorang pengemis lewat. Melihat saya nongol dari dalam rumah, pengemis itu berhenti. Dan menengadahkan tangan. Dengan pede, saya berkata kepadanya, “Tunggu sebentar, Pak.”
Saya masuk ke rumah, bermaksud mengambil receh dalam stoples. Tapi kemudian mendapati kehampaan di tempat yang semula berjajar stoples penuh receh. Saya lupa, semua receh di sana telah habis, telah hilang, dan kini saya tidak lagi memiliki persediaan uang kecil untuk dibagikan.
Dengan bingung, saya terpaksa mengambil lembaran uang dari dompet, dan memberikannya pada pengemis yang menunggu di depan rumah. Saat menyerahkan uang itu, jujur saja, saya tidak lagi merasakan kegembiraan seperti yang dulu pernah saya rasakan... ketika masih memiliki banyak receh untuk dibagikan. Saya hanya menyerahkan uang itu dengan perasaan hampa, dan menyadari ada lembaran uang dari dompet yang berkurang.
Betapa berbeda yang saya rasakan.
Dulu, saat masih memiliki banyak receh di stoples, saya bisa memberikannya dengan ringan pada peminta-minta yang menengadahkan tangan, dan saya tidak merasa kehilangan, tidak merasa berkurang apa pun, bahkan merasa gembira saat memberikan. Tetapi, kini, saat tidak lagi memiliki receh, perasaan itu tidak lagi ada. Padahal nilai yang saya berikan tak berbeda, jumlah yang saya keluarkan pun sama. Bedanya, dulu saya gembira saat memberi, namun sekarang perasaan itu tak ada lagi.
Sejak itu pula, saya kembali mengumpulkan receh dalam stoples. Kali ini, saya tidak lagi berusaha menghabiskan seperti dulu, tapi sengaja saya sediakan agar selalu punya receh. Melalui receh-receh itu, saya belajar memberi tanpa merasa kehilangan, dan menikmati kegembiraan saat bisa memberi.
Itu, saya pikir, hal terbaik yang dapat diberikan receh kepada pemiliknya. Kemampuan memberi tanpa merasa berkurang, kegembiraan memberi tanpa merasa kehilangan.