Ada yang pelan-pelan hilang dari hidup kita, kadang... tanpa disadari.
Saat kesadaran muncul, dan kita kehilangan, yang hilang telah jauh.
“Mas, mau beli toko?”
Karena tidak menyangka akan disodori pertanyaan itu, saya melongo. “Beli toko?”
Dia mengangguk, lalu melanjutkan dengan antusias, “Ini toko saya mau dijual. Siapa tahu situ punya rencana beli toko. Tidak mahal, kok. Cuma dua miliar.”
Saya makin melongo. Pertama karena baru kali itu ditawari membeli toko, dan kedua karena harga dua miliar ternyata “tidak mahal”. Well, saya sih biasa beli gorengan, beli mie ayam, atau beli nasi, yang harganya paling beberapa ribu perak. Tapi seumur-umur, saya tidak pernah membayangkan beli toko yang harganya “tidak mahal”, senilai dua miliar.
Orang yang menawari itu adalah pemilik toko langganan saya di masa lalu. Kita sebut saja Toko X. Toko itu berukuran besar, dan menyediakan berbagai barang kebutuhan sehari-hari, mulai beras, gandum, tepung, sabun, sampo, sikat dan pasta gigi, sapu, sandal jepit, gula pasir, gula jawa, plastik, isi staples, selotip, sebut apa pun.
Karena barang yang disediakan memang lengkap, orang-orang pun biasa berdatangan ke toko tersebut untuk membeli berbagai kebutuhan sehari-hari, termasuk saya. Sejak pagi sampai sore, bisa dibilang Toko X tidak pernah sepi. Kapan pun datang ke sana, saya harus antre bersama para pembeli lain menunggu dilayani. Di sana ada empat pelayan—plus si pemilik toko—yang terus sibuk melayani pembeli. Jadi, bisa dibilang Toko X sangat laris.
Karena saya sering ke sana, pemilik toko pun mengenal saya. Berdasarkan percakapan yang kadang kami lakukan, dia pun tahu saya lajang yang hidup sendirian. Hal itu sangat tampak dari barang-barang yang biasa saya beli—khas kebutuhan orang yang belum berkeluarga. Sampai beberapa tahun saya menjadi pelanggan di Toko X, hingga sesuatu terjadi, dan mengubah segalanya.
Ceritanya, suatu hari saya butuh membeli barang-barang yang biasa saya butuhkan—gula pasir, teh, kopi, dan semacamnya. Saya pun pergi dari rumah, menuju Toko X. Tetapi, sampai di sana, ternyata Toko X tutup. Padahal saya sangat membutuhkan barang-barang tadi. Gula pas habis, teh pas habis, dan kopi juga pas habis. Maka saya pun pergi ke toko lain, yang juga menyediakan barang kebutuhan sehari-hari, seperti Toko X.
Di sebuah toko yang saya temukan—kita sebut saja Toko Z—saya membeli kopi, gula pasir, teh, dan lain-lain. Lalu saya membawa barang-barang itu pulang. Sesampai di rumah, saya mulai menyadari sesuatu. Harga barang-barang di Toko Z lebih murah dibanding harga barang-barang di Toko X. Misalnya, harga gula pasir selisih Rp200, harga kopi selisih Rp300, harga teh selisih Rp400, semuanya lebih murah di Toko Z daripada di Toko X.
Saya tahu betul hal itu, karena membandingkan dua struk dari dua toko tersebut. Struk-struk belanja dari Toko X masih ada, dan saya bandingkan dengan struk dari Toko Z yang baru saya peroleh. Melalui perbandingan harga itu, saya melihat dengan jelas bahwa harga-harga barang di Toko X semuanya lebih mahal. Memang hanya selisih beberapa ratus perak, tapi tetap lebih mahal.
Sejak itu, saya tidak pernah lagi belanja di Toko X. Setiap kali butuh membeli barang kebutuhan sehari-hari, saya pergi ke Toko Z, yang harganya lebih murah. Jarak kedua toko itu dari rumah saya relatif sama, jadi saya pikir akan lebih baik jika memilih Toko Z. Sejak itu, saya menjadi pelanggan Toko Z.
Selama waktu-waktu itu, saya memang biasa berbelanja di toko atau warung tradisional, dan sengaja tidak pernah berbelanja di mal, swalayan, atau supermarket modern. Waktu itu, saya berprinsip bahwa harus ada orang-orang yang tetap berbelanja di toko atau warung tradisional, agar mereka terus ada, dan tidak hilang karena dikalahkan mal atau swalayan. Karena saya tidak mungkin “mengajarkan” hal itu kepada orang lain, maka saya pun melakukan sendiri prinsip tersebut.
Tapi ternyata saya dikecewakan.
Toko X, yang semula menjadi langganan saya, ternyata diam-diam menaikkan harga seenaknya. Mungkin Toko X berpikir saya butuh belanja di sana, dan saya akan tetap membeli di sana tak peduli harganya dinaikkan seenaknya. Atau mungkin pula Toko X berpikir saya tidak akan tahu hal itu, karena saya pelanggan tetap di sana yang tidak pernah belanja di toko lain. Tapi dugaan itu keliru. Bagaimana pun, akhirnya saya tahu. Dan ketika saya tahu, mau tak mau saya merasa tertipu.
Perlahan-lahan sejak itu, setiap kali lewat di depan Toko X, saya melihat toko itu tidak lagi seramai sebelumnya. Jika sebelumnya pembeli selalu penuh dan berdesak-desakan, sejak itu Toko X mulai sepi. Hanya beberapa pembeli yang terlihat di sana. Lama-lama, Toko X benar-benar sepi.
Jadi, rupanya, yang menyadari “ketidakberesan” harga di Toko X bukan cuma saya. Para pembeli atau pelanggan lain juga menyadari kenyataan itu, dan mereka pun mulai meninggalkan Toko X, persis seperti yang saya lakukan. Padahal, selisih harga di Toko X cuma beberapa ratus rupiah, suatu nilai yang sebenarnya sangat kecil. Tetapi nilai yang kecil itu, ternyata, persis seperti rayap yang menggerogoti kayu. Tampak kecil, tak terlihat, tapi merusak diam-diam.
Suatu hari, saya terpaksa masuk Toko X untuk membeli sesuatu. Saat masuk ke sana, saya mendapati suasana toko yang sepi, tanpa pembeli. Cuma saya satu-satunya pembeli yang ada di sana. Empat pelayan yang dulu selalu sibuk sekarang tidak terlihat. Sekarang, di sana cuma ada satu pelayan, itu pun tampak sedang menyapu, bukan melayani pembeli.
Itu menakjubkan, pikir saya. Betapa sebuah toko yang semula terkenal, didatangi banyak orang, setiap hari selalu disesaki pembeli, sekarang sepi tidak laku. Padahal tokonya masih tetap, pemiliknya masih tetap, barang-barangnya masih tetap, dan tempatnya masih tetap. Tapi orang-orang yang semula menjadi pembeli dan pelanggan sekarang telah hilang. Dan itu terjadi gara-gara selisih harga sekian ratus perak yang dinaikkan seenaknya.
Jika memikirkan kenyataan itu, saya menyadari bahwa inti persoalan yang terjadi bukan sekadar selisih harga yang cuma beberapa ratus perak. Itu, bagaimana pun, nilai yang sangat kecil. Yang menjadikan Toko X sepi adalah karena pembeli/pelanggan merasa “tertipu”, persis seperti yang saya rasakan, terlepas berapa selisih harga yang dinaikkan seenaknya di Toko X.
Dalam pikiran para pembeli dan pelanggan, kami berbelanja di Toko X karena percaya. Percaya bahwa Toko X menyediakan barang-barang yang kami butuhkan, percaya barang-barang di Toko X memang baik, percaya bahwa harga-harga di Toko X memang wajar, percaya bahwa Toko X tidak akan mencurangi kami.
Tetapi ternyata kepercayaan itu dilukai. Alih-alih menjaga kepercayaan pembeli agar tetap menjadi pelanggan, Toko X justru “memanfaatkan” kepercayaan pelanggan demi menaikkan keuntungannya sendiri. Itulah yang kemudian menjadikan para pelanggan menghilang.
Wanita-wanita, atau ibu-ibu, sudah terkenal rela pergi lebih jauh demi mendapat harga yang lebih murah (meski nilainya paling beberapa ratus rupiah), daripada belanja di toko yang lebih dekat yang harganya lebih mahal. Jika kita mau memikirkan kenyataan itu, sebenarnya yang membuat mereka mau pergi jauh bukan karena ingin menghemat uang yang paling seratus atau dua ratus rupiah, melainkan demi menyelamatkan perasaan mereka.
Ketika orang—khususnya ibu-ibu—berbelanja di sebuah toko, dan mendapati harganya lebih mahal (meski cuma beberapa ratus rupiah), yang mereka lihat bukan harga yang lebih mahal, melainkan merasa ditipu.
Wanita atau ibu-ibu itu tahu, bahkan hafal, berapa harga ini atau harga itu. Ketika harga ini atau harga itu dinaikkan seenaknya oleh pemilik toko, mereka merasa sedang ditipu. Itulah kenapa mereka lebih memilih pergi ke tempat yang lebih jauh demi membeli barang yang sama, asal harganya wajar atau lebih murah. Bukan untuk menghemat uang yang paling beberapa ratus rupiah, melainkan untuk menyelamatkan perasaan mereka!
Saya bukan ibu-ibu, tapi saya bisa memahami perasaan itu, karena juga sering berbelanja barang kebutuhan sehari-hari. Bagi saya, uang seratus atau beberapa ratus rupiah sama sekali bukan nilai besar. Itu senilai upil! Oh, well, bahkan lebih kecil dibanding upil!
Tetapi, bagaimana pun, saya tetap jengkel ketika mendapati suatu toko menaikkan harga seenaknya di luar kewajaran, meski nilainya hanya beberapa ratus rupiah. Yang menjadi inti masalah di sini bukan nilai uangnya, melainkan kepercayaan yang terasa dilukai. Saya telah percaya pada suatu toko, dan menjadi pelanggan. Tetapi, pihak toko bukan menjaga kepercayaan saya sebagai pelanggan, tapi justru menyalahgunakan kepercayaan saya. Efeknya dalam pikiran saya bukan kehilangan uang beberapa ratus rupiah, melainkan kehilangan kepercayaan.
Dan, omong-omong, itulah yang terjadi pada Toko X. Saya meninggalkan Toko X dan beralih ke toko lain, terus terang bukan karena alasan penghematan, melainkan karena merasa kepercayaan saya dilukai.
Sepertinya, hal yang sama terjadi pada para pembeli dan pelanggan lain, sehingga mereka pun sama-sama meninggalkan Toko X. Akibatnya, toko yang semula sangat ramai pembeli sekarang sepi. Toko X mungkin bermaksud menambah sedikit keuntungan dengan cara menaikkan harga beberapa ratus rupiah, tapi ternyata itu justru menghancurkan usaha yang telah berdiri bertahun-tahun.
Meraih kepercayaan itu sulit, tetapi menjaga kepercayaan jauh lebih sulit. Sekali orang percaya, ia akan percaya selamanya. Begitu pun, sekali orang menyadari kepercayaannya dilukai, ia akan sulit percaya lagi.
Sejak menyadari pembeli terus berkurang, mungkin Toko X mulai mengevaluasi dan mengoreksi diri, lalu mengembalikan harga-harga ke nominal yang wajar, dengan harapan toko kembali ramai. Tetapi, bagaimana pun, kepercayaan pembeli sudah terluka. Pelanggan sudah telanjur merasa tertipu, dan sulit untuk bisa mengembalikan kepercayaan mereka.
Puncaknya, Toko X benar-benar sepi, pemiliknya mungkin menyadari tak bisa lagi melanjutkan usaha, hingga tokonya ditawarkan kepada saya.
“Tidak mahal, Mas,” ujarnya. “Cuma dua miliar.”
Begitu pun kepercayaan para pelanggan, pikir saya. Kepercayaan pelanggan juga tidak mahal, hanya beberapa ratus rupiah. Tapi ketika kepercayaan itu terluka, mereka hilang selamanya.
Saat saya menulis catatan ini, Toko X sudah tidak ada. Pintu besinya selalu tertutup, dan tak pernah tampak orang di sana.
Orang Cina punya pepatah bijak, “Kalau kau tidak bisa tersenyum, jangan membuka toko.” Sekarang, saya ingin menambahi, “Kalau kau tidak bisa berlaku jujur, jangan membuka toko.”
Siapa pun yang punya senyuman dan kejujuran, akan menarik banyak pelanggan. Yang tidak punya, akan kehilangan.