Sabtu, 20 Agustus 2022

Tak Henti Berpikir

Saat-saat yang paling menenangkan adalah saat dini hari.
Hening, tenang, tanpa suara, tanpa kebisingan.
Saat waktu terasa sangat berarti,
saat siapa pun yang terjaga bisa berpikir jernih.
@noffret


Manusia memiliki kelebihan dibanding makhluk hidup lain, yaitu kemampuan berpikir. Sayangnya, kemampuan itu juga menjadikan manusia sebagai makhluk rumit. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi, kita selalu berpikir—atau, selalu ada yang kita pikirkan, dan selalu ada sesuatu di pikiran kita. Sangat jarang, bahkan tidak mungkin, kita hidup tanpa isi pikiran apa pun.

Dalam contoh sederhana, saat bangun tidur, kita berpikir untuk mandi atau setidaknya cuci muka, berpikir untuk merebus air buat bikin minum, berpikir untuk olahraga atau tidak, berpikir jam kerja dan menyiapkan keberangkatan ke tempat kerja, serta aneka pikiran lain terkait rutinitas pagi. Bisa jadi, karena sudah sangat rutin, kita melakukan semuanya tanpa harus berpikir lagi. Dan jika itu yang terjadi, hampir bisa dipastikan kita akan memikirkan hal lain!

Itu baru bangun tidur. Seiring waktu yang merangkak siang, dengan aneka aktivitas dan kesibukan, pikiran kita pun terus aktif. Sampai sore, sampai malam, sampai saat akan tidur lagi. Bahkan, orang yang menghabiskan waktu dengan rebahan saja, isi pikirannya biasanya terus aktif—tidak sekosong penampakan fisiknya yang sedang rebahan. Karena manusia memang makhluk-berpikir. 

Kemampuan berpikir adalah berkat sekaligus kutukan. Ia berkat, karena memampukan manusia untuk melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan makhluk hidup lain. Tapi juga kutukan, karena kemampuan itu menjadikan manusia mengenal stres, pusing, insomnia, gelisah, sampai overthinking, karena sepertinya sulit untuk berhenti memikirkan banyak hal.

Dalam hal-hal tertentu, kita bahkan kadang memikirkan sesuatu yang, mungkin, mestinya tidak perlu kita pikirkan. Misalnya, saat melihat video yang memperlihatkan kucing-kucing lucu sedang bermain dengan sesama, saya sering berpikir, “Kira-kira apa yang dipikirkan kucing-kucing itu?” 

Begitu pun saat melihat ikan-ikan asyik berenang di akuarium atau di kolam, saya sering memandangi mereka sambil berpikir, “Apa yang sedang dipikirkan ikan-ikan itu sekarang?”

Ketika sedang makan sesuatu, saya juga sering berpikir, “Siapa penemu makanan ini? Bagaimana sejarah dan asal usulnya? Dari mana ia mendapat ide membuat makanan seperti ini?” Dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.

Di waktu lain, saya bertanya-tanya, kenapa gerobak mi ayam rata-rata berwarna biru? Didorong penasaran, saya pernah menanyakan hal itu ke puluhan penjual mi ayam yang saya datangi, dan rata-rata mereka menjawab, “Wah, nggak tahu, Mas. Saya ngikutin [penjual mi ayam] yang lain aja. Karena yang lain pakai gerobak biru, saya ikut pakai gerobak biru.”

Dalam hal itu, saya sadar kalau saya mungkin terlalu lebay, karena memikirkan hal-hal yang mestinya tidak perlu dipikirkan. Tapi mungkin sudah kebiasaan, dan kebiasaan itu sering berjalan tanpa sadar, hingga kini saya kesulitan untuk menghentikannya.

Mula-mula, saya tidak menyadari kebiasaan itu, sampai sesuatu yang tidak mengenakkan terjadi. Suatu waktu, saya mendatangi undangan di luar kota, dan pihak yang mengundang saya menyiapkan hotel untuk istirahat. Ketika saya sampai di sana, seseorang menemani saya ke hotel yang telah disiapkan, dan kami pun bercakap-cakap ramah sepanjang perjalanan.

Ketika memasuki kamar hotel, secara spontan pandangan saya mengarah pada perabot di dalam kamar, yang semuanya terbuat dari kayu berpelitur—di mata saya waktu itu, semua tampak tradisional dan artistik. Mungkin hal itu terjadi dalam beberapa detik, dan pikiran saya sedang “menyerap” hal-hal yang saya lihat. Sekali lagi, itu kebiasaan spontan yang sering tidak saya sadari, bahkan tidak saya kendalikan. Jadi, bagi saya, itu hal biasa—sesuatu yang alamiah.

Tetapi, rupanya, tatapan saya pada perabotan kamar itu diartikan lain oleh orang yang mengantar saya. Dengan nada yang terdengar tidak nyaman, dia berkata, “Maaf kalau kamarnya kurang menyenangkan. Kami kemarin buru-buru, dan semua hotel sudah penuh—karena ini akhir pekan—jadi kami terpaksa memilih hotel ini, karena cuma ini yang tersedia, dan tempatnya cukup dekat...” kalimatnya masih panjang.

Saya tercengang. Saya pun berusaha menjelaskan bahwa kamar itu sangat bagus dan nyaman, dan saya jelas menyukainya—tapi mungkin dia tidak percaya.

Sebenarnya, saya tidak mempersoalkan mau tidur atau istirahat di mana, wong saya orang sederhana. Waktu berangkat dari rumah untuk mendatangi undangan itu, sebenarnya bayangan saya akan tidur di kantor mereka, bersama beberapa staf yang memang tidur di sana. Jadi, ketika ternyata saya diberi kamar hotel untuk tidur, saya jelas senang. 

Itu satu di antara peristiwa tidak mengenakkan, yang terjadi gara-gara pikiran saya sering refleks “menyerap” apa pun yang saya lihat. Peristiwa lain terjadi di rumah famili saya, dan gara-garanya sangat sepele—kipas angin!

Waktu itu, famili saya akan berangkat haji, dan ada keramaian di rumahnya. Saya pun di sana untuk membantu-bantu. Bersama anak-anak famili, saya membantu mengerjakan banyak hal, dan mereka meminta saya untuk menginap. Saya pun setuju, dan menginap di sana—tidur di ruang tengah, beralas karpet, dengan beberapa anak famili yang lain.

Di ruang tengah itu ada kipas angin yang berdiri (biasa disebut kipas angin standar), dan boks kipasnya bergerak ke kanan dan ke kiri untuk mengembuskan angin ke semua bagian ruangan. Tidak ada yang salah dengan kipas angin itu, wong bentuk serta fungsinya memang sesuai kipas angin normal. Orang-orang yang waktu itu ada di sana juga tidak mempedulikan kipas angin tersebut.

Tetapi, entah bagaimana, pikiran saya tertuju pada kipas angin itu, tanpa saya sadari, dan tanpa saya kendalikan. Di telinga saya, kipas angin itu terdengar mengeluarkan suara. Sebenarnya suara lirih, hingga tidak dipedulikan orang lain. Tapi saya tertarik dengan suara itu, dan saya bangkit dari berbaring, lalu memandangi kipas angin itu. 

Saya duduk seperti orang tolol di hadapan kipas angin, dan memandanginya dengan serius. Sekali lagi, saya menganggap yang saya lakukan waktu itu sebagai hal biasa, karena memang biasa melakukannya—saya selalu tertarik pada segala hal, dan pikiran saya berusaha menyerap apa pun. Itu sesuatu yang tidak saya sengaja atau saya kendalikan.

Selama beberapa saat, saya duduk diam di depan kipas angin, memandanginya dari atas sampai bawah, tanpa pikiran apa pun, selain hanya “menyerap” yang saya lihat. Omong-omong, saya kesulitan untuk menjelaskan maksud “menyerap” ini—intinya, saya senang memperhatikan apa saja, khususnya yang menarik perhatian, persis seperti bocah yang melihat mainan baru. Yang jelas, saya tidak punya pikiran buruk apa pun terhadap kipas angin itu.

Ternyata, yang saya lakukan waktu itu dilihat anak famili saya (yang orang tuanya akan berangkat haji). Waktu itu dia diam saja, saya bahkan tidak tahu kalau ternyata dia melihat dan memperhatikan tingkah saya.

Belakangan, ketika famili saya pulang dari ibadah haji, di rumahnya kembali ada keramaian, dan saya pun kembali membantu-bantu di sana. Anak famili saya meminta agar saya menginap, seperti dulu, tapi waktu itu saya tidak punya rencana untuk menginap. Jadi, saya pun menolak tawarannya, dan mengatakan akan pulang.

Di luar dugaan, anak famili saya berkata, “Nggak perlu khawatir, kipas anginnya udah aku ganti, kok. [Kipas angin] yang baru nggak ngeluarin suara.”

Dia serius mengatakannya... dan saya tercengang. Kali ini, saya tidak tahu harus menjawab apa atau menjelaskan bagaimana. Waktu itu saya sadar, dia rupanya melihat atau bahkan memperhatikan ketika saya duduk di depan kipas angin, dan mungkin berpikir saya waktu itu terganggu oleh suara kipas angin atau semacamnya. Karena pikiran itu, dia lalu mengganti kipas angin tersebut dengan kipas angin yang baru. (Sekadar catatan, dia benar-benar membeli kipas angin baru!)

Sekali lagi, itu sedikit di antara banyak kisah lain yang—sayangnya—tidak mengenakkan, gara-gara pikiran saya seperti punya refleks untuk memperhatikan banyak hal, tanpa bisa saya kendalikan.

Padahal, selama memperhatikan segala sesuatu, saya hampir tidak pernah berpikiran buruk atau negatif. Saya memperhatikan sesuatu, dan memikirkannya, secara netral—semoga kalian paham yang saya maksud. 

Jadi, saya memperhatikan sesuatu, semata-mata karena tertarik memperhatikannya. Ini mungkin seperti bocah yang melihat mainan baru. Dia akan tertarik, mendekat, atau memperhatikannya, semata-mata karena tertarik, karena itu hal baru baginya!

Sayangnya, orang-orang yang memergoki saya sedang memperhatikan sesuatu sering berpikir bahwa saya memperhatikan dengan penilaian buruk. Seperti orang yang mengantar saya ke kamar hotel—dia mengira saya kecewa dengan kamar yang dia sediakan, padahal saya bahkan merasa senang. Juga seperti anak famili saya, yang mengira saya terganggu suara kipas angin, hingga membeli kipas angin baru—padahal saya memperhatikan kipas angin itu semata-mata karena tertarik memperhatikan!

Well, saya merasa perlu menulis catatan ini, agar jika sewaktu-waktu saya kembali menghadapi masalah seperti tadi, saya bisa menunjukkan catatan ini, dan memintanya untuk [lebih] memahami.

 
;