Saya masih harus banyak belajar, karena saya banyak kekurangan.
—Zaskia Mecca
—Zaskia Mecca
Zaskia Mecca mulai populer sejak membintangi suatu serial di televisi, dan kemudian membintangi sebuah film yang sepertinya memang pas dengan sosoknya—cantik, lembut, dan alim. Untuk mengokohkan image itu, Zaskia pun mengenakan jilbab dalam kesehariannya. Masyarakat pun mencintainya. Bagi para penggemar dan pemujanya, Zaskia Mecca laksana bidadari yang turun dari surga—respresentasi dari kesempurnaan seorang perempuan.
Tetapi image bidadari yang sempurna itu kemudian rusak—atau setidaknya terdistorsi—gara-gara munculnya foto-foto Zaskia yang sedang merokok. Masyarakat umum, khususnya para penggemar dan pemujanya, seperti tidak percaya kalau perempuan sempurna itu ternyata seorang perokok. Ketidakpercayaan itu kemudian berubah menjadi rasa tidak rela—semacam rasa kekecewaan karena kepercayaan mereka dilukai, suatu rasa patah hati karena sosok yang mereka sayangi ternyata tidak “semulia” yang mereka bayangkan.
Beberapa waktu lamanya, Zaskia menghilang ketika ribut-ribut soal foto-fotonya yang sedang merokok itu menjadi polemik di media massa. Ketika akhirnya muncul kembali ke hadapan publik, Zaskia pun dengan rendah hati menyatakan, “Saya khilaf. Saya bukan manusia yang sempurna. Mungkin ini kelemahan saya. Tapi saya bukan perokok.”
Terlepas apakah Zaskia Mecca seorang perokok atau bukan, seharusnya kita mampu menempatkan sosok Zaskia sesuai proporsinya yang adil. Zaskia Mecca bukan hanya seorang artis—dia juga seorang manusia biasa. Kalau mau lebih tepat lagi, Zaskia Mecca adalah manusia yang berprofesi sebagai artis.
Kalau kebetulan dia mendapat peran-peran sebagai wanita alim atau perempuan yang religius, itu hanyalah tuntutan peran dalam profesinya. Tetapi sebagai manusia, Zaskia tetaplah perempuan biasa, dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Kalau kita dapat mengagumi dan mencintai kelebihannya, mengapa kita tidak bisa menerima dan memaklumi kekurangannya…?
Profesi artis memang rawan dengan cinta palsu. Masyarakat sering kali tak bisa memilah secara bijak antara diri sebagai pribadi dan diri sebagai artis. Akibatnya, artis dituntut untuk menjadi manusia setengah dewa, atau manusia setengah bidadari. Ketika image itu berhasil terciptakan, cinta masyarakat pun menggebu kepadanya. Dan ketika image itu ternoda, masyarakat pun merasa terluka dan patah hati.
Kenyataan berlandaskan ‘cinta palsu’ itu pula yang kemudian dimanfaatkan oleh beberapa artis untuk menciptakan image-image tertentu yang mereka harap dapat mengundang simpati atau bahkan cinta masyarakat, hingga artis mantan bom sex pun dapat malih-rupa menjadi sosok seorang ustadzah.
Semuanya hanya image—kesan yang diciptakan untuk mendatangkan cinta palsu dan fanatisme manusia terhadap kesempurnaan pujaannya. Saya tidak bermaksud menyatakan bahwa Zaskia Mecca hanya bertujuan mengundang simpati masyarakat dengan penampilan jilbabnya. Yang saya maksudkan di sini adalah bahwa sudah saatnya kita dapat menempatkan penilaian kita secara adil dan proporsional—termasuk rasa kekaguman, simpati, atau bahkan cinta kepada sosok seorang artis.
Jika kita mencintai segala kelebihannya, marilah kita belajar untuk juga dapat menerima dan memaklumi kekurangan yang mungkin dimilikinya.
Saya bukan penggemar apalagi pemuja Zaskia Mecca. Tetapi, andaikata saya menjadi kekasihnya dan kemudian mengetahui dia seorang perokok, saya membayangkan akan berkata kepadanya, “Dulu, waktu pertama kali mengenalmu dan kemudian jatuh cinta kepadamu, aku tidak tahu kalau kau seorang perokok. Tetapi aku mencintaimu bukan karena kau perokok atau bukan perokok. Aku mencintaimu karena kau adalah kau.”
Jadi, ketika penggemar Zaskia kemudian merasa terluka dan kecewa gara-gara mengetahui ternyata Zaskia merokok, seharusnya mereka bertanya pada diri mereka sendiri, apa sesungguhnya yang mereka cintai dari sosok Zaskia Mecca? Apakah mereka mencintai diri Zaskia Mecca seutuhnya sebagai manusia, ataukah hanya mencintai image tokoh-tokoh film yang diperankannya…?