Sebagai manusia, kita semua sama di hadapan kematian.
(Publisius Syrus)
Kehidupan itu kesenangan. Kematian itu mendamaikan.
Transisi di antara keduanya itulah yang menyusahkan.
(Isaac Asimov)
Sebuah email melayang masuk ke inbox email saya, tepat pada pukul tiga dini hari. Kebetulan waktu itu saya lagi online. Email itu dikirim oleh seseorang di Yogya, seorang dosen yang mengajar fakultas filsafat di kampusnya. Kami sudah beberapa kali berkomunikasi via email, sejak sekitar dua tahun yang lalu, ketika dia meminta ijin untuk menggunakan beberapa buku karya saya untuk dijadikan sebahai bahan ajar bagi mahasiswanya. Kali ini, email yang datang pada pukul tiga dini hari itu kira-kira berbunyi seperti ini,
“Aku tahu kau belum tidur saat ini, jadi maklumilah emailku yang kurang ajar ini. Kalau kau tidak keberatan, jawablah pertanyaan ini segera. Tetapi jika kebetulan kau sedang sibuk mengerjakan sesuatu, jawablah kapan saja kau punya waktu. Tetapi aku menunggu jawabanmu. Oh ya, pertanyaanku sederhana. Apakah kau takut mati? Bagaimana konsepmu tentang kematian?”
Apakah saya takut mati? Bagaimana konsep saya tentang (terhadap) kematian? Ini sih bukan pertanyaan sederhana. Tetapi karena saya sendiri sudah tertarik pada topik ini sejak beberapa tahun yang lalu, saya pun segera membalas emailnya, dan jadi terpikir untuk mempostingnya pula di sini. Karena tema ini membutuhkan penjabaran yang cukup luas, maka saya akan menuliskannya dalam beberapa posting.
Well, ini tentang kematian. Tema yang berat—setidaknya cukup berat untuk diposting di sebuah blog yang dibaca oleh berbagai kalangan usia seperti blog ini. Tetapi saya telah mengusahakan untuk menulis tema ini dengan bahasa yang semudah mungkin, sehingga mudah pula untuk kita pelajari bersama.
Apakah kau takut mati...? Kalau ya, tak perlu takut—karena saya pun begitu. Nah, pertanyaannya, mengapa kita takut mati...?
Saya sudah mencoba mencari jawaban atas pertanyaan itu sejak bertahun-tahun yang lalu—karena jawaban dari pertanyaan itulah yang akan memberitahukan kepada kita mengapa manusia takut terhadap kematian. Sesungguhnya, ketakutan kita terhadap kematian tak jauh beda dengan ketakutan kita terhadap hal-hal lainnya. Yakni karena ketidaktahuan. Karena kebingungan. Atau...karena kebodohan. Kita selalu takut—dan ketakutan—terhadap hal-hal yang tidak kita tahu, dan begitu pula ketakutan kita terhadap kematian.
Kita tidak tahu—dan tak pernah yakin—dengan “apa sebenarnya kematian”, karena kita belum pernah mati, juga karena semua orang yang mati belum ada yang dapat hidup kembali untuk menceritakan pengalamannya. Memang ada beberapa orang yang diklaim—atau mengaku—pernah mati dan kemudian hidup kembali dan lalu menceritakan pengalamannya selama mati. Tetapi kita tidak bisa yakin terhadap orang-orang itu. Mengapa? Karena pengalaman kematian mereka hanya beberapa saat (biasanya disebut sebagai “mati suri”) yang dalam ilmu medis mungkin belum dapat dianggap sebagai “kematian dalam arti sesungguhnya”.
Jadi, pengetahuan atas kematian masih gelap—dan karena itulah kemudian kita menjadi ketakutan terhadap pengalaman itu. Kita tidak tahu apa yang terjadi setelah mati, kita tidak tahu bagaimana proses kematian terjadi, kita bahkan tidak pernah yakin apa sebenarnya kematian itu sendiri.
Bayangkanlah sebuah lubang di tanah. Lubang ini sempit, hanya berdiameter 20 senti, dan memiliki kedalaman sekitar satu meter dari permukaan tanah. Sebuah lubang yang bisa dikatakan tidak berbahaya. Nah, saya akan berkata kepadamu, “Apakah kau berani memasukkan tanganmu ke dalam lubang itu? Kalau kau berani, saya akan membayarmu satu juta rupiah.”
Apa yang menjadi reaksimu? Secara psikologis—bahkan secara manusiawi—reaksimu akan ditentukan oleh bagaimana pemahamanmu, bahkan keyakinanmu, atas lubang itu. Jika kau percaya bahwa lubang itu kosong dan tidak terdapat apa-apa di dalamnya, kau pun akan langsung memasukkan tanganmu ke dalam lubang itu karena iming-iming hadiah satu juta rupiah. Sebaliknya, kau sama sekali tidak akan berani memasukkan tanganmu ke dalam lubang itu jika pikiranmu dihantui oleh ketakutan-ketakutan tentang apa yang akan kau dapati di kedalaman lubang itu.
Nah, begitu pula dengan kematian—dalam pemahaman sederhananya. Menghadapi kenyataan kematian, kita tak ubahnya menghadapi sebuah lubang gelap yang tidak kita ketahui secara pasti. Kita kebingungan—dan di dalam kebingungan itulah kemudian kita berusaha mempercayai apapun yang kita dengar dari mana saja yang (berusaha) kita yakini, tak jauh beda dengan orang tenggelam yang akan meraih apapun yang sekiranya dapat dijadikannya pegangan.
Jadi, mengapa orang takut terhadap kematian...? Sekarang kita mulai memperoleh setitik terang jawabannya, yakni karena kegelapan ketidaktahuan. Dan di dalam kegelapan ketidaktahuan itulah, pikiran kita kemudian dibombardir dengan berbagai keyakinan mengerikan tentang kematian, sehingga kita semakin ketakutan dalam menghadapinya. Saya akan melanjutkan catatan ini di posting berikutnya.