Posting ini adalah lanjutan posting sebelumnya (Mengapa Kita Takut Mati). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah posting sebelumnya terlebih dulu.
***
Orang yang paling mudah dimanipulasi—atau dalam bahasa kasarnya dibohongi dan dibodohi—adalah orang yang kebingungan atau tidak tahu atas sesuatu. Ketidaktahuan dan kebingungan kita terhadap kematian pun kemudian mendorong kita untuk mempercayai dan meyakini apapun yang sekiranya dapat kita pahami—namun kita tak pernah tahu kepercayaan seperti apa yang benar-benar dapat diyakini.
Lepaskanlah sejenak semua keyakinan yang ada dalam akal pikiran kita, dan marilah secara jujur menghadapi kenyataan ini. Apapun saja yang kita dengar dan bahkan kita yakini menyangkut kematian hanyalah sekadar “katanya”. Belum ada orang yang secara pasti dapat menggambarkan pengalaman kematian secara riil, karena—seperti yang saya tuliskan dalam posting sebelumnya—belum pernah ada orang yang mati dan kemudian hidup kembali. Menyangkut kematian, kita hanya belajar—dan dipaksa yakin—terhadap “teori”.
Yang menjadi pertanyaannya kemudian, apakah teori yang kita percayai dan kita yakini itu benar dan valid? Ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi pikiran dan hati kita. Perlu saya tekankan di sini, bahwa saya menuliskan catatan ini bukan dalam perspektif teologi, tetapi murni karena rasa penasaran akademisi. Saya bukan ustadz atau pendeta—saya seorang pembelajar. Dan tugas seorang pembelajar adalah Bertanya.
Kalau ada tetangga kita naik haji dan kemudian pulang ke rumah dan menceritakan beberapa hal menyangkut kota Mekkah, kita dapat mempercayainya. Mengapa? Karena dia dengan jelas telah pergi ke Mekkah dan memperoleh pengalaman tentang kota Mekkah. Jika dia menceritakan Mekkah itu panas dan berpasir, kita dapat meyakininya—karena kita tahu dia telah melihatnya sendiri dengan mata kepalanya.
Kematian memang tidak dapat dianggap sebagai pelesir atau suatu kota yang dapat diceritakan semudah itu, tetapi sekali lagi, kita tidak pernah bisa yakin tentang kematian karena semua hal yang dikatakan menyangkut kematian, semuanya dikatakan oleh orang yang belum pernah mati.
Kalau kau belum pernah pergi ke Bali dan kemudian datang ke sana dan mempercayakan perjalananmu kepada seorang guide (pemandu), kau tentunya harus yakin bahwa guide itu benar-benar orang Bali asli, atau orang yang memang telah menghabiskan waktunya untuk mengenal Bali. Sedangkan menyangkut kematian, kita tidak bisa yakin berpegang pada siapapun untuk menjadi guide, karena belum ada orang yang memiliki pengalaman menyangkut mati—dan kematian masih menjadi tempat yang asing.
Di dalam kebingungan semacam ini, saya jadi ingat kata-kata yang diucapkan oleh Francis Bacon. Filsuf itu menyatakan, “Lelaki takut pada kematian sebagaimana anak-anak takut pergi ke tempat gelap; dan sebagaimana ketakutan alamiah pada anak-anak makin bertambah lantaran cerita-cerita seram, begitu pula ketakutan para lelaki.”
Begitu pula ketakutan kita terhadap kematian. Kita takut kepada kematian—sebagian besar karena kebingungan dan ketidaktahuan kita, dan sebagian besar lagi karena kita dibombardir dengan berita-berita dan kisah-kisah mengerikan seputar kematian. Setiap kali kita mendengar istilah kematian…apa yang langsung terbayang dalam pikiran kita? Kegelapan, ketakutan, kegelapan dan ketakutan.
Ajaran agama sebenarnya telah menempatkan kematian dalam proporsi yang adil—bahwa kematian hanyalah cermin dari kehidupan. Siapa yang menjalani hidup dengan baik maka kematian pun akan baik baginya, dan begitu pula sebaliknya. Tetapi, diam-diam kita tidak meyakini itu, bukan…? Kita tidak yakin, karena kita selalu saja ketakutan terhadap kematian, padahal kematian hanyalah cermin bagi kehidupan. Artinya, jikalau seseorang bisa menjalani hidup dengan baik, tentunya kematian pun akan ikut terasa baik.
Tetapi saya tidak berniat menulis catatan ini dari sudut pandang agama. Jadi mari kita kembalikan topik ini ke sudut pandang akademisi.
Well, ketakutan kita terhadap kematian, sesungguhnya adalah ketakutan yang ironis. Mengapa? Karena kita melihat kematian dari sudut pandang kehidupan. Seperti yang sudah berulang-ulang saya katakan di sini, belum pernah ada orang yang dapat menggambarkan kematian secara riil, karena belum pernah ada orang yang bisa hidup lagi setelah mati. Akibatnya, semua pandangan, pemikiran sekaligus sudut pandang menyangkut kematian hanyalah melibatkan orang-orang yang masih hidup—dan belum pernah mati.
Secara bodoh, kita bisa menyatakan bahwa ketakutan kita terhadap kematian adalah karena kita membayangkan jasad kita terkubur di dalam tanah yang sempit, atau dibakar dengan nyala api yang menghanguskan. Kita bukan takut terhadap kematian, sesungguhnya, kita takut berada di liang gelap kubur atau di dalam api pembakaran. Bukankah begitu...? Kita tidak bisa membayangkan kematian, yang bisa kita bayangkan hanyalah liang kubur yang sempit atau panasnya api yang membakar jasad—karena kita melihatnya dari sudut pandang orang yang masih hidup.
Nah, bagaimana kalau sekarang kita mengubah sudut pandang kita sesuai dengan proporsinya yang benar...? Untuk dapat melihat kematian dan menilainya secara bijak, maka tentunya kita pun harus melihatnya dari sudut pandang yang sama, yakni sudut pandang kematian. Bagaimana caranya...? Saya akan menuliskannya di posting berikutnya.