Memaafkan diri sendiri kadang-kadang jauh lebih sulit
dibanding memaafkan orang lain. Pun meminta maaf pada diri sendiri.
—@noffret
dibanding memaafkan orang lain. Pun meminta maaf pada diri sendiri.
—@noffret
Hanna Hasula adalah janda pekerja keras, yang tinggal di Denver, Colorado. Ia hanya hidup berdua dengan putri tunggalnya, Patricia. Bagi Nyonya Hanna, Patricia adalah cintanya yang terbesar, segalanya baginya dalam hidup. Patricia kuliah di kota mereka sendiri, sambil bekerja paruh waktu sepulang dari kampusnya.
Suatu malam, Patricia tidak pulang dari kerjanya seperti biasa. Sampai larut, Nyonya Hanna menunggu putrinya dengan khawatir, namun Patricia tidak juga muncul atau menelepon untuk mengabarkan keberadaannya. Karena semakin gelisah, Nyonya Hanna lalu mencoba menghubungi kawan-kawan putrinya, dan dalam kebingungan serta kerisauan yang semakin besar ia pun mendatangi rumah sakit dan kantor polisi. Tapi tak seorang pun tahu tentang keberadaan putrinya.
Keesokan harinya, seorang polisi datang menemui Nyonya Hanna, dan mengabarkan bahwa Patricia, putrinya, telah ditemukan dalam keadaan mengenaskan. Tubuhnya tergeletak di pinggir jalan, sepertinya telah dilempar dari mobil. Ia telah diperkosa, sekaligus ditikam hingga terbunuh. Mendengar kabar itu, Nyonya Hanna langsung pingsan.
Selama acara pemakaman putrinya berlangsung, Nyonya Hanna hanya bergerak seperti robot. Ia merasa kehilangan semua energi, dan napas hidupnya seperti telah berhenti. Kedukaan yang amat sangat karena terbunuhnya putrinya tercinta telah merenggut sinar kehidupan dari dirinya.
Beberapa waktu kemudian, sendirian dalam rumahnya yang kini makin sepi, Nyonya Hanna mulai memikirkan orang tak dikenal yang telah membunuh putrinya. Kebencian pun mulai berkembang dalam hatinya, kebencian yang bertumbuh semakin besar seiring berlalunya hari demi hari. Bahkan saat beribadah sehari-hari pun, pikirannya tetap penuh amarah kebencian serta keinginan membalas dendam.
Setiap kali melihat buku-buku kuliah milik putrinya, Nyonya Hanna menjerit, menangis, bertanya-tanya mengapa Tuhan membiarkan hal seperti itu terjadi pada seseorang yang selama ini begitu taat kepada-Nya.
Kehidupan sehari-hari Nyonya Hanna tetap berlangsung seperti semula, ia bisa kembali bekerja keras seperti sebelumnya, namun ada kekosongan yang amat senyap di lubuk terdalam batinnya. Dan didorong obsesi kebencian serta keinginan untuk membalas dendam terhadap pembunuh putrinya, dia pun mempelajari surat-surat kabar, juga selalu berhubungan dengan polisi untuk mengetahui kemajuan kasus tersebut.
Sampai kemudian, si pembunuh kejam itu tertangkap sewaktu akan membunuh wanita lain. Surat kabar menyebut nama si pembunuh sebagai Carlton Moore. Foto sang pembunuh itu termuat di halaman surat kabar. Ketika Nyonya Hanna melihatnya, ia segera mengambil pisau dan menyilangkannya pada wajah di koran tersebut, menyayatnya hingga koyak.
Surat kabar menyebutkan latar belakang Carlton Moore sebagai anak lelaki yang dibesarkan keluarga berantakan. Ayahnya pecandu minuman keras, dan ibunya terganggu jiwanya. Ia memiliki IQ yang tinggi, namun karena sering diabaikan dan dianiaya sewaktu anak-anak, ia pun sering terlibat dalam kesulitan dan berurusan dengan polisi. Atas kasus pembunuhan Patricia, ia pun disidangkan di pengadilan.
Selama persidangan berlangsung, Nyonya Hanna duduk di ruang sidang dan mengamati jalannya persidangan sambil berharap pembunuh putrinya itu dihukum mati, agar dendamnya sedikit terlampiaskan. Ketika hakim ‘hanya’ memutuskan hukuman seumur hidup bagi Carlton Moore, Nyonya Hanna mengamuk tanpa kendali. Mengapa pembunuh yang kejam itu dibiarkan hidup, sementara putrinya mati?
Dan waktu-waktu berlalu, hidup serta hati Nyonya Hanna semakin getir. Ia masih terus menyimpan kebencian serta dendamnya, dan kebencian serta dendam itu makin hari semakin membesar. Hal itu, tanpa disadarinya, menyebabkan dirinya sering kali berperilaku kasar dan berlidah tajam. Karena hal itu pulalah rekan-rekan kerjanya mulai menjauhi, dan para tetangganya mulai menjaga jarak.
Pikiran Nyonya Hannya yang tak pernah bisa berkonsentrasi penuh pada pekerjaan membuat kinerjanya menurun drastis, dia pun semakin berpaling ke dalam dirinya dan mulai menolak undangan pertemuan atau acara-acara sosial. Ia terkurung dalam kebenciannya sendiri, terpenjara oleh dendamnya sendiri. Dan penjara yang amat memedihkan itu mengurungnya dalam kesepian, kedukaan, dan kehidupan yang tak pernah tenang.
Bertahun-tahun kemudian, saat Nyonya Hanna mencapai usia 62 tahun, satu-satunya hal yang hidup di dalam dirinya adalah kebencian dan dendam yang tak kunjung padam. Hidupnya, fisiknya, pikiran dan hatinya terus-menerus digerogoti oleh rasa dendam dan kebencian itu, dan Nyonya Hanna pun semakin tersiksa dalam kesendirian.
Sampai suatu hari, ketika tengah khusyuk beribadah, sebuah suara seperti bergema dalam telinganya, “Tuhan saja selalu mau mengampuni hamba-Nya, mengapa kau tidak mau mengampuni sesamamu?”
Semula, Nyonya Hanna mencoba menolak suara hatinya, dan menyatakan, “Tapi bagaimana mungkin aku dapat memaafkan pembunuh putriku, dengan segala kepahitan yang kurasakan selama ini?”
Dan suara itu kembali bergema dalam telinganya, “Kalau kau mau mengampuni sesamamu, maka Tuhanmu pun akan mengampunimu.”
Suara kesadaran itu mengendap cukup lama dalam diri Nyonya Hanna, bertarung dengan perasaan dendam dan kebencian yang selama ini dipupuknya. Ia punya pilihan—hidup dengan terus memendam dendam dan kebencian, atau keluar dari kurungan kesedihannya dengan cara memaafkan.
Akhirnya, dengan perasaan terguncang, Nyonya Hanna mengutus seorang tetangganya untuk menyampaikan sebuah kitab suci ke penjara, dan meminta agar dikirim secara pribadi. Ia berpesan pada si tetangga, “Sampaikan kitab ini kepada seorang tahanan bernama Carlton Moore, dan katakan kepadanya bahwa karena Tuhan memaafkan dia, Nyonya Hanna pun telah memaafkannya.”
Tidak ada yang berubah sejak itu. Nyonya Hanna tetap kehilangan putrinya, dan Carlton Moore tetap mendekam di penjara. Tetapi... Nyonya Hanna menyatakan bahwa ketika ia telah melakukan hal itu, memaafkan dengan sepenuh hati terhadap orang yang semula ia benci mati-matian, ia merasa seolah telah melangkah keluar dari penjara besi, membebaskan dirinya dari sesuatu yang semula begitu kuat mengikat dirinya.
Ketika diwawancarai surat kabar, Nyonya Hanna berkata, “Carlton Moore yang lama sudah mati, begitu pula dengan Hanna Hasula yang lama yang getir. Kini aku bisa hidup dengan hati yang baru, ketika aku menemukan kekuatan ajaib dari tindakan memaafkan.”
....
....
Tindakan memaafkan membebaskan kita dari belenggu tak terlihat yang memberati langkah hidup kita. Rela memaafkan memberikan kedamaian pikiran, dan segala sesuatu yang kita harapkan atau inginkan. Inilah obat dengan daya kerja seperti mukjizat, yang bisa menyembuhkan segala macam penyakit, memberikan keutuhan diri kita, dan mengarahkan kita memasuki hati Tuhan serta ke dalam kesatuan dengan Sang Pencipta.
Jika kebencian, dendam, dan sikap tak mau memaafkan menjadi bibit-bibit penyakit yang menggerogoti jiwa dan fisik kita, maka jalan penyembuhan yang paling ampuh hanyalah mau memaafkan. Seperti yang tertulis dalam A Course in Miracle, “Rela memaafkan menawarkan segala yang kuinginkan.”
Apa keinginan yang tidak dapat dipenuhi oleh rela memaafkan? Kita menginginkan kedamaian? Rela memaafkan bisa memberikannya. Kita menghendaki kebahagiaan, pikiran yang tenang, kepastian tujuan, dan rasa hormat yang melampaui dunia? Kita menghendaki rasa peduli dan aman, serta kehangatan perlindungan abadi? Kita ingin menikmati ketenteraman yang tak bisa diganggu gugat, kelembutan yang sama sekali tak bisa dilukai, kenyamanan yang mendalam dan abadi, dan suatu keadaan istirahat yang sempurna sehingga tak bisa dikecewakan?
Semua yang kita inginkan diberikan oleh sikap rela memaafkan, bahkan lebih. Rela memaafkan terpancar melalui mata begitu kita terbangun dari tidur, serta memberi rasa suka cita untuk menghadapi hari-hari kita. Membuat sejuk kepala kita ketika tidur, serta membuat santai mata kita sehingga tak bermimpi yang menakutkan dan jahat, penuh balas dendam serta serangan kebencian.
Dan ketika kita bangun kembali, rela memaafkan memberi kita hari baru yang penuh kebahagiaan dan damai. Rela memaafkan memberikan lebih dari semua yang kita inginkan.
Tapi memaafkan tidak cukup hanya dengan memaafkan. Memaafkan yang mendatangkan mukjizat bagi diri kita adalah memaafkan dengan sikap tulus, sepenuh hati, dan seutuhnya.
Di dalam The Power of Your Subconcious Mind, Dr. Joseph Murphy menulis bahwa ‘tes yang menentukan’ bagi tindakan memaafkan adalah bagaimana perasaan kita ketika mendengar kabar menggembirakan tentang seseorang yang pernah menyakiti diri kita pada masa lalu.
Jika kita masih merasakan reaksi negatif ketika mendengar berita baik itu, maka kita belum sepenuhnya memaafkan. Jika kita mendengar kabar baik itu dan tidak terpengaruh, baik ‘secara psikologis maupun spiritual’, berarti kita telah sepenuhnya memaafkan orang itu. Pola pikiran seperti itu membebaskan kita untuk menemukan kebahagiaan sejati di dalam diri kita.
Rela memaafkan adalah jembatan menuju Tuhan, cinta, dan kebahagiaan. Inilah jembatan yang memungkinkan kita mengucapkan selamat tinggal kepada rasa bersalah, hujatan, dan aib.
Rela memaafkan menjernihkan udara dan memurnikan hati serta jiwa kita; membuat kita bersentuhan dengan segala sesuatu yang suci. Melalui rela memaafkan, kita terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri, sesuatu yang melebihi yang kita bayangkan dan yang dapat kita mengerti. Rela memaafkan memungkinkan kita untuk tenteram di dalam misteri kehidupan, memeluk kebahagiaan, serta menyentuh tangan Tuhan.