Rabu, 01 Agustus 2012

Ngomongin Hantu (3)

Posting ini lanjutan post sebelumnya. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah post sebelumnya terlebih dulu.

***

Setelah diteliti, Tandy pun menemukan bahwa kipas angin itu mengeluarkan gelombang infrasonik 19 Hz di dalam laboratoriumnya. Dinding laboratorium yang steril menyebabkan gelombang itu memantul dan membesar, kemudian menghasilkan sebuah bidang dengan energi maksimum yang berpusat di tengah ruangan. Energi itulah yang menjadikan pedang anggarnya bergerak dengan liar seolah ada kekuatan tak terlihat yang menggerakkannya.

Untuk membuktikan kesimpulannya sendiri, Tandy kembali membawa pedang anggarnya ke tengah ruang laboratorium. Seperti tadi, pedang anggar itu kembali bergetar dengan liar. Ketika kipas angin tersebut dimatikan, gelombang dan semua fenomena yang terkait dengan itu menghilang. Tandy kembali membawa pedang anggarnya ke tengah ruangan, dan kali ini sama sekali tidak bergerak.

Pengalaman itulah yang kemudian ia tulis dalam makalahnya, The Ghost in the Machine, yang lalu diterbitkan dalam Journal of Society for Psychical Research. Penjelasan dalam makalah itu semakin menguatkan keyakinan segelintir orang, bahwa hantu—atau penampakan, atau kuntilanak keramas sambil ngesot, atau bocah-bocah sejenisnya—hanyalah dongeng konyol.

Lalu bagaimana dengan kesurupan? Jika hantu atau sejenisnya memang tidak ada, bagaimana dengan orang yang “kerasukan” makhluk halus hingga kesurupan?

Ketika seorang penderita epilepsi sedang kambuh, dia bisa mengalami halusinasi melihat hantu, mendengar bisikan, menyaksikan penampakan, atau lainnya, dan kemudian suaranya dapat berubah—sesuatu yang kemudian lazim disebut “kesurupan”. Umumnya, gejala itu terdapat pada orang dengan epilepsy lobus temporalis.

Lalu bagaimana kondisi “kesurupan” semacam itu bisa “menulari” orang lainnya?

Kita pasti pernah membaca, mendengar, atau menonton berita yang mengabarkan serombongan siswi di sebuah sekolah mengalami “kesurupan” yang sama. Awalnya juga dari hal di atas. Ketika seorang penderita epilepsy lobus temporalis kambuh dan mengalami halusinasi hingga ia menampakkan ekspresi kesurupan, gejala itu akan memancing teman-temannya—terutama perempuan yang mengalami banyak masalah atau kesulitan—untuk ikut tertular gejala tersebut.

Dalam istilah medis, “kesurupan” semacam itu disebut possession-trans, atau suatu kondisi trans-pemilikan, yaitu terdapatnya perubahan tunggal atau episodik pada kesadaran seseorang. Kondisi itu bisa diketahui dengan adanya pergantian identitas pribadi dengan identitas baru. Misalnya orang yang kesurupan itu merasa menjadi orang lain yang hidup ratusan tahun yang lalu, atau menyebut dirinya dengan nama lain, atau semacamnya. Akibatnya, tentu, orang itu pun menunjukkan perilaku yang aneh dan tak biasa.

Ketika hal itu terjadi, si korban “kesurupan” bisa saja menampakkan mata yang tajam, menakutkan, atau kosong dan lurus ke depan. Suaranya pun kadang berubah, yang tadinya halus menjadi berat dan kasar, yang aslinya perempuan bisa bersuara laki-laki. Jika kita periksa, tekanan darahnya akan menunjukkan penurunan, kecuali kalau dia meronta-ronta. Suhu tubuhnya juga menurun, dan terasa dingin.

Yang membuat orang-orang lain panik, biasanya, karena korban “kesurupan” akan menunjukkan kekuatan fisik yang lebih kuat dibanding biasanya, dan kadang sampai bertindak kasar, seperti melempar-lempar sesuatu yang membahayakan. Dia juga bisa lari-lari, berteriak, bicara tak karuan, dan kadang bahkan bisa berbicara bahasa lain yang sebelumnya tidak dia pahami atau kuasai. Dalam bahasa ilmiah, kondisi itu disebut xenolalia.

Karena perilakunya yang mungkin dianggap membahayakan, orang-orang pun biasanya akan menangkap dan memegangi si korban “kesurupan”, bahkan kadang sampai menghimpitnya dengan keras.

Lanjut ke sini.

 
;