Umpama malaikat terlibat kejahatan, mungkin dia tetap malaikat.
Tetapi kejahatan tetap kejahatan, tak peduli pelakunya malaikat.
—@noffret
Tetapi kejahatan tetap kejahatan, tak peduli pelakunya malaikat.
—@noffret
Di Jalan Cikupa, mereka digiring, telanjang. Serombongan orang—yang mungkin merasa mulia—mengarak seorang pria dan seorang wanita yang mereka tuduh berzina. Karena seharusnya pria dan wanita tidak berbuat mesum, kata mereka. Jadi, mereka pun menggiring pasangan itu, menganiaya, mempermalukan, dan memaksa keduanya telanjang.
Fragmen itu terekam dalam sebuah video singkat yang viral di media sosial. Pasangan yang digiring sambil dipaksa telanjang adalah M (wanita berusia 20) dan R (pria berusia 27). Video dengan durasi amat singkat itu mungkin menciptakan asumsi yang bisa jadi salah kaprah di benak penontonnya. Itu seperti satu halaman yang disobek dari sebuah buku utuh, sehingga kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Atau, dengan kata lain, teks yang dicerabut dari konteks.
Sekarang, mari kita rekatkan sobekan satu halaman itu ke tempat aslinya, agar tahu bagaimana kisah yang sebenarnya terjadi. Mari kita flashback ke waktu-waktu sebelumnya, sebelum pasangan pria dan wanita itu digiring telanjang, di Jalan Cikupa, Tangerang.
....
....
Seperti yang disebut tadi, M adalah wanita berusia 20 tahun. Di Tangerang, dia anak rantau, dengan latar belakang yatim piatu. Di Tangerang, dia tidak memiliki saudara atau famili, karena tujuannya ke sana memang untuk mengadu nasib.
Di Tangerang, M mendapat pekerjaan di pabrik sepatu, yang belum lama berdiri. Di pabrik itu, dia mendapat tanggung jawab di bagian trimming, yaitu merapikan sisa sol sepatu yang baru dibuat. Di pabrik itu, M bekerja lima hari dalam seminggu, dengan upah Rp70 ribu per hari. Karena upah yang minim, M pun sering lembur sampai malam. Dari upah kerjanya yang tak seberapa, dia bisa membayar kontrakan, juga untuk makan sehari-hari.
Sampai kemudian, M mengenal seorang pria bernama R, yang belakangan menjadi pacarnya. Seperti umumnya pacar, M dan R kadang janjian untuk ketemu, khususnya saat libur kerja, atau ketika M tidak sedang lembur. Karenanya, R pun cukup sering terlihat di kontrakan M. Entah untuk menjemput, mengantarkannya pulang, atau sekadar berbincang. Mereka bahkan telah berencana untuk menikah.
Suatu malam, M kelaparan, karena sepulang kerja tidak sempat membeli nasi. Sayang, waktu itu sudah pukul 22.00, dan dia enggan keluar untuk mencari makan. Tidak semua perempuan nyaman keluar larut malam.
Jadi, M kemudian menelepon R, pacarnya, siapa tahu si pacar bersedia membelikan nasi untuknya. Sebagai pacar yang baik, R tidak keberatan memenuhi permintaan M. Dia pun menjanjikan untuk membelikan nasi bungkus untuk M, dan dia menepati janjinya. Setengah jam kemudian, R datang ke kontrakan M dengan nasi bungkus, untuk mengganjal perut sang pacar yang kelaparan.
Sebenarnya, R mungkin bermaksud langsung pulang, setelah menyerahkan nasi bungkus untuk M. Namun, dia merasa perlu buang air kecil. Jadi, sementara M mulai menikmati nasi bungkus yang dibawakannya, R minta izin ke kamar kecil.
Dan petaka itu kemudian terjadi.
Waktu itu, M sedang makan nasi bungkus, dan tentu saja berpakaian lengkap. Sementara R sedang ada di kamar mandi. Pintu rumah kontrakan juga terbuka, sebagai tanda bahwa mereka tidak melakukan apa pun yang mungkin salah. Tapi warga berdatangan ke sana, melakukan penggerebekan. Bukan hanya warga biasa, Ketua RT dan Ketua RW ikut dalam penggerebekan.
Apakah pasangan M dan R memang berbuat asusila?
Jawabannya tidak.
Oh, ini bukan jawaban saya. Tapi jawaban Kapolresta Tangerang, AKBP Sabilul Arif. Dia mengatakan, “Bukan mesum, ya. Saat digerebek warga, pasangan itu masih mengenakan pakaian. Namun, oleh sekelompok orang, keduanya dipaksa mengaku telah berbuat mesum di dalam kontrakan. Itu si laki-laki dicekik lehernya, dan si perempuan dibuka bajunya, dipaksa ditelanjangi.”
Dari situlah, kemudian pasangan tadi—M dan R—digiring dan diarak ke Jalan Cikupa, dengan telanjang dan hina, sebagaimana yang kemudian kita saksikan dalam video keparat yang cuma berdurasi semenit. Apakah ada yang mau mengaku bahwa video itu telah menyesatkan asumsi kalian?
Itulah bahayanya mencabut teks dari konteks, atau—dalam kasus di atas—mencabut satu bagian kisah dari keseluruhan kisah. Orang hanya melihat satu mozaik berdasarkan video yang durasinya seupil, lalu menghakimi tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan menganggap mereka yang menggiring adalah para pahlawan moral, sementara yang menjadi korban justru disalahkan.
....
....
Ada banyak alasan dan motivasi mengapa orang melakukan tindakan penggerebekan, hingga melakukan persekusi sewenang-wenang. Dalam perspektif saya, penggerebekan atau persekusi tak jauh beda dengan aksi bullying atau perundungan. Terkait aksi-aksi semacam itu, saya selalu percaya pada hukum psikologi, bahwa pelakunya adalah orang-orang yang “sakit”. Aksi perundungan—dari penggerebekan, sampai sekadar hobi bertanya “kapan kawin?”—hanya dilakukan orang-orang sakit!
Merujuk pada kasus M dan R di atas, tidak adakah cara lain yang lebih baik, selain menggiring mereka telanjang di jalanan?
Kalau pun memang warga mencurigai pasangan itu berbuat asusila, sehingga warga merasa tidak nyaman, mestinya Ketua RT atau Ketua RW—atau siapa pun—bisa menasihati mereka baik-baik. Toh kenyataannya, ketika digerebek, pasangan itu tidak melakukan tindak asusila. Si wanita sedang makan nasi bungkus, dengan pakaian lengkap, begitu pula si pria.
Jadi, apa alasan penggerebekan itu?
Jawabannya itu tadi. Sakit.
Kadang—sebenarnya malah cukup sering—ada orang-orang yang datang ke rumah saya, dengan berbagai keperluan dan tujuan. Dari sekadar mengobrol layaknya teman, sampai orang-orang yang ingin membicarakan hal-hal serius. Dalam hal itu, saya menetapkan aturan yang tak bisa diganggu gugat, yaitu siapa pun yang ingin bertamu ke rumah saya harus membuat janji lebih dulu.
Saya tinggal sendirian di rumah, dan sering pergi sewaktu-waktu. Jika ada orang datang tanpa janji, bisa jadi ia kecewa, karena kebetulan saya sedang tidak di rumah. Atau, kalau pun saya sedang di rumah, bisa jadi saya akan terganggu dengan kedatangan tamu, karena kebetulan sedang sibuk bekerja. Karena pertimbangan itulah, saya pun mengharuskan adanya janji untuk siapa pun yang ingin bertamu.
Dengan adanya janji yang jelas, saya bisa menerima tamu dengan lebih baik, sehingga sama-sama nyaman. Tamu tidak kecewa karena saya benar-benar di rumah, dan saya pun tidak terganggu karena sudah tahu akan ada tamu.
Selain adanya janji, saya juga menetapkan syarat lain, yang sama-sama tidak bisa diganggu gugat. Jika orang yang ingin datang ke rumah saya adalah wanita, dia harus datang siang hari, dan tidak boleh sendirian. Dia harus mengajak temannya—sesama wanita, atau pria. Yang jelas, tidak sendirian.
Jadi, ketika menerima telepon dari seseorang yang mengatakan akan datang ke rumah saya, dan dia seorang pria, saya selalu bertanya, “Apakah kamu akan ke rumahku sendirian, dengan teman pria, atau dengan teman wanita?” Jika dia akan datang sendirian, atau bersama teman pria, dia boleh datang kapan pun. Tetapi, kalau dia akan datang bersama teman wanita, saya akan memintanya datang siang hari, dan mereka harus pulang sebelum maghrib.
Jika ada yang meragukan pernyataan ini, kalian bisa menanyakannya pada bocah ini. Dulu, dia tidak kenal saya, selain hanya tahu nama saya dari dosen dan para seniornya di kampus. Karena ingin bertemu, dia memberanikan diri menghubungi saya, ingin datang ke rumah. Saya memastikan, “Kamu akan datang dengan teman laki-laki, atau teman perempuan?”
Kalau dia datang dengan teman laki-laki, saya menerima meski malam hari. Tetapi, dia mengatakan, “Aduh, ini malah banyak teman perempuan yang ingin ketemu.” Maka saya pun memintanya untuk datang siang hari. Dan mereka harus pulang sebelum maghrib.
Kalian, yang membaca ini, bisa jadi mengira saya laki-laki saleh, manusia berbudi luhur yang sangat bermoral, yang sangat hati-hati menjaga hubungan dengan lawan jenis, sehingga memberlakukan aturan sekeras itu.
Salah!
Yang membuat saya sangat berhati-hati dengan lawan jenis—khususnya di rumah saya—sehingga mengharuskan mereka datang siang hari, dan tidak boleh sendirian, dan harus pulang sebelum maghrib, bukan karena saya seorang saleh atau bermoral. Saya memberlakukan aturan itu, semata-mata karena menyadari betapa banyak orang yang sakit di sekitar kita.
Ada banyak orang sakit di sekitar kita. Orang-orang yang terlalu pahit menghadapi kehidupannya sendiri, sehingga makin pahit saat melihat kegembiraan orang lain. Orang-orang yang terikat dan terkekang dalam kerangkeng yang mereka ciptakan sendiri, sehingga sakit hati dan sakit pikiran saat melihat kebebasan orang lain.
Sebagai lajang, sudah jutaan kali saya mendengar omongan, sindiran, bahkan cemoohan, karena tidak/belum juga menikah. Mereka yang suka menyindir dan mencemooh itu umumnya orang-orang yang telah menikah, dan menua, dibebani keluarga—pasangan dan anak-anak—dan menjalani kehidupan yang tak bisa dibilang menyenangkan, bahkan menyedihkan.
Dalam pikiran saya—yang mungkin terdengar angkuh—mereka adalah orang-orang sakit, dengan hati sakit, dan pikiran sakit. Saya membayangkan diri saya berada di posisi mereka. Apa yang saya lihat? Kepahitan diri sendiri.
Dalam pandangan mereka, orang-orang itu melihat saya begitu muda, begitu bebas, hidup sendirian tanpa kekangan siapa pun, tanpa beban anak-anak dan pasangan, menjalani kehidupan dengan ringan, tidur kapan pun dan bangun kapan pun, tidak ada pasangan yang marah, tidak ada anak-anak yang merengek—benar-benar bebas dan merdeka.
Lalu mereka melihat diri sendiri, dan mendapati diri yang menua dengan cepat, dibebani hidup yang makin berat, pasangan yang penuh tuntutan, anak-anak yang makin banyak kebutuhan, waktu yang semakin terbatas sehingga sulit bertemu kawan-kawan, tidur berkurang, pikiran rumit oleh masalah keluarga—benar-benar pahit dan nelangsa.
Dalam kondisi kepahitan semacam itu, mereka akan mudah iri bahkan mendengki pada diri saya, meski saya tidak melakukan apa pun pada mereka. Bagi orang-orang yang sakit, saya telah melakukan kesalahan besar. Dan kesalahan saya adalah... tidak mengalami kesusahan seperti yang mereka alami, tidak merasakan beban keluarga seperti yang mereka hadapi.
Jadi, itulah latar belakang kenapa ada banyak orang yang hobi bertanya “kapan kawin?”, atau senang menyindir dan mencemooh saya, hanya karena belum menikah. Masalahnya sepele. Mereka ingin saya juga mengalami yang mereka alami, mereka ingin melihat saya menghadapi hidup yang berat seperti yang mereka hadapi. Orang yang tidak bahagia akan senang jika melihat ada orang lain lebih tidak bahagia darinya.
Latar belakang itu pula, yang membuat saya memberlakukan aturan ketat, terkait orang-orang yang datang bertamu. Untuk tamu wanita, dia harus datang siang hari, dan mengajak teman, dan harus pulang sebelum maghrib. Begitu pula untuk tamu pria yang mengajak teman wanita, aturan yang sama juga berlaku. Tidak ada toleransi, tidak ada tawar menawar.
Karena... saya khawatir, kalau ada wanita yang datang ke rumah saya malam hari—meski kami tidak melakukan apa pun yang melanggar norma—ada orang-orang yang datang akibat sakit di hati dan pikiran mereka, lalu mempermalukan kami seolah telah berbuat asusila... seperti pasangan malang yang digiring telanjang di Cikupa.