Sebenarnya, wanita tidak setuju poligami. Tapi mereka tidak berani mengatakan secara jujur, karena khawatir dituduh melawan "ajaran agama".
Poligami, sebagaimana menikah, sebenarnya bukan "kewajiban agama", melainkan "sunah rasul". Tapi orang awam kesulitan membedakan keduanya.
"Aku tidak menyalahkan orang poligami," kata Teuku Wisnu, "tapi aku tidak akan melakukannya." | Itu contoh pemahaman yang baik atas sunah.
Menikah, poligami, siwak, itu contoh-contoh sunah Rasul. Kalau ada yang tanya "Kapan kamu kawin?" jawab saja, "Mungkin mulutmu perlu siwak."
Menikah, sebagaimana poligami, itu sunah Rasul. Aku tidak menyalahkan orang menikah, tapi bukan berarti aku akan ikut-ikutan melakukannya.
"Tapi menikah ada dalam Al-Qur'an." | Poligami juga ada dalam Al-Qur'an. Lalu kenapa? Tak semua yang ada dalam Al-Qur'an berarti kewajiban.
"Aku menikah karena menyempurnakan separuh agama." | Hadist itu dhaif, Mas. Tidak usah dibangga-banggakan. Pengin kawin aja banyak ngeles.
Hadist yang mengatakan, "Menikah menyempurnakan separuh agama" itu tidak terjamin sahih, bahkan sebagian ahli hadist menghukuminya dhaif.
(Catatan: Imam Al-Ghazali juga menggunakan hadist tersebut dalam kitabnya, ketika membahas pernikahan. Tetapi Al-Ghazali memaksudkannya sebagai motivasi, dan bukan sebagai hujjah yang bersifat mewajibkan.)
"Menikah membuat bahagia." | Kalau berdalih menikah adalah ajaran agama, coba sebutkan 1 ayat saja yang mengatakan "menikah bikin bahagia".
Fathimah, putri Nabi, menikah dengan Ali bin Abi Thalib. Dan apakah mereka bahagia? Tidak! (Kapan-kapan akan kuceritakan di blog).
Setiap orang tentu BERHAK menikah. Tapi setiap orang TIDAK BERHAK menghina apalagi merendahkan orang lain yang tidak/belum menikah.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 23 Oktober 2017.