Sambil nunggu udud habis.
Ada sopir bus di China yang bunuh diri dengan mengajak 20 penumpangnya. Dia ceburkan bus yang dikendarainya ke danau, hingga tenggelam, dan semua orang di dalamnya tewas. Sebelum itu, dia mengirim "pesan terakhir" ke pasangannya, hingga orang-orang pun tahu dia bunuh diri.
Ketika kabar itu masuk media massa, masyarakat mengutuk sopir bus tersebut. Semua caci-maki berhamburan.
Tetapi, belakangan terungkap kalau sopir bus itu bunuh diri—dan membawa orang lain turut serta—sebagai bentuk protes atas kemalangan yang menimpanya. Dia butuh publisitas!
Pemerintah menggusur rumah sopir bus tadi, untuk suatu keperluan. Sayangnya, ganti rugi yang diberikan tidak cukup bagi si sopir bus untuk membeli rumah baru. Dia stres, merasa tak berdaya, dan memutuskan bunuh diri.
Seketika, masyarakat berhenti mengutuk, dan jadi bersimpati.
Setiap peristiwa—yang kita saksikan, kita dengar, kita baca di media, kita tonton di televisi, atau bahkan yang kita alami—sering kali bukan gambaran utuh, melainkan hanya sekeping puzzle. Dan kita baru bisa memahami gambaran utuhnya, jika bisa mengumpulkan semua keping yang ada.
Peristiwa per peristiwa cuma sekeping puzzle, sering kali tidak berdiri sendiri, dan sebenarnya tidak memberi tahu apa-apa, selain hanya kilasan peristiwa itu saja. Untuk tahu gambaran utuhnya, kita harus mencari dan mengumpulkan semua keping puzzle, dan menatanya secara rapi.
Sebuah gambaran utuh kadang memiliki sedikit keping puzzle, sementara gambar utuh lain—karena ukurannya besar—memiliki banyak keping puzzle. Intinya, semakin banyak keping puzzle yang bisa kita cari dan temukan, semakin luas pula pemahaman yang kita dapat. Dan itulah perspektif.
Yang jadi masalah, otak manusia tidak (terbiasa) bekerja dengan cara semacam itu. Alih-alih berpikir rapi dan runtut, otak kita cenderung berpikir acak; keping per keping. Karena memang dasarnya otak kita hanya mampu memikirkan satu hal di satu waktu. Ditambah lupa, tentu saja.
Otak (kebanyakan) kita bahkan semakin “kacau” di zaman sekarang, ketika gelontoran berita berdatangan seperti kilat. Kita jadi lebih mudah teralihkan dari satu peristiwa ke peristiwa lain. Ditambah kemungkinan lupa, kita semakin kesulitan untuk memahami gambar besar peristiwa.
Di antara seribu berita (peristiwa) yang kita baca, misalnya, kemungkinan kita tidak melihat kesalingterkaitannya, karena aneka macam berita bertumpuk di memori kita, untuk kemudian terlupa. Padahal, dari banyak berita yang kita baca, sering kali saling terkait dan terjalin erat.
“Kelemahan manusiawi” semacam itu sebenarnya berkat bagi manusia, karena memungkinkan kita bisa menjalani kehidupan dengan santai. Satu peristiwa datang, satu peristiwa lewat—begitu saja. Minim stres. Tetapi, seiring dengan itu, kita juga mudah naif dalam memahami sesuatu.
Seperti kasus tempo hari, misalnya, saat seorang anak perempuan di Jakarta membunuh bocah tetangganya, dan menyimpan jasad si bocah dalam lemari, lalu menyerahkan diri ke polisi, serta mengakui perbuatannya dengan santai. Seperti kita tahu kemudian, itu cuma sekeping puzzle.
Karena baru melihat keping puzzle tersebut, kita pun mudah menghakimi anak perempuan itu, bahkan menuduhnya psikopat dan aneka tuduhan lain. Apalagi ada gambar-gambar mengerikan yang ia buat di bukunya. Segala caci-maki kita lancarkan kepadanya, bahkan berharap dia dihukum berat.
Tetapi kemudian muncul keping puzzle lain. Ternyata, anak perempuan itu korban kekerasan seksual orang-orang terdekatnya, dan dia sedang hamil akibat perkosaan yang menimpanya. Ketika keping ini muncul, seluruh perspektif kita berubah.
Cuma 2 keping puzzle, tapi efeknya besar.
Hanya dengan dua keping puzzle, sebuah peristiwa bisa terbalik 180 derajat.
Sekarang bayangkan apa yang sekiranya bisa terjadi, jika kita bisa mengumpulkan seratus keping puzzle, misalnya, untuk melihat sebuah gambaran besar... yang mungkin tidak dilihat orang-orang lain.
Kau akan menjadi orang aneh, tentu saja.
*) Ditranskrip dari timeline @noffret, 19 Juli 2020.